LOG 1: HAWA

Hawa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gelombang yang menerpa dadanya saat Pak Guntur menyuruhnya mengendarai kendaraan itu. Sebuah kendaraan mirip mobil, tetapi tanpa atap dan dinding, dan rodanya berbentuk persis bola. Kata Pak Guntur, di bawah kursinya ada komponen robotik yang memungkinkan mobilitas dalam medan yang sulit.

“Ini bagian dari pelatihan, Wa. Sangat berguna pas kamu harus bepergian ke pos yang jauh.”

“Tapi, Pak, pos pengamatan saya ‘kan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Lagipula, kendaraan ini hanya ada tiga. Bukankah lebih sering dipakai Kak Rawi?”

“Tidak ada negosiasi, Hawa. Lagipula Angkasa sedang merancang kendaraan keempat, jadi semua orang punya lebih banyak kesempatan untuk menaikinya. Percaya Bapak, Wa. Ini tidak sesulit itu.”

Pak Guntur melingkarkan lengannya ke bahu Hawa, memandunya mendekati kendaraan canggih itu. Lutut Hawa bagaikan berpikiran sendiri, melonjak dan menolak untuk maju. Matanya hampir menangis oleh sebab itu.

“Pak, saya takut terjungkal.”

“Lho ‘kan sudah Bapak bilang kalau kendaraan ini aman. Dia bisa meminimalisir kecelakaan dengan data-data yang terkumpul saat perjalanan. Atau kamu mau coba fitur autonya? Dia akan mengatur semuanya. Kamu tinggal menggerakkan saja ke mana pun kamu mau pergi.”

Pak Guntur memandu Hawa―lebih seperti mendorong dan menyeretnya hingga Hawa berada satu sentimeter dekat dengan kendaraan itu. Pak Guntur menyuruh Hawa duduk di kursi kemudi. Hawa melangkahkan kaki lebih lama dari laju seekor siput. Ternyata itu membuat Pak Guntur tidak sabar dan mendudukkan Hawa dengan segera di kursi itu. Mengikat tubuhnya dengan sabuk pengaman yang dilingkarkan di pinggang.

“Lihat ‘kan? Tidak seburuk itu.”

Hawa bersumpah dia merasakan panas menyengat di sekujur pipinya, memicu bulir-bulir air tumpah dari sudut mata. Dia melirik pada panel kontrol yang tersebar di belakang kemudi.

“Nah, mobil ini juga pakai kunci. Masukkan ke sini untuk menghidupkannya.”

Pak Guntur memutar kunci itu. Mesin kendaraan terdengar halus. Seketika Hawa meraung-raung, mengalahkan bunyi mesin bahkan burung-burung yang asyik menyanyi di atas pepohonan.

“Mas, kamu takkan bisa membuatnya berhasil menaiki ini kalau caranya demikian.”

Hawa menghentikan sedu sedannya, mencari sosok yang menyumbangkan pendapat yang amat disetujuinya. “Kak Rawi, tolong aku!”

Rawi menarik kuncinya sehingga mesin padam. Dia berhadapan dengan Pak Guntur. “Biar aku yang mengajarinya, Mas. Kamu lanjutkan saja membaca data-data itu biar tidak menumpuk dan menyebabkan masalah nanti.”

“Yah, oke, tapi hari ini Hawa harus sudah bisa. Aku ingin seminggu sekali jalan-jalan keliling ditemani Hawa.”

“Hah, sebegitunya?” Rawi menelengkan kepala. Terdengar alunan nada curiga di akhir kalimatnya itu.

“Jangan berpikiran aneh-aneh! Hawa ini ‘kan masih tujuh belas tahun. Usianya pantas untuk jadi anakku.” Pak Guntur diam sejenak. Dia memandang Hawa dan Rawi bergantian. “Eh, tapi rasanya tidak pantas kamu yang mengajari. Jangan-jangan, nanti kamu menggoda Hawa lagi.”

“Mas, tolonglah. Urus saja data-datamu itu. Nanti keburu disusul data yang lain.”

Pak Guntur meninggalkan area depan garasi dengan gemuruh kata-kata di sekitar bibirnya. Rawi menoleh pada Hawa, memberinya senyum kecil yang hampir tidak kelihatan karena tertutup cambang dan kumis yang tebal. Dia melepaskan sabuk pengaman, menyuruh Hawa pindah ke kursi penumpang, sementara dia sendiri menempelkan pantat ke kursi pengemudi dengan nyamannya.

“Sudah kamu pasang sabuk pengamanmu?” Rawi bertanya tanpa menoleh ke belakang.

Hawa tidak menjawab, bingung harus dipasangkan bagaimana sehelai kain elastis yang tertempel di kursi. Dua buah tangan mengambil alih sabuk itu.

“Oh, sambungannya terselip di sini. Nah, tinggal kamu pasangkan begini dan duduk bersandar dengan nyaman. Meski kelihatannya aman, semisal sedang melaju di medan yang sulit, kamu harus tetap berpegangan. Takutnya nanti kamu terpental dari kursi.”

Rawi mengedipkan mata pada Hawa, lalu menghidupkan mesin. Hawa bergegas mengaitkan kedua tangannya ke samping bawah kursi. Otot-otot tangannya menegang. Kendaraan melaju di trotoar berwarna putih, melenggok melewati pintu depan bangunan utama, dan menyisiri deretan bunga mawar beraneka rupa.

“Kak Rawi, kita mau pergi ke mana?”

“Berkeliling tentunya, mengawasi keadaan sekitar.”

“Apa kita akan melewati jurang?”

Rawi tertawa kecil. “Kamu takut?”

“Siapa yang tidak takut kalau mobilnya tanpa atap dan dinding?”

“Aku tidak. Kalau mobil ini membahayakan, aku pasti sudah mati dari dulu. Pokoknya, hari ini aku akan mengajakmu langsung ke tempat-tempat yang ekstrim. Biar kamu tahu betapa serunya menjelajah dengan Solari.”

“Solari? Oh, jadi ini merek mobilnya.” Hawa mengangguk-angguk.

Mobil baru saja memutari bangunan utama. Rawi sengaja berputar-putar agar Hawa merasa lebih nyaman. Dia beberapa kali menoleh, melirik dengan tatapannya yang tajam namun tak menusuk, lalu berkata, “oke, sekali lagi.”

Baru setelah putaran keempat, mobil melaju keluar dari trotoar. Jantung Hawa berdegup kencang ketika ada sedikit guncangan akibat roda-roda menyentuh permukaan tanah yang lebih rendah dari trotoar. Rawi mengatakan bahwa mereka akan baik-baik saja sebab empat roda berarti seimbang. Dia mengajak Hawa berbincang apabila dia pernah menaiki sepeda motor. Hawa menjawab bahwa seumur hidupnya di panti asuhan, dia hampir tidak pernah menjejakkan kaki di luar.

“Pantas saja kulitmu tidak hitam sepertiku.”

Hawa hendak membalas jika Rawi tidak sehitam itu, tetapi seorang perempuan berpakaian rapi datang terlebih dahulu. Suara lembut mesin menjadi senyap. Hawa melihat ke samping kiri dan kanan tubuhnya, hendak turun dari Solari. Tanahnya yang bercampur lumpur hasil terjangan hujan kemarin mengurungkan niatnya.

“Hai, kudengar kamu mengajari Hawa naik Solari? Sudah bisa?”

“Apa mau kamu masukkan ke catatan juga, Naura?”

Perempuan itu menyunggingkan senyum. “Tentu saja. Setiap momen berarti. Oh ya, apa kamu sudah melihat Ranu?”

“Paling dia sedang menyesatkan diri di antah-berantah.”

“Meskipun begitu dia selalu melapor padaku lewat telepon, tetapi kemarin hingga detik ini sama sekali tidak kudengar kabarnya.”

Rawi diam sejenak. Jemarinya mengusap cambang dan kumis. Dia tampak berpikir serius, menerawang jauh menembus hamparan pepohonan yang terbentang di bawah cakrawala. “Baiklah akan kucari dia. Nanti kalau kamu mendengar kabarnya sebelum aku, tolong sampaikan juga padaku.”

“Baiklah, Rawi dan Hawa. Selamat bersenang-senang.”

Mesin mobil kembali hidup. Kendaraan canggih itu melaju kencang di tanah berlumpur, memercikkan cairan cokelat ke segala sisi. Hawa mencengkeram bagian bawah kursi, memandangi punggung yang tampak menegang. Seketika kekhawatiran merayap di hati Hawa sebab dia tahu Ranu bukanlah orang yang suka menghilang tanpa jejak. Ranu biasa menghubungi teman-temannya untuk sekadar memberitahu aktivitasnya di hutan atau memperlihatkan temuannya. Terlebih Ranu adalah kembaran Rawi. Hawa tidak bisa membayangkan perasaan Rawi jika terjadi sesuatu pada Ranu.

“Wa, kamu punya nomor Ranu bukan?” Rawi bertanya tanpa menoleh.

“Iya, aku punya.” Hawa menjawab lirih.

“Coba kamu hubungi dia.”

Hawa mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dengan sebelah tangan masih berpegangan, dan laju mobil yang bergoyang-goyang, Hawa mencari nomor Ranu. Dia menekan tombol panggil begitu menemukannya. Telepon tersambung diikuti bunyi tut yang tidak asing. Namun, bunyi tut itu dimatikan dari ujung telepon.

“Tidak dijawab, Kak,” seru Hawa.

“Coba lagi.”

Hawa menelepon kembali nomor Ranu. Kali ini bunyi tutnya bahkan tidak sampai lama. Hawa tetap mencoba. Nomor itu tidak dapat dihubungi. Hawa menyampaikannya pada Rawi. Mendadak mobil berhenti dengan kasar. Hawa terdorong ke depan, pegangan tangannya lepas. Kepalanya terantuk kursi pengemudi. Tidak merasakan sakit, Hawa pun melihat ke depan untuk mengecek keadaan Rawi. Namun, laki-laki itu tidak ada di sana. Kemudian, terdengar umpatan menggelora.

Rawi telah berada di pinggir tebing, beberapa meter dari posisi mobil. Hawa heran melihat betapa cepatnya Rawi berpindah. Selain mengumpat, laki-laki itu juga memanggil nama Ranu berulang-ulang.

“Kak Rawi?” panggil Hawa begitu berada di belakang laki-laki itu.

“Wa, maaf ya. Tapi aku akan bawa mobilnya berkeliling. Kamu terpaksa pulang berjalan kaki.”

Rawi menaiki mobil, setengah melompat, langsung memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Mesin yang lembut naik menjadi tiga oktaf. Hawa berteriak supaya Rawi berhati-hati, tetapi ketika mobil itu melompat dari tebing, dia tidak mampu mengontrol kakinya. Terseok-seok Hawa menuju pinggir tebing, mendapati mobil itu berjalan menempel pada dinding yang hampir sembilan puluh derajat tegaknya.

Setelah mengumpulkan kepingan tenaga yang rontok akibat atraksi Rawi, Hawa kembali ke gedung utama. Beberapa orang telah berkumpul di depan pintu. Di antaranya ada Pak Guntur dan Naura. Raut wajah mereka berkerut dan terlihat serius. Hawa dapat merasakan aura kekhawatiran terpancar dari lingkaran kecil itu.

“Hawa, di mana Rawi? Kamu tidak pulang bersamanya?” tanya Naura.

“Tidak, Kak. Dia mau pergi mencari Kak Ranu. Mungkin sebaiknya ada yang menemani Kak Rawi berkeliling menggunakan So-Solari? Saya takut kalau Kak Rawi gegabah dan celaka di jalan.”

Deru napas terdengar dari bibir Naura. Wajahnya yang tirus semakin terlihat cekung. “Kami sudah menemukan Ranu, Wa. Dia ditemukan meninggal dengan luka tusukan.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!