Rawi meninggalkan gedung dengan napas menggebu dan kedua tangannya mengepal. Aku mengamati wajah-wajah rekan kerjaku, mencerna ekspresi mereka ketika Rawi menduga pelakunya ada di antara kami. Yah, berita ini memang cukup menggemparkan. Sebuah tragedi yang kuakui bisa memecah-belah kelompok ini sebab dari semua orang hanya Ranu yang memiliki kemampuan itu. Kemampuan untuk mempersatukan perbedaan.
Aku memang jarang berkeliaran di sekitar Ranu. Aku orang dalam yang kerjanya mengurung diri di depan komputer dan tumpukan berkas berisikan data-data. Sementara Ranu, dia sering di lapangan untuk mengobservasi lingkungan. Kadang dia langsung melaporkan hasil pengamatannya kepadaku, dan saat itu terjadi kami juga bertukar canda. Ranu adalah orang yang paling murah senyum, dan tidak segan memberi secuil kebaikan bahkan kepada orang yang lebih tua. Karena itulah dia sering memenangkan penghargaan “Person of the Year”.
Berdasarkan asumsi ini, aku tidak percaya jika salah satu dari kami pelakunya. Namun, aku juga ragu kalau ada orang luar yang masuk ke sini.
Aku mengangguk-angguk, lalu menggeleng. Entahlah, ini membingungkan. Rekan-rekan kerjaku juga tidak menunjukkan gelagat aneh. Mereka semua menyumbangkan duka dengan caranya masing-masing.
“Hei, Kakak Guntur. Kau terlihat tenang sekali. Apa mungkin kau yang membunuh Ranu?”
“Hei, hei, hei. Kamu menyalahkan orang tua ini, Anak Muda? Siapa yang berani menyakiti orang selembut Ranu? Kecuali dia memang tidak waras dan penuh dengki.”
“Kalau benar orang pemerintahan, dan kalau mereka berhasil masuk tanpa terdeteksi, berarti ini salah Rawi sendiri. Dia yang seharusnya merancang sistem keamanan. Jangan-jangan dia berkhianat, dan Ranu adalah hasil dari senjata makan tuan.”
“Jangan mulai menuduh, Angkasa!” Kupelototi pria yang hanya tiga tahun lebih muda dariku itu.
Dia mendecakkan lidah. “What? I’m just sharin’ my two cents.”
“Pokoknya, jangan ada debat dulu! Kita sedang berduka. Dan seseorang tolong temui Rawi, katakan bahwa kita harus segera mengubur jasad Ranu. Barangkali dia mau memberikan salam terakhir.”
Aku berderap menuju tangga, naik menuju ruang tidur. Sepanjang jalan aku tidak berhenti mengusap dada. Tanganku berkeringat, mataku mulai sembab. Bayang-bayang wajah Ranu menyusup pikiranku, menambah getaran pada jantung ini. Kapan terakhir kali aku bertemu Ranu? Rasanya sudah lama sekali.
Ruang tidur kami disusun berjajar, dibedakan yang laki-laki dengan yang perempuan dalam koridor berbeda. Aku melewati papan tergantung yang bertuliskan huruf A, menyusuri pintu-pintu yang tertutup, berakhir di ujung. Ini adalah pintu kamar Ranu. Aku membukanya, mendapati betapa luas ruangannya terlihat. Tidak ada barang berceceran. Bahkan hanya segelintir yang dapat kulihat di atas meja. Lemarinya tertutup, dan kasurnya masih terlihat mengembang. Berbeda dengan milikku yang kempis karena terkadang aku membawa pekerjaanku ke dalam kamar.
Aku memasuki ruang tidur Ranu. Apa sebenarnya yang kupikirkan? Hati ini merasa harus meneliti kamarnya untuk mencari petunjuk. Apakah aku terseret ide bahwa pelakunya ada di antara kami?
Ada sebuah foto terpajang di atas meja. Foto yang merekam Ranu bersama kembarannya. Aku tergelak menyaksikan betapa mereka bukan seperti pinang dibelah dua, melainkan seperti bumi dan langit. Foto ini kuyakin diambil saat mereka masih di panti asuhan, sebelum datang kemari. Mereka masih tampak belia dengan baju seragam warna putih, penanda bahwa mereka adalah calon anggota fasilitas penelitian ini.
Sedari dulu mereka tetap sama. Ranu selalu tampil bersih dan rapi. Tidak ada rambut halus melekat di wajahnya, dan dia selalu membuat klimis rambutnya. Di sisi lain, Rawi membiarkan wajahnya tak terawat, mencukur cambang dan kumisnya tiga bulan sekali. Itu pun hanya beberapa milimeter. Pakaiannya ala kadar dengan gaya “terserah orang mau bilang apa.” Meskipun mereka berkebalikan, tetapi mereka sangat akur. Jika berkelahi, itu hanya main-main.
Memandang foto ini memicu air mataku keluar.
“Guntur? Ada waktu sebentar?”
Naura muncul di ambang pintu, menggenggam map kertas agak tebal di tangannya. Naura ini sejatinya masih dua puluh lima tahun, tetapi suka menjangkar. Dia seolah meresapi tugasnya sebagai manajer yang penuh wibawa dan harus mengayomi. Kadang aku gemas sendiri sehingga memanggilnya “kakak.”
“Iya, Kakak Cantik, masuklah.” Aku mengusap air mataku dengan cepat agar tidak ketahuan Naura.
“Kamu habis menangis, Guntur?” Naura masuk dan meletakkan mapnya ke atas meja. Jemarinya langsung bergegas menggerayangi pipiku, mengusap jalur turunnya air mata.
Aku menarik tubuhku ke belakang, menghindari jamahan tangannya. “Langsung saja, Kakak. Tidak usah usap-usap segala.”
“Oke. Ini ada formulir yang harus kamu isi.”
“Formulir apa?”
Naura mengambil selembar kertas dari dalam map, menyerahkannya padaku. Ketika kertas berpindah, dia langsung memberesi mapnya. “Serahkan padaku segera setelah semuanya terisi. Aku dan Gemintang akan membicarakan siapa yang berpeluang membunuh Ranu.”
“Kamu serius? Kamu sependapat dengan Rawi, apa kamu sudah memikirkannya matang-matang?”
“Tindakan harus dilakukan, Guntur. Aku belajar banyak dari pendahuluku meski baru setahun karena dia meninggal saat kejadian itu. Lebih cepat beraksi, lebih sedikit korbannya. Kamu mau menggantikan banyak orang lagi?”
“Kata-katamu pedas, Ra. Tapi baiklah, kalau itu langkah yang terbaik, aku akan ikuti. Tapi kamu harus tahu suara dariku kalau aku netral. Nanti kalau terjadi perpecahan, kamu tahu di mana aku berpijak.”
Naura mengangguk, langsung meninggalkan bunyi langkah ringan yang semakin senyap. Aku termangu memandangi formulir itu. Di pertanyaan pertamanya berkata, “Bagaimana hubunganmu dengan Ranu dilihat dari sudut pandangmu sendiri?”
“Bagaimana hubungan kita, Ranu? Sejujurnya, aku tidak mengenalmu begitu dalam. Maafkan orang tua ini, Nak.”
Aku menghela napas, memungut kertas itu, lalu meninggalkan kamar Ranu dalam keadaan tertutup. Aku turun lagi ke aula, mencari keberadaan yang lain. Kutemukan Senja sedang duduk di atas sofa dengan wajah terbenam dalam tangannya. Bias cahaya yang lewat di jendela di belakangnya redup sebab langit mulai kelabu.
Aku mendekat, menempelkan pantatku perlahan di atas sofa di sisinya. Sesaat bisa kucium aroma tidak sedap menyengat.
“Kamu kentut, Ja?”
Senja menoleh padaku. Matanya menikam diriku lama sampai aku terpaksa membuang muka duluan. Ketika aku kembali menoleh padanya, matanya itu sudah terbenam lagi dalam dekapan tangannya bersama segenap wajah tembamnya. Aku menepuk lembut bahunya beberapa kali diselingi usapan yang tak bergairah.
“Bisa-bisanya Mas bercanda dalam situasi begini? Perasaan dulu pas kejadian itu, Mas kelabakan pusing sendiri. Dibandingkan sekarang, itu aneh lho.”
“Sekarang Mas sudah tambah tua, Ja. Pikirannya sudah lebih matang. Lagian Mas mencoba untuk mengendalikan diri. Tidak membiarkan amarah atau emosi apapun menutupi akal jernih. Kukatakan supaya kamu juga begitu.”
Terdengar deru napas meluncur dari bibir Senja. “Oh ya, aku tidak kentut lho. Tadi aku sedang mengurusi kotoran ternak, mau membuat pupuk kompos. Pas mendengar kabar, aku tidak sempat bersih-bersih. Langsung saja mengenakan jas laboratorium ini.”
Senja menyibakkan jas putihnya, menunjukkan padaku noda kotoran ternak yang tertempel di pakaiannya. Aku tidak merespons. Pikiranku terfokus pada isi batin yang lain saat berkerumun tadi.
“Aku masih ingat, Mas, saat usiaku dua puluh tahun. Aku dan si kembar datang ke sini bersamaan. Karena hal itu dan juga karena seumuran, hubungan kami pun jadi erat. Kalian bahkan menganggap kami kembar tiga. Aku masih ingat setiap bulan purnama kami janjian untuk memandanginya di puncak Merbabu. Kami berbagi cerita tentang kehidupan saat di panti asuhan. Sampai-sampai aku menyerukan bahwa Rawi dan Ranu adalah keluarga pertamaku sebab selama di panti asuhan aku selalu dikucilkan.”
Derai air mata Senja mulai bercucuran. Aku semakin giat mengelus-elus bahunya.
“Sekarang Mas tahu ‘kan rasanya, seperti ada yang dicabut dari diriku, meninggalkan perih dan membuatku tidak utuh.” Tangis Senja semakin menjadi-jadi. Dia membenamkan wajahnya lagi, dan mengusir air itu dari pipinya.
Aku tidak tega melihatnya begini. Kupeluk dia erat, membisikkan bahwa aku akan menemukan pelakunya, dan membuatnya berlutut di hadapan Senja. Dia lantas lepas dari pelukanku, melabuhkan matanya ke milikku. Setetes air mata kulihat turun dengan cepat, menggelantung di bawah dagunya.
“Mas berjanji?” tanyanya, dan aku mengangguk. “Kalau begitu, cepat tangkap Mas Angkasa karena dia pernah berkata padaku dia membenci Ranu.”
Aku terkesiap. “Angkasa berkata begitu? Kapan?”
“Akhir-akhir ini, gara-gara Ranu beda pendapat soal rencana liburan yang dirancang Mas Angkasa. Ranu ingin membuat kue tart terbesar dengan tulisan ‘Semoga Berhasil Tim,’ dan yang lain boleh menulisinya juga dengan kata-kata mereka. Ranu mencetuskan ide ini sebagai penyemangat kita semua agar tidak lelah dalam mencapai tujuan penelitian kita. Tapi, Mas Angkasa tidak suka ide itu.”
“Tentu saja dia benci. Angkasa sangat memperhatikan asupan gizi. Makanan manis tidak masuk dalam daftarnya. Tapi masakan hanya gara-gara itu, Angkasa sampai membunuh Ranu?”
“Ya karena Ranu bersikukuh. Dia mau permintaannya ini diwujudkan, bahkan sampai mencari dukungan yang lain, dan hasilnya hampir semua setuju.”
Aku menatap langit-langit aula, berpikir cepat. “Ranu tidak pernah menanyakan ini padaku.”
“Mas! Tujuannya bukan itu ‘kan? Tujuannya adalah menepati janji Mas.”
Aku diam. Tampaknya Senja kesal karena aku tidak mengiyakan. Dia bangkit, lalu berlari keluar dari gedung sambil menangis. Aku memanggil, mengatakan bahwa kertas miliknya tertinggal di sofa. Namun, Senja tidak mendengar. Kulihat dia berlari di trotoar, tepat di belakang jendela ini. Aku meluncurkan napas berat, memungut kertas itu. Ternyata itu adalah formulir yang sudah diisi.
Kubaca isinya, tidak menyeluruh. Baru kali ini aku melihat sisi gelap Senja. Berulang kali dia menuliskan kata “bangsat” dan menyusun kalimat dengan diksi yang agresif. Terlebih lagi di ujung kertas, di area yang kosong, dengan huruf besar dan diberi tiga tanda seru, adalah frasa “Angkasa bangsat.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments