LOG 8 - ARGO

Genap sudah lima bulan semenjak aku datang ke mari. Upacara penyambutan kala itu masih kuingat saja. Aku dihujani telur dan tepung, dikelilingi oleh mereka yang menari riang penuh canda tawa. Aku sempat menangis ketika gumpalan tepung mendarat dalam dekapan tanganku. Bukan karena rasa malu, melainkan miris mendapati betapa kontras kehidupan di lereng Merbabu yang dirahasiakan dengan keadaan masyarakat di luar.

Aku masih ingat hari-hariku di panti asuhan, belajar sambil disuguhi makanan energi berbentuk kotak berwarna putih berbintik cokelat. Lidahku sampai mati rasa karena alot dan hambarnya makanan itu. Ada rasa syukur ketika aku dikirim ke mari untuk membantu pekerjaan di sini sebab aku juga bisa merasakan surga. Tidak lagi kutemui makanan energi itu. Tiap hari yang masuk melalui mulutku beraneka rasa dan rupa. Perlahan rasa miris itu berganti menjadi semangat yang berkobar agar seluruh masyarakat negeri bisa mencicipi kembali indahnya bumi.

Peranku tidaklah besar. Hanya sebagai arsitek dan menyumbangkan tenaga tambahan demi menjaga keamanan. Entah siapa yang memiliki ide brilian memanfaatkan pucuk gunung sebagai tempat penelitian, tapi siapapun itu bukanlah pemerintah. Buktinya aku dibekali cerita tentang serangan orang-orang bersenjata tujuh tahun lalu yang ternyata adalah kiriman pemerintah yang ingin mengklaim sumber daya di pucuk gunung Merbabu.

Sebenarnya para pemerintah itu juga membangun pusat-pusat penelitian di berbagai tempat dan menyegelnya dari penduduk. Berbeda dari tempat ini, mereka justru mengolah bahan makanan menjadi makanan energi itu. Perbandingan perkembangan sumber daya alam dengan penggunaannya satu banding lima, jadi wajar saja ketika mereka melihat warna hijau di pucuk Merbabu, mereka menjadi tertarik untuk menyelidiki. Seandainya manusia berdaya mengontrol cuaca, semua ini takkan terjadi.

Takkan ada pertaruhan nyawa. Takkan ada drama.

“Kenapa lama sekali?” Kak Rawi, yang telah mencukur cambang, jenggot, dan kumisnya, menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“I-itu… tadi Hawa mengajakku mengobrol barang sebentar. Karena usia kami cuma terpaut dua tahun, makanya dia lebih terbuka padaku.” Melihat Kak Rawi yang sekarang membuat level ketakutanku padanya berkurang. Kemarin-kemarin, baru melihat ujung rambutnya saja aku sudah terbirit-birit.

“Di mana Hawa sekarang?”

“Kamu mau memarahinya, Kak?”

“Kenapa kamu berpikiran begitu?”

Aku menyimpan baik-baik perkataan Kak Angkasa tadi. Namun, tidak ada larangan untuk menyampaikan ucapan Hawa tentang luka di perut Kak Rawi, jadi kukatakan saja itu penyebabnya.

“Argo, aku menganggapmu seperti adikku juga, anak didikku yang kubanggakan. Kalau kamu berpaling dariku dan memihak Mas Angkasa, aku bakal marah besar padamu. Sekarang kamu kembali ke pos, aku akan berkeliling.”

Kak Rawi merenggut kunci mobil yang tadi sempat kuambil. Dia menghidupkan mesin, melajukan roda bundar Solari dengan kencang. Aku geleng-geleng kepala. Tidak heran kalau setiap hari, jasa Kak Angkasa dibutuhkan. Rupanya ada satu yang bandel tentang cara menggunakan mobil canggih itu dengan baik dan benar. Jika begini, keyakinanku semakin teguh. Aku jadi penasaran, apakah Kak Rawi benar-benar berkeliling atau justru sedang merancang taktik untuk menjerumuskan kami semua.

Aku berlari kembali ke gedung utama. Kak Angkasa masih ada di garasi, mengutak-atik Solari 3. Untungnya belum ada yang meminjam mobil satunya. Kuutarakan saja maksudku untuk meminjam Solari, dan langsung disetujui olehnya. Kak Angkasa membekaliku teropong agar bisa memantau dari jarak jauh. Aku tidak berpikiran sampai ke situ. Betapa mujurnya dibimbing oleh Kak Angkasa.

Sebagai petugas keamanan, aku bisa memantau seluruh kamera CCTV lewat layar tablet yang tersambung ke komputer utama. Aku bisa melihat dari mana saja tentang keadaan di mana saja. Jemariku lihai melompat di atas layar tablet, mencari pergerakan Kak Rawi. Begitu kutemukan dia sedang berkeliaran di sekitar semak beri-berian, aku langsung menuju ke sana.

Kemarin telah disampaikan bahwa barang-barang Kak Ranu tidak ditemukan di lokasi. Artinya si pelaku menyembunyikannya di tempat lain. Gerak-gerik Kak Rawi memperkuat dugaan Kak Angkasa.

Aku menyisiri ladang palawija, menyapa Kak Mega yang tampak sendu seperti namanya saat kelabu. Dia tidak menyapa balik padaku, sibuk dengan lonjoran kacang panjang yang kuning mengering. Tadinya kupikir semua tanaman di sini kuyu karena ditangani Kak Mega. Hampir lupa bahwa di gunung pun dampak perubahan iklim drastis juga terasa.

Dari ladang palawija, roda Solari menyentuh area tanah yang ditahtai pohon karet. Tidak luas, hanya 50 x 50 m2. Keluar dari hutan kecil, aku disambut sabana yang dibiarkan begitu saja. Rumput tumbuh di sisi-sisi tertentu, lebih sering tumbuh di area bebatuan. Demi menjaganya tetap hijau, Dokter Gemintang memasang penyiram tanaman otomatis di area terbuka seperti ini. Airnya dibiarkan menyala terus, dan menimbulkan kontroversi tentang penghematan sumber daya di antara kami semua.

Meninggalkan sabana, aku kembali bertemu ladang padi dan jagung. Masa panen belum tiba, tetapi daun-daun padi sudah mulai kuning. Sejujurnya, kebanyakan tanaman di sini tidak sehat karena tanah dan habitatnya dijadikan uji coba. Jadi, aku heran kalau masih saja ada orang luar yang tertarik datang kemari. Tapi berbicara soal stres, siapa yang dapat menghalau?

“Dik, aku baru bertemu Mas Rawi di bawah sana. Kalian janjian mau berkeliling bersama? Tumben.” Kak Embun muncul dengan pakaian olahraga. Jam segini dia biasa lari kecil-kecil atau sekadar memanasi ototnya.

Aku tertawa kecil sambil menghentikan laju Solari. “Iya, aku mau memberi Kak Rawi dukungan.”

“Nah, bagus itu. Kasihan, dia semalaman berdiri di lokasi meninggalnya Mas Ranu. Wajahnya sampai pucat begitu.”

“Hah? Apa bukan karena dicukur terus dia kelihatan lebih putih?”

“Masak kamu tidak bisa membedakan?”

Tiba-tiba aku berpikir tentang teori Kak Angkasa. Memang aku dilarang mengutarakannya pada yang lain, tetapi untuk mencari tempat yang kokoh untuk berdiri, tidak ada salahnya mengeruk informasi lain.

“Sepertinya Kak Embun mendukung Kak Rawi ya?”

“Mendukung bagaimana maksudmu?”

“Kakak lihat saja, sekarang semua orang saling menebak. Tanpa sadar mengelompokkan diri masing-masing. Aku sudah berdiri di tempat yang benar, tapi aku masih perlu pembenaran.”

Kak Embun mendekatiku. Dia meletakkan tangannya ke atas bahuku. Segurat senyum menari di bibirnya. “Kalau kamu butuh kebenaran, kamu harus melihat pada titik yang tepat. Jangan hanya melihat bungkusnya, tapi tengok juga isinya. Kalau perlu cecap juga, pahit atau manis.”

Tangan Kak Embun perlahan merosot dari bahuku. Aku menoleh. Dia meregangkan tubuh, bersiap untuk berlari lagi. Aku menghentikannya. “Apa Kakak menemukan keanehan di hari sebelum kematian Kak Ranu? Maksudku soal pagar pembatas.”

“Tidak. Kalaupun ada, harusnya alarm bahaya sudah menyala terlebih dahulu di menaraku. Aku juga sudah mengecek semua sensor gerak. Tidak ada yang rusak. Jadi, entahlah. Barangkali memang musibah.”

Aku melepas Kak Embun dari pertanyaan lain. Pikiranku beku, lidahku kelu. Aku merasa ada sesuatu yang terlupakan olehku. Aku tidak bisa menemukan apa itu, jadi aku lanjut mencari Kak Rawi. Ternyata dia sudah tidak ada lagi di area semak beri.

Aku pun menjadi penasaran tentang lokasi penemuan mayat Kak Ranu. Di antara semak rasberi yang rimbun, ada pita warna kuning melingkari satu area. Aku meneliti tiap sudut, berharap menemukan sesuatu. Kucium tanah, kuraba dedaunan, kususuri timbunan aneh yang bukan pada tempatnya. Tidak kutemukan sesuatu. Aku kembali ke Solari, mengeluarkan tablet untuk mencari Kak Rawi. Dia sudah turun beberapa meter ke area hutan bawah.

Di situ kamera CCTV tidak lagi bisa diandalkan. Hanya jalur menuju menara luar yang dipasangi kamera dan segenap lampu. Aku menghidupkan fitur kaki, dan Solari mengubah keempat rodanya menjadi setengah lingkaran, lalu posisi dudukku meninggi karena tungkai baru mencuat. Solari bergerak pelan menuruni kemiringan.

Hujan kemarin tidak sampai berlarut-larut sehingga fitur kaki bisa digunakan. Aku tidak akan sampai tergelincir dan melukai perutku seperti Kak Rawi―kalau memang pernyataan itu benar. Kulemparkan pandang ke sekeliling. Area hutan memang sejatinya ada dari semenjak fasilitas penelitian dibangun. Tumbuhannya beradaptasi menurut kondisi cuaca saat ini, tetapi masih dapat mempertahankan kehijauannya.

Mendadak mataku dikejutkan oleh sesuatu. Aku menoleh ke belakang. Semak rasberi belum terlalu jauh kutinggalkan. Aku menghentikan Solari, turun dari kursinya yang tinggi dengan cara melompat. Kudekati sumber keterkejutanku, mengerjap berulang kali, dan memang mata ini tidak berbohong. Aku memungutnya.

Sepotong plastik biru yang tidak rapi bentuknya menutup sebagian kecil dua potong makanan energi. Aku tahu betul seperti itu wujudnya. Berbentuk kotak, berwarna putih, berbintik cokelat. Teksturnya alot dan tanpa rasa. Makanan yang juga sempat kumakan selama hampir sembilan belas tahun.

Mendadak aku disedakkan oleh tinju yang entah berasal dari mana. Mungkin dari dalam tubuhku sendiri yang menohok pita suara sampai mau bicara pun sulit. Akhirnya aku memaksa terbatuk, berulang kali sampai aku bisa merasakan bergulirnya udara di rongga hidung, turun ke paru-paru.

Dua balok makanan energi dan plastik perca warna biru itu kini berada dalam dekapan tanganku. Aku mengamati keduanya. Lama sekali hingga air mataku menetes.

Dengan begini, semuanya jelas bahwa seorang penyusup telah membunuh Kak Ranu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!