Damn! Aku sudah terlanjur basah. Bagaimana mengeringkan kuyup dalam suasana yang beku? Makin lama justru menjadi balok es. Meski mudah nantinya untuk dipecahkan, mana mungkin aku sudi melakukannya. Aku tidak bisa meletakkan harga diriku begitu saja. Mukaku ini terlalu berharga untuk dibuang hanya demi membenarkan situasi. Barangkali tebakanku justru benar bahwa Rawi berperan besar dalam kematian Ranu.
Ah, tapi manusia macam apa yang rela mengorbankan saudaranya sendiri?
“Sa, kenapa kamu geleng-geleng kepala begitu?”
“Ah, itu… aku tidak habis pikir saja dengan sikap Rawi. Semua bukti mengarah padanya, tetapi dia tetap menolak tuduhan. Coba kalian pikir, jika ini perbuatan orang luar, kenapa tidak terpantau sistem keamanan? Bahkan sebelum mencapai lereng pun ‘kan sudah dipasangi sensor gerak yang jika terpicu akan mengaktifkan sekumpulan robot hewan buas itu. Sedangkan tempat meninggalnya Ranu ada di perbatasan antara fasilitas penelitian ini dan hutan. Posisi kita ini sudah hampir di puncak Merbabu.”
Naura menenggelamkan pandangannya ke arah meja, tetapi tidak benar-benar berenang di sana. Hampir saja aku kehilangan kendali atas sikap yang kubangun dalam semalam. Sampai terbukti Rawi turut andil dalam kematian Ranu, aku harus menjaga topeng ini tetap melekat. Untuk itu aku perlu beberapa tetes perekat.
Kulihat ke kanan dan ke kiri, pada wajah-wajah yang masih dibelenggu dukacita. Sudah kudapati beberapa perekat yang kuperlukan, yang jelas itu bukan Kak Guntur dan Senja. Dua orang itu seakan mau menginjakku sampai rata dengan tanah. Ah ya, bukankah kata Hawa, Rawi mendapat luka tusukan di perut dan berkilah terpeleset dari Solari?
Aku tahu harus memulainya dari mana. “Kakak Bara, tolong punyaku dimasukkan ke kotak bekal ya.”
“Memangnya kamu mau ke mana?”
“Kemarin Hawa bilang Solari 3 butuh kasih sayangku. Jadi, aku mau mengelusnya sambil menyumpal bibirku yang gatal ini.”
“Semoga tidak disumpal dengan gosip.” Kak Guntur menyela pembicaraan.
“Aduh, Kakak Guntur, bibir ini gatal karena sudah tidak sabar ingin memakan masakannya Kakak Bara yang sangat teramat lezat.” Kak Bara itu memiliki tangan yang super cepat sehingga peran sebagai tukang masak dan kebersihan patut disandangnya. Baru sepintas bercakap, kotak bekalku sudah berada di tanganku.
“Enjoy, Sa.”
“I will. Sampai jumpa nanti, Kawan-kawan.”
Turun ke lantai satu, hidungku sudah mulai mengendus bau-bau perekat. Aromanya sangat kuat, berasal dari orang yang menjadi nomor satu dalam daftarku.
“Pagi, Hawa. Melihat kamu pagi-pagi begini, udaranya langsung sejuk.” Hawa tertunduk malu. Orang seperti dia akan lebih mudah untuk disetir. “Oh ya, aku mau memperbaiki Solari 3, kamu mau ikut membantu? Eh, menonton saja karena kudengar kamu anti dengan kendaraan rancanganku ini.”
“Bu-bukannya anti, Kak, tapi kemarin itu saya takut disuruh latihan sama Pak Guntur. Kalau diminta membantu, saya bisa kok.”
“Bagus, ayo ikut aku.” Aku mengambil kunci pintu garasi bagian dalam, mengecek terlebih dahulu siapa saja yang akan menggunakan Solari dan pada jam berapa saja pada papan laporan yang tertempel di dinding. Kemudian, baru kami masuk. Aku mengunci pintunya lagi, ganti mengambil kunci untuk membuka pintu garasi bagian depan. Kehangatan menyentuh kakiku dan perlahan merangkak ke atas. Garasi pun kini banjir dengan cahaya mentari.
“Kak, kenapa kedua pintu akses menuju garasi selalu dikunci?”
“Untuk jaga-jaga kalau tiba-tiba terjadi peristiwa tidak mengenakkan seperti waktu itu. Merancang satu Solari saja memakan waktu enam bulan lebih, belum termasuk uji coba. Kalau rusak, aku menangis, Wa.” Aku mengambil bangku kecil, menyuruh Hawa duduk di sana. “Oke, katamu, Solari 3 yang bermasalah ‘kan?”
“Iya, itu kendaraan yang dipakai kemarin, yang saya gunakan untuk latihan juga. Kak Rawi sepertinya ugal-ugalan mengendarainya, jadi… ya begitulah.”
“Berarti kamu sudah berhasil latihannya?”
Hawa menggeleng. “Saya hanya menaikinya.”
“Oh iya, Rawi bilang dia mendapat luka itu karena tergelincir dari Solari. Berarti setidaknya ada masalah pada Solari yang dia kendarai. Kamu tahu tidak nomor berapa yang dia pakai waktu itu? Apakah dia mendapat luka itu kemarin?” Meskipun aku sudah tahu jawabannya saat melihat papan tadi, tetapi aku ingin mengetahui di mana letak kesetiaan Hawa berada.
Hawa tidak pernah menatap orang yang mengajaknya bicara atau yang diajaknya bicara. Dia sekilas memandang, lalu mengaitkan tatapannya pada benda-benda mati di sekitar. Saat merenung pun kedua netranya berkelana bagai burung-burung yang bebas terbang ke sana ke mari. “Yang saya tahu, luka itu tidak didapatnya kemarin. Seingat saya, dia bilang kemarinnya lagi. Dan untuk Solari nomor berapa, saya tidak tahu.”
“Ada satu cara untuk mengetahuinya.” Kali ini Hawa tampak tertarik sampai-sampai dia tidak mengalihkan pandangannya dariku. “Caranya, ya kita cek satu-persatu.”
Hawa meninggalkan bangkunya untuk bergabung denganku yang mulai mengamati Solari 3. Berdasarkan pengalaman, dengan banyaknya pengendara pemula yang mencoba-coba dan pada akhirnya merusak kendaraan rancanganku ini, aku pun memasang sistem log untuk merekam riwayat perjalanan. Yang dibaca adalah jarak, waktu tempuh, dan fitur robotik apa saja yang digunakan selama perjalanan itu.
Aku mengatupkan kedua barisan gigiku, mengisap dalam-dalam udara di sekitar ketika membaca rekaman Solari 3. “Pantas saja bermasalah. Dengan jarak sepuluh kilometer, dia memakan waktu dua puluh menit, dan menggunakan fitur-fitur ini. Kalau aku jadi Solari, aku lebih dari ngambek. Kalau bisa, kupentalkan sekalian si Rawi itu. Komponen utamanya ‘kan bekerja terlalu berat dan jadi kepanasan.”
Kudengar tawa kecil yang renyah dari bibir Hawa. “Eh, seriusan, Wa. Kalau dia mengendarainya begini, dan kalau selama ini begini, berarti usahaku tidak dihargai. Setuju tidak?”
Hanya huruf “e” panjang yang kuterima. Aku beralih menuju Solari 1 dan 2, mengamati setiap lekukannya yang ternyata tiada cacat. Gambaran dalam otakku berkata, penumpangnya tergelincir hingga terluka di bagian depan tubuh, itu berarti Solari terjungkal atau oleng ke samping. Aku mensinkronisasikan ulang kedua mobil canggih ini. Tidak ditemukan masalah.
Jika posisi Solari hendak menanjak, dan Rawi tidak mengikatkan sabuk pengaman, itu salah dia sendiri. Namun, mungkin ada malfungsi fitur. Aku menuju sudut garasi untuk mengambil tablet yang disimpan dalam lemari perkakas. Kusambungkan gawai pada kedua Solari secara bergantian, mengecek kondisi tiap fitur.
“Ini aneh. Keduanya tidak bermasalah. Apa menurutmu Rawi telah berbohong?”
“Kak Angkasa tidak mengecek yang nomor tiga menggunakan benda itu juga?”
“Maksudmu, Rawi menggunakan Solari 3 saat kecelakaan? Itu tandanya dia juga memanipulasi daftar peminjaman.”
“Oh iya, ada daftar itu.” Hawa segera membuka pintu garasi bagian dalam, dan menghilang di balik dinding. Kurasa dia sedang mengecek papan laporan. Apakah dia memang sepolos itu?
Di saat bersamaan Argo menyapaku dari luar. “Kak, aku boleh pinjam Solari-nya?”
“Yang nomor 3 sedang rusak. Pilih di antara dua ini, dan jangan lupa tulis di daftar.”
“Lho, tadi kata Kak Rawi yang nomor 2 juga rusak gara-gara tergelincir di jalanan menanjak. Berarti tidak ada pilihan. Lagipula, kenapa harus memilih? Toh tiga-tiganya berbentuk sama dan warnanya juga sama.”
Hawa telah bergabung kembali. Air mukanya kelihatan serius seperti baru saja menemukan informasi yang penting. “Tidak ada catatan Kak Rawi meminjam Solari dua hari yang lalu. Tapi menurutku, harusnya ada. ‘Kan tugasnya Kak Rawi berkeliling.”
“Kalian membicarakan masalah apa sebenarnya? Dua hari yang lalu, aku memakai Solari 2, tapi yang mendaftar Kak Embun. Selanjutnya ganti dipakai Kak Rawi karena dia menyuruhku menjaga pos saja. Oh ya, di mana kunci mobilnya?”
Aku menuding pada dinding di belakangku di mana tiga kunci bergelantungan pada paku masing-masing. Argo memang tidak pernah meminjam mobil langsung dari garasi. Seperti katanya, dia sering memakainya bergantian dengan anggota lain. Argo itu sama seperti Rawi, petugas keamanan. Bedanya dia masih pemula, ditransfer ke mari beberapa bulan sebelum Hawa.
“Go, kemarin kamu juga dengar sendiri bukan penuturan Rawi saat kita membicarakan tentang luka di perutnya? Jika digabungkan dengan pernyataanmu, harusnya Solari 2 ikut bermasalah. Tapi, nyatanya tidak.”
Mulut Argo terbuka lebar. Suaranya tercekat. “Tapi aku melihat sendiri, Kak Rawi yang mengembalikan Solari 2 ke sini. Itu petang hari.”
“Kamu melihat ada darah di bajunya?” Hawa ganti bertanya.
“Mana kutahu. Pakaiannya gelap semua.” Argo diam. Aku dan Hawa ikut diam. Tetapi kemudian, Argo menjentikkan jemarinya. “Aku ingat sekarang. Sewaktu bertemu denganku, Kak Rawi sempat menyibak lengan bajunya hingga ke siku, memperlihatkan luka bakar di bagian tengah lengannya itu. Dia mengaku kecipratan minyak panas. Tetapi, ayolah, pembunuh Kak Ranu membakar pegangan pisau demi menghilangkan jejak.”
Ini dia bukti yang kucari-cari, akhirnya datang juga. Dengan ini aku bisa menyelamatkan mukaku dan menjatuhkan Rawi. Namun, aku perlu tahu lebih banyak lagi, apakah ini murni kecelakaan atau terencana, dan apakah Rawi bekerja sendiri atau dengan tangan kanan. Aku harus mendengar penuturan Candra, yang tak lain adalah penemu mayat Ranu.
“Kak Angkasa, aku harus segera ke posku. Aku harus melihat apakah cuaca hari ini akan berubah atau tidak,” kata Hawa.
“Aku juga mau berkeliling, Kak,” Argo menyahut.
“Baiklah, tapi kalian harus mengingat-ingat betul temuan kita hari ini. Sementara jangan sampai ada orang lain tahu, khususnya Pak Guntur.”
Kedua orang itu mengangguk. Argo menawari Hawa tumpangan hingga ke posnya. Aku memandangi mereka sampai hilang dari mataku, ganti melihat dua kendaraan yang masih terparkir bersisian. Kutepuk-tepuk roda bundarnya, membayangkan skenario ketika Ranu terbunuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments