LOG 16 - BARA

“Pak, mereka berhasil menangkapnya! Laki-laki itu diikat dan diseret oleh Argo dan Kak Rawi. Pak, aku akan kembali ke gedung utama. Mari bersiap menghajar laki-laki itu!”

Keanu menutup telepon. Aku segera naik ke lantai dua, mengabaikan Mega dan Guntur yang memanggil-manggilku. Menuju dapur, ruang terfavorit tempatku mengabdi selama ini, kuambil pisau dan teflon, lalu bergegas turun lagi. Aku langsung menuju pintu depan dengan dua benda kesukaanku teracung ke depan. Sosok yang disebut Keanu belum memunculkan batang hidungnya.

“Pak Bara, kenapa membawa pisau? Memang orang-orang itu sudah sampai ke mari?” Mega menghampiri.

“Aku menunggu orang yang mencelakai Gemintang. Kata Keanu, Argo dan Rawi berhasil melumpuhkannya.”

“Serius? Apa perlu kujemput mereka?” Guntur bergabung.

“Tidak perlu.” Aku menunjuk melewati hamparan tanaman bunga. Tampak Argo dan Rawi memapah seorang laki-laki dengan Hawa berjalan mendahului.

Aku dan Guntur langsung menyambut, menyuruh Argo dan Rawi enyah agar kami bisa menangani laki-laki itu. Guntur lebih dulu membenamkan tinju.

“Pak, Pak, jangan main hakim sendiri. Lagipula, orang ini sudah tidak sadarkan diri. Lebih baik kita bawa masuk dan ikat dia.” Argo menengahi.

“Enak saja, Go. Ini orang sudah keterlaluan, sudah melukai keluarga kita. Lebih baik kita tamatkan dia sekarang.” Aku mengangkat pisau, menargetkan kepalanya yang setengah botak. Tanganku sudah menjurus, tetapi seseorang menghambat lajuku.

“Harap berkepala dingin, Pak. Aku punya banyak pertanyaan untuknya, jadi aku tidak bisa membiarkan Pak Bara mengakhirinya begitu saja.”

“Kak Rawi benar. Kita harus mengungkap kematian Kak Ranu juga. Almarhum adalah keluarga kita.”

Aku memandang Rawi. Di kedalaman matanya kulihat sakit hati yang berkobar menjadi dendam. Anak ini mempunyai tekad yang besar, menyadarkanku pada keberlangsungan hidup anggota yang lain. Bukankah mereka ke sini dalam rombongan?

Kulemaskan tangan. Baru setelahnya, Rawi melepaskan genggamannya. Dia dan Argo mengangkat tubuh laki-laki pendek itu, memapahnya ke dalam gedung utama. Guntur menoleh padaku, memberikan gelengan. Aku mengode dengan mata bahwa dia juga sempat satu pikiran denganku. Kami pun mengekor Argo dan Rawi. Hingga ke depan pintu baru aku menyadari ada yang kurang.

“Lho, kalau Rawi dan Argo mencari si pelaku, siapa yang menyelamatkan Embun? Bukankah tadi katamu mau menjemput dia, Go?”

Argo menghentikan langkah. Dia mengusap wajah dengan tangannya. “Aku bingung di tengah jalan. Kak Keanu menyuruhku menunggu Kak Rawi, tapi karena kelamaan aku kembali ke sini untuk menjemput Kak Rawi. Di dekat penampungan air aku melihat mereka berdua sudah berkelahi.”

“Kalau begitu, aku turun sekarang.” Kak Rawi melepas pegangannya dari lengan si penyusup.

Aku menapakkan satu langkah. Argo menyela.

“Eh, jangan! Kak Rawi di sini saja menuntaskan tugas Kakak menginterogasi si manusia satu ini. Biar aku yang mencari Kak Embun. Lagipula, Fajar dan Binar masih di luar sana. Sekalian kuajak sebagai teman perjalanan.”

“Idih, nanti kamu tinggal lagi, Go.” Fajar muncul dari balik bayang-bayang Argo sembari merangkul Binar.

“Tidak selama kamu juga ikut, Jar.”

“Tidak, pokoknya aku yang pergi. Aku yang lebih paham lereng ini dan punya tanggung jawab lebih besar. Pak Bara, kuserahkan sisanya padamu.”

Aku mengangguk, menggantikan Rawi memapah pelaku yang melukai Gemintang−dan barangkali membunuh Ranu. Argo masih saja bernegosiasi, tetapi yang namanya Rawi, selamanya menjadi Rawi. Dia memiliki prinsip dan benar-benar bisa diandalkan. Sekarang aku bisa bernapas lega sebab segala tudingan yang diarahkan kepadanya terpatahkan dengan kehadiran orang ini.

“Go, ayo kita kurung di ruang ketel. Kita lihat apa dia bisa bertahan hidup di dalam sana.”

“Tapi, Pak―”

“‘Kan Rawi bilang akan mengurus Embun. Kamu tidak usah khawatir.”

“Bukan begitu, Pak. Maksudku, orang ini harus hidup saat Kak Rawi kembali. Begitu ‘kan pesannya?”

“Halah, cuma sebentar saja. Saat Rawi kembali, kita hidangkan di meja.”

Tinggi dan postur tubuhku yang lebih besar dari Argo menambah keuntungan. Sebanyak ketidakinginan Argo memasuki ruang ketel, aku tetap menang. Kuikat pria pendek setengah botak ini ke tiang pipa. Kulilit di bagian tangan dan perut. Dia pingsan dalam keadaan tertunduk sehingga kepala setengah botaknya memandangiku.

Aku gemas mengingat perlakuannya pada Gemintang. Kutengok sekeliling. Hanya ada Guntur dan Keanu yang baru saja masuk. Argo kembali ke lobi untuk mengambil P3K guna mengobati luka yang diukirnya pada tangan si botak ini.

“Dasar manusia tak punya hati!” Kulepaskan kedongkolan dengan memukul kepala botaknya menggunakan teflon—sedangkan pisau dapur sudah disita oleh Guntur tadi.

“Mas Bara, nanti orangnya tidak bangun-bangun lho.”

“Biarkan, Gun. Nanti pas butuh dia buat sadar, panggil saja aku. Nanti kukencingi.”

Aku mendengus selagi meninggalkan ruang ketel. Aku tidak bergabung dengan yang lain di depan ruang medis. Kupercaya, Gemintang adalah orang yang kuat. Dia pasti mampu melawan rasa sakitnya. Namun, tidak bagiku. Peristiwa malam ini mengingatkanku pada kejadian delapan tahun lalu ketika aku masih berkepala tiga.

Mereka menyusup di saat fajar belum sepenuhnya merekah. Sunyi melingkupi pembaringanku. Sesaat aku bisa mendengar bunyi letupan-letupan yang kupikir adalah kembang tidur. Bunyi itu semakin keras terdengar diiringi irama yang memanggil-manggil.

“Bara! Bara! Cepat Bara! Ambil senapan laras panjang ini.”

Aku menggeliat, mengerjap pada sekitarku yang terbungkus keburaman. Aku bangkit sambil menguap serta menggaruk-garuk perut. Ketika kuseret kaki, ia menghantam benda berwarna hitam. Aku mengucek mata, perlahan menyadari bahwa aku tidak memetik bunga tidur. Segera kuambil senjata itu, menghambur keluar. Ketika aku bergabung dengan yang lain, bubuk mesiu telah bercampur dengan udara.

“Bara, jangan kehilangan fokus!” Seniorku menubrukku sehingga kami berdua terjerembab ke jalan setapak.

Sesuatu merobek punggungku. Aku memekik. Satu detik setelahnya aku seperti dihempaskan ke antah-berantah. Seisi netraku serupa tetesan tinta warna-warni yang tercerai saat bersentuhan dengan air. Kuambil napas dalam-dalam, merebut kembali keutuhan pikir. Mataku menjadi netral, mampu merekam sekitar dengan baik. Sayangnya, aku justru diperlihatkan pada pemandangan yang mengiris hati. Seniorku itu berada di atasku dengan darah mengucur dari tubuhnya.

Aku mengguncang-guncangnya, tetapi bahkan matanya yang terbuka itu bergeming. Aku menjerit sejadi-jadinya tanpa bisa berbuat sesuatu. Sungguh payah kontribusiku saat itu sebab ketika yang lain berjuang melawan orang-orang asing, aku hanya terbaring. Menyerah karena kondisi punggungku. Setelah kejadian itu, kekuatan tubuhku menurun. Sepertinya, batu runcing itu memotong syaraf-syaraf penting pada ragaku. Meski aku masih diberi anugerah untuk dapat berjalan, tetapi kemampuanku terbatas.

Aku hanya sanggup melakukan aktivitas ringan, dan jangan lupakan betapa otak ini tidak lepas dari trauma delapan tahun silam. Jika saja aku tidak pandai memasak, aku pasti telah dipulangkan ke kota, menetap dalam penjara. Aku bersyukur sebab pimpinan kami masih memberiku kesempatan mengabdi di sini.

Dengan kepercayaan baru itulah, aku akan menjaganya dengan baik. Aku akan mengungkap siapa pembunuh Ranu sebenarnya. Setelah melihat pria pendek itu, hatiku tergerak. Aku punya firasat kalau dia pelakunya.

“Apa yang harus kumasak untuknya ya? Hm, kurasa telur mata sapi sederhana sudah cukup untuk membuat mulutnya berceceran.”

Kuambil dua buah telur ayam yang tersimpan dalam wadah kayu. Memanaskan teflon yang tadi kupukulkan pada pria itu, memasak kedua bakal anak ayam itu dengan racikan garam artifisial dan merica. Tak luput kutorehkan saus tomat dan kecap sebagai bibir si mata sapi. Meski hati tak rela, tetapi jiwa memasakku memaksa.

Sesudah itu kutaruh mahakarya tersebut di atas piring dengan pinggiran berwarna cokelat. Aku turun. Bersamaan dengan itu, kulihat Candra keluar dari ruang medis.

“Can, bagaimana kondisi Gemintang? Lukanya serius?”

Candra mengusap keningnya. Pergulatan besar telah terjadi di dalam ruang medis, tertera lewat peluhnya yang sebesar biji jagung.

“Aku sudah berusaha yang terbaik. Sisanya kita serahkan pada Bu Gemintang.”

“Terima kasih, Candra. Sekarang kamu istirahat saja. Tanganmu sampai gemetaran begitu.” Mas Samudra menopangkan tangannya ke bahu Candra, memberi remasan di sana.

“Kamu juga gemetar saat mengobati luka Gemintang, Can? Bukannya luka peluru sampai organ dalam ya. Kalau kamu gemetaran, lalu−”

“Hus, jangan ngomong aneh-aneh kamu, Bar! Namanya juga baru pertama kali menangani korban secara langsung. Lagian, kamu sempat-sempatnya makan di tengah situasi begini.”

“Siapa bilang ini buatku? Ini itu untuk pelaku penyerangan Gemintang dan calon tersangka pembunuhan Ranu.”

“Lho, siapa?”

“Sudahlah, kamu urus saja situasi di sini, Mas. Aku mau keluarkan manusia itu dari ruang ketel sebelum Rawi kembali.”

“Calon tersangka pembunuhan Ranu katanya. Cih, that’s bullshit. Paling dalangnya juga Rawi.”

Dalam perjalanan turun ke rubanah, masih sempat-sempatnya si Angkasa menuding Rawi. Aku tidak ambil pusing. Barangkali sama sepertiku, dia mengalami trauma yang membuatnya mudah berprasangka. Apalagi perawakan Rawi sebelumnya yang notabene kelihatan beringas menjadi sasaran empuk buatnya menuduh.

Apalah dayaku tidak mampu menengahi keduanya. Kuharap lewat makanan ini, aku bisa berkontribusi dan mendamaikan mereka nanti.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!