“Argo, bisa kita bicara sebentar?” tanyaku ketika Kak Rawi dan Hawa ke luar gedung. Kami memisahkan diri, yang lain mengikuti. Kerumunan orang bubar dalam sekejap dengan bisikan yang berkeliaran di sekitar bibir mereka. Di sela itu, Fajar mengerling padaku.
Kubawa Argo menuju ruang penyimpanan peralatan rumah tangga, mengunci pintunya. Saat Argo bertanya ada apa, aku langsung meninjukan sebelah tangan ke dadanya.
“Aku tahu kamu membenciku, tapi ini kelewat batas,” keluh Argo.
“Sejak kapan kamu tahu kalau Fajar mempunyai bukti itu? Kalian ‘kan dekat.”
“Bukan Fajar yang menemukannya.”
“Jadi siapa?”
Argo menudingkan telunjuk ke dirinya sendiri.
Aku bertepuk tangan. “Terima kasih banyak ya, Go. Dengan begitu, Fajar yang akan mendapat hadiahnya kalau bukti itu benar.”
Argo mengusap belakang kepalanya. Tidak mengatakan apa pun.
“Oke. Hanya itu yang mau kukatakan. Bau karbolnya terlalu menyengat di sini.”
Aku membuka pintu, menghambur menuju lobi yang sudah lengang. Dari luar terdengar suara teriakan Kak Angkasa yang bercampur kemarahan. Dia masuk, bertemu pandang denganku sejenak dengan ekspresi yang masih terbakar. Kak Angkasa langsung menaiki tangga. Di saat yang bersamaan, Argo menarik tanganku.
“Biar kujelaskan sesuatu padamu. Ayo ikut aku!”
Argo menyeret tanganku hingga ke garasi. Salah satu Solari sudah tidak ada. Argo mengambil kunci, menghidupkan kendaraan canggih itu. Dipaksanya aku untuk naik. Aku sempat menolak, tetapi dia akan memberiku alasan yang kuat asalkan aku ikut.
Dia membawaku turun menuju ladang beri, ke tempat meninggalnya Kak Ranu. Argo menunjukkan persis posisi aslinya dan letak dipindahkannya tubuh Kak Ranu. Kemudian, dia memintaku naik Solari kembali, lalu turun tidak terlalu jauh. Di sinilah Argo menemukan barang buktinya.
“Alasanku melimpahkannya pada Fajar, karena aku sudah berjanji pada Kak Angkasa akan memihaknya.”
“Itu bukan alasan yang kuat.”
“Itu karena kamu tidak bisa melihat. Pikiranmu itu cuma sibuk mencari bagaimana caranya membuat Hawa salah di mata orang.”
“Aha! Kamu mengetahuiku lebih baik daripada Fajar. Ada saran bagaimana membuat itu terwujud?”
“Aku tidak akan menyudutkan Hawa. Tanpa dijatuhkan dalam perangkap pun, dia pasti terperosok sendiri. Dia memakan informasi mentah-mentah dan fokus pada informasi itu.”
Aku heran mengapa tidak ada satu pun yang mencurigai Hawa. Dialah yang paling berpeluang menyebabkan kekacauan. Namun, sudahlah. Nanti juga akan kutemukan retakan pada sikapnya yang sok manis itu.
“Jadi, urusan kita selesai?”
“Ini bahkan baru dimulai. Mumpung aku punya tangan kanan, aku memintamu menyelidiki lebih lanjut.”
“Tunggu sebentar! Kamu menyebutku tangan kananmu? Jangan mimpi!”
“Ayolah, jangan berdebat sekarang! Kita turun gunung dan mencari bukti keberadaan orang luar itu.”
“Kamu terdengar seperti Pak Guntur.”
Argo berterima kasih, tetapi aku menepisnya dengan ujaran kebencian. Tanpa merespons ucapanku, dia membawaku menuruni gunung. Sesekali kami memutari hutan, meneliti dengan seksama sekeliling kami demi mencari benda-benda asing.
“Menurutmu, pisau yang dipakai pelaku juga berasal dari luar?” Aku memecah kebisuan yang sedari tadi terbangun.
“Tentu saja. Aku juga percaya potongan plastik itu juga dari sana. Kalau aku berpikir sebaliknya, aku akan semakin mempercayai ucapan Kak Angkasa.”
“Kenapa tidak berpikiran sederhana saja? Takut selevel dengan Hawa?”
“Bukan begitu. Aku hanya mau melihatnya dari sudut pandang yang lain. Di tempat di mana setiap orang punya sudut pandang masing-masing, aku perlu tahu seluruhnya. Tapi tidak mungkin mewawancari satu persatu, aku tidak pandai menangkap kebohongan. Jadi, kupilih cara ini.”
“Benarkah? Kalau aku bilang kamu sebenarnya tipeku, menurutmu aku berbohong atau tidak?”
“Itu tidak perlu dipertanyakan lagi.”
“Bisa saja ‘kan aku menyimpan perasaan terpendam.”
Argo kembali diam. Tatapannya menuju ke cakrawala yang mulai dihiasi semburat oranye. “Sebentar lagi gelap. Setidaknya, aku harus mendapatkan bukti tambahan.”
Solari dipacu dengan kecepatan tinggi saat ini. Argo berkata hendak menuju menara luar yang lokasinya berada di dekat perbatasan hutan dan hamparan tanah tandus. Di menara itulah segala aktivitas yang terekam kamera CCTV―yang dipasang di pos-pos keamanan di luar area fasilitas penelitian―dipantau. Contohnya, di dekat sensor gerak dan penyimpanan robot hewan buas. Menara itu juga menghubungkan dunia luar dengan fasilitas penelitian sehingga kami bisa tahu berita terkini yang sedang gempar dan bisa memakai Wi-Fi dengan lancar.
“Aku tidak tahu apa kita bisa mendapatkan informasi bagus atau tidak. Rekaman dari kamera CCTV bisa jadi tidak berguna karena kamera itu hanya fokus pada satu titik dan jarang dihidupkan.”
Tenggorokanku tercekat. “Bukannya justru itu yang terpenting. Menara luar seperti benteng pertahanan kita yang pertama.”
“Aku juga heran, tapi menurutku, karena kejadian delapan tahun lalu, Kak Rawi jadi lebih sering berkeliling. Bahkan ada bahu tambahan sepertiku dan orang yang gemar mencari kedamaian di luar fasilitas penelitian. Sayangnya, orang itu sudah tidak ada lagi.”
Aku mengangguk-angguk. “Jadi, kita mengandalkan tenaga manusia. Menurutmu, Kak Rawi sedang berkeliling saat ini?”
“Ya, dan kuharap kita tidak berpapasan dengannya. Akan terlihat aneh jika aku pergi mencari bukti tambahan, dan lebih aneh lagi karena bersamamu.”
Kutimpuk belakang kepala Argo. Dia tidak mengeluh. Sekarang aku dihinggapi rasa canggung akibat sikapnya. Biasanya dia selalu mencari gara-gara denganku.
“Aku tidak punya tenaga mengurusimu, Bin. Jangan salah paham! Aku masih membencimu.”
Argo berkata padaku lewat kaca spion. Ekspresinya membuatku menyesal telah merasa canggung.
Tiba di menara luar, semburat oranye di langit semakin pekat dilihat. Argo langsung menuju tangga besi, memanjatnya. Bangunan ini disebut menara karena dia bertingkat, tetapi lantai pertamanya adalah pilar-pilar penyangga dari baja. Menurutku, justru lebih cocok disebut rumah pohon karena benar-benar ada rumah di atasnya.
Argo melongokkan kepala, mengatakan padaku bahwa Kak Embun tidak berada di tempat. Aku ganti menaiki tangga, sedikit kesusahan akibat sepatuku yang licin. Sampai di anak tangga terakhir, tangan Argo terulur padaku. Aku menerimanya, dan dia langsung menarikku.
“Wah, ternyata bagus juga posnya. Andai aku tahu banyak soal komputer dan *****-bengeknya, aku pasti bisa menikmati keindahan ini. Lihat ke sana, Go! Cahaya hijau neonnya tampak mengagumkan dari sini.” Aku mengacungkan telunjuk. Argo bergabung di sampingku. “Dulu, saat di panti asuhan, aku begitu membencinya karena menyilaukan mata. Ada pohon artifisial diletakkan di samping rumah, dan ujungnya berada tepat di jendela kamarku. Tiap malam, saat kututup tirai sekali pun, cahaya masih bisa masuk dan cukup terang.”
“Kadang, aku malah rindu masa-masa itu.” Argo meninggalkanku dengan komentarnya itu.
Aku berdiri dekat dengan pagar besi, mencengkeram pinggirannya, membebankan tubuh ke depan. Aku mencerna pemandangan elok itu sebanyak-banyaknya. Jarang sekali aku mendapatkan momen ini. Waktuku tersedot mengurusi semua jenis sumber energi, kecuali nuklir dan listrik. Untungnya, tidak ada nuklir. Aku pernah membaca kejadian di Chernobyl, dan itu sangat menakutkan.
“Bin, ke sini cepat!”
Aku terkesiap mendengar suara Argo yang lantang. Aku bergegas masuk, disambut interior ruangan yang benar-benar mirip rumah. Ada sofa, dapur, bahkan televisi pribadi. Aku sedikit iri.
“Ke sini dan lihat ini!” Argo menuding pada layar komputer yang terbagi menjadi empat.
Kutelusuri isi kamera, mencari apa yang dimaksud Argo. Kakiku langsung lemas saat satu kamera yang terletak di sisi timur dari sini merekam pergerakan beberapa orang bersenjata. Salah satunya seorang wanita.
“Berapa jauh dari sini?”
“Tidak terlalu jauh. Sekitar lima ratus meter.”
“Apa kita tadi melewatinya?”
Argo menggeleng, tetapi menekankan bahwa kami dekat dengan lokasi itu. Asumsiku bahwa mereka telah melihat kami. Argo menyetujui. Dia menyuruhku membawa Solari pulang, sementara dia akan mengawasi di sini.
“Kamu harus menyetel tanda bahaya.”
“Akan kulakukan. Eh, tunggu! Sejak kapan lampu ini berkedip?”
Aku melihat di sudut keyboard komputer yang tidak umum bentuknya, lampu warna krem menyala terang dan meredup secara terus-menerus. Aku menanyai Argo apabila lampu itu penting.
“Kamu lihat titik-titik yang timbul ini?” Argo menunjuk pada komputer yang berbeda dari sebelumnya. “Ini adalah rangkaian sinyal tanda bahaya. Ini berasal dari gerbang terluar.”
Argo diam seakan menunggu reaksi dariku, tetapi pikiranku mendadak kosong.
“Entahlah, aku akan mengirim sinyal dan membunyikan tanda bahaya di sini.” Dalam sekejap, bunyi tet-tet menggelegar menambah kepanikan yang kurasakan. Argo menggenggam tanganku, memandangku dalam-dalam. “Tunggu apa lagi? Kamu harus pergi!”
“Tapi aku tidak mau pergi sendiri, Go. Bagaimana jika ternyata ada gerombolan lain, dan aku berpapasan dengan mereka? Ah, kuharap Fajar ada di sini.” Aku membenamkan muka dalam kedua tanganku. Merasakan panas di sudut mata yang terasa berat oleh air.
Argo menarik tanganku, memberiku tatapan yang misterius. Namun, langkahnya mantap memanduku menuju lemari. Dia mengambil walkie-talkie, lalu kami berderap keluar. Kami segera menaiki Solari dengan kecepatan yang melebihi batas sampai-sampai rodanya kedengaran seperti mau lepas. Tetapi aku bersyukur, Argo tidak tinggal di menara. Aku punya firasat buruk tentang bangunan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments