Aku telah berdoa selama lebih dari satu jam. Menyerahkan keberhasilan penelitian, kesehatan setiap individu yang terlibat, dan terutama penyelesaian misteri kematian Ranu kepada Tuhan. Ketika sore ini bukti baru mencuat, menunjukkan tanda kehadiran orang luar, aku sampai menitikkan tangis di sela doaku. Aku percaya, Kak Rawi bukanlah pelakunya.
Usai memanjatkan doa, aku segera pergi mengurusi bibit pohon durian. Ada greenhouse yang didirikan di perbatasan dekat hutan, berisi tanaman-tanaman yang akan disebar di sepanjang perbatasan. Langit sudah mulai gelap saat aku membuka pintu greenhouse yang berupa plastik tebal. Aku pun menghidupkan senter, mengikatnya di bahuku.
Bibit-bibit durian di kotak A tumbuh lebih baik daripada tiga kotak lain. Kuambil botol kaca yang tertanam di sudut kotak. Di bagian sisinya tertera nama larutan kimia. Aku mengambil buku catatan kecil dari saku jas, menuliskan perkembangannya. Sampai saat ini belum ada percobaan yang benar-benar berhasil. Ketika musim kemarau tiba, tanah yang sebelumnya diberi mineral dan berhasil bertahan sampai datangnya musim penghujan, perlahan kehilangan semua mineral itu―bahkan saat sudah diberikan setiap hari.
Entah mengapa, aku merasa bahwa hanya di pucuk-pucuk gunung saja yang tanahnya mampu mempertahankan kesuburan. Mungkin karena kekeringan itu melanda dataran rendah terlebih dahulu. Seperti surga dan neraka. Oleh karenanya ahli-ahli terkemuka sampai membuat awan buatan untuk melindungi manusia dari panas berlebih. Namun, tidak pernah berhasil mengembalikan kesuburan tanah.
Pemimpin kami adalah salah satu dari ilmuwan itu. Menurutku, dia seperti cenayang sebab dia telah membangun fasilitas penelitian ini lebih dari tiga puluh tahun lalu. Dia menguji coba tanah tidak subur, seperti grumusol dan latosol. Pernah dia berhasil mengembangkan serum tanah sehingga dua jenis elemen bumi itu bisa menghidupi sebuah pohon. Namun, ketika perubahan iklim drastis akhirnya tiba, serum tanah miliknya gagal. Kupikir, sepintar apapun manusia takkan bisa menandingi rancangan Tuhan.
Meski begitu, aku takkan berhenti mendoakan keberhasilan penelitian ini. Mungkin Tuhan sedang memberikan pelajaran bagi manusia untuk mencintai bumi tempatnya tinggal.
“Suara apa itu?” Alisku berkerut mendengar bunyi samar di kejauhan. Aku berdiri menuju dinding plastik, mendaratkan dagu ke sela capitan telunjuk dan ibu jari. Saking tidak percayanya aku sampai menarik rambutku ke belakang dan menempelkan telinga ke plastik. Itu benar-benar alarm tanda bahaya dari menara luar.
Aku mondar-mandir di dalam greenhouse, bingung di mana kuletakkan walkie-talkie. Belum selesai kepanikanku, kudengar suara letusan tidak jauh dari posisiku sekarang. Suara itu membuatku berhenti mencari alat komunikasi, ganti mencari asalnya. Menerjang angin malam yang menggigit kulit, kuberlari hingga sampai di ladang beri. Aku menengok ke sana ke mari, lalu ada gemerisik di semak-semak.
“Siapa itu?” teriakku.
“To-tolong…”
Rintihan seorang wanita bercampur gemerisik daun-daun yang saling bersentuhan. Kulihat, dengan bantuan senter yang masih melekat di bahu, sebuah tangan melambai berlumur darah. Hatiku mencelos, segera mencari tahu pemilik tangan itu.
“Bu Gemintang!” Satu-satunya dokter kami mengalami musibah. Darah mengucur dari perutnya. Cukup banyak.
Bu Gemintang menarik lenganku begitu aku bersimpuh di sisinya. “Ada orang asing! Laki-laki itu… menembakku.”
“Gawat! Apa dia masih di sini?” Aku setengah berbisik.
“Dia lari… ke hutan. Laki-laki pendek… yang hanya membawa sebuah pistol.”
Kalimat yang patah-patah membuatku segera bertindak. Aku berpindah ke belakang tubuh Bu Gemintang yang hampir jatuh. Aku menopangnya, mencoba mengangkat tubuhnya agar sejajar denganku, tetapi aku tidak berdaya. Bu Gemintang juga tidak menunjukkan usaha untuk bangkit, membuatku semakin khawatir. Alhasil, aku mengaitkan jemariku ke lipatan ketiaknya, lalu menarik tubuh yang mulai bergerak minim.
“Bu Gemintang, tetap membuka mata ya.”
Meninggalkan ladang beri dengan susah-payah, aku mulai berteriak-teriak memanggil bantuan. Langit yang sudah gelap dan pencahayaan yang temaram, mengundang pedih mataku. Dalam ketidakberdayaan, aku mulai memanggil Tuhan supaya Dia berkenan menolongku. Tubuhku yang tak memiliki banyak otot akhirnya menyerah. Aku limbung, jatuh dengan tubuh Bu Gemintang menindih sebagian tubuhku.
Kusedot seluruh udara di sekitar hidungku sebelum mengecek keadaan Bu Gemintang. Dia terlihat kesusahan bernapas, tetapi masih dapat memanggilku dengan lirih. Aku tetap memintanya untuk tetap sadar. Sehabis itu, kusalurkan tenaga yang tersisa menuju tenggorokan untuk berteriak sekencang-kencangnya. Hening masih menyahut. Aku pun kembali menyeret Bu Gemintang untuk beberapa langkah lagi.
Lalu, kudengar bunyi lembut dari mesin kendaraan. Itu Solari!
“Siapapun di sana segeralah ke mari! Tolong aku!”
Dua lampu sorot muncul dari antara rimbunan semak beri. Kendaraan canggih itu mendekat, menunjukkan dua orang yang membuat tenggorokanku akhirnya plong. Argo dan Binar menanyaiku ini dan itu.
“Simpan pertanyaan kalian! Kita harus cepat membawa Bu Gemintang ke ruang medis.”
Argo membantuku mengangkat tubuh Bu Gemintang ke kursi penumpang. Sabuk pengaman dipasang lebih tinggi dari luka di perutnya. Bu Gemintang tampak ingin memegang sabuk itu, tetapi tangannya jatuh seketika.
“Aku perlu satu orang duduk di sini dan memegangi Dokter.” Argo menunjuk pada sela di antara kursi penumpang dan pengemudi. Dia bertukar pandang dengan kami. “Kak Mega, kamu saja ya.”
“Kamu bercanda ‘kan, Go? Masak kamu mau meninggalkanku sendiri. Bagaimana kalau mereka menyergapku?” Binar protes.
Aku tersentak dengan pernyataannya. Jadi, lebih dari satu orang.
“Tidak ada waktu berdebat denganmu, Bin.” Argo melompat ke kursi pengemudi. “Sudah kubilang aku tidak menyukaimu. Kalau aku datang bersamamu dan Fajar melihatnya, persahabatan kami bisa hancur. Ayo, Kak Mega, buruan!”
“Itu cuma alasan ‘kan.”
Aku sempat ragu, tetapi melihat wajah Bu Gemintang yang tampak pucat meski disinari lampu senter warna kuning, aku segera menyelipkan diri di sela yang sempit itu.
“Lagipula, kamu takkan muat di sini.” Argo menegaskan sembari memacu Solari.
Kulihat ekspresi Binar marah bercampur tangis. Aku ingin menyuruhnya berlari, tetapi urung sebab khawatir menambah buruknya suasana hati Binar. Melewati apotek hidup dan beberapa lahan kosong, kami tiba di gedung utama. Argo lebih dahulu turun dan berteriak-teriak meminta bantuan, sementara aku menggoyang lembut tangan Bu Gemintang sebab matanya tertutup. Aku sangat ketakutan melihat orang tak sadarkan diri, apalagi dalam keadaan berlumur darah seperti ini. Pikiranku mengulang kembali berita kematian Ranu. Aku menggelengkan kepala keras-keras.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Pak Guntur tergopoh-gopoh dengan beberapa orang mengekorinya.
“Aku mendengar suara letusan, Pak. Begitu kudekati, Bu Gemintang hampir-hampir tak bisa berjalan sambil memegangi perutnya. Katanya ada laki-laki yang menembaknya.”
“I bet that’s Rawi.” Kak Angkasa menyahut dengan ekspresi jijik melekat di wajahnya.
Pak Guntur menghardik, menyuruh Kak Angkasa membopong Bu Gemintang. Dengan gerundelan, dia menggendong Bu Gemintang dalam dekapan lengannya. Pak Guntur menyuruh Kak Angkasa bergegas, lalu mengalihkan pandang ke Keanu.
“Ke, panggilkan Candra. Terakhir kulihat dia mengurung diri di kantornya.”
Keanu berlari ke koridor ke dua di lobi, sementara kami menyusuri koridor pertama yang dekat dengan jajaran jendela. Pada pintu pertama itulah letak ruang medis. Kudengar ada rintihan meluncur dari bibir Bu Gemintang. Syukur kepada Tuhan, dia masih sadar!
Pak Guntur masuk menemani Bu Gemintang bersama Kak Angkasa dan Pak Samudra. Aku, Argo, dan Fajar menunggu di luar. Aku berdiri di posisi yang bisa menjangkau koridor ke dua dengan penglihatan.
“Go, katanya kamu pergi dengan Binar. Mana dia sekarang?” Fajar memberi Argo tatapan menyelidik. Argo tidak menjawab.
Aku pun membalasnya, “kami meninggalkannya di dekat ladang beri.”
Mata Fajar langsung memerah. Dia menyalak pada kami, khususnya Argo, lalu pergi untuk menjemput Binar. Sehabis itu Keanu dan Candra muncul dengan tergesa. Candra langsung masuk, menggantikan Pak Guntur yang kemudian mendekatiku.
“Gemintang itu dokter kita satu-satunya. Laki-laki mana yang melumpuhkan seorang dokter kalau dia tidak mengetahui seluk-beluk kelompok kecil ini?”
“Aku yakin dia bukan anggota kita. Bu Gemintang melihat laki-laki itu. Seorang yang pendek dan hanya membawa sebuah pistol.”
“Itu mematahkan dugaan bahwa pelakunya Rawi. Apa menurut kalian orang itu juga yang membunuh Ranu?”
Sunyi sejenak. Kemudian, Keanu menyampaikan pendapat. “Itu tidak mungkin. Posisi pisau di leher Kak Ranu itu menjurus ke bawah, dan ada kelebihan pegangan pisau yang masuk. Jadi, orangnya pasti tinggi.”
Pak Guntur mengelus-elus dagunya, seperti terhanyut dalam sebuah kerangka pikir. Di saat bersamaan sesuatu menghantam diriku. Bukankah dari dalam gedung utama atau dari pos pembuatan bahan kimia tidak terdengar bunyi alarm?
“Apakah alarmnya sudah dimatikan? Tapi kenapa tidak ada yang berhamburan mencari tahu yang terjadi?”
“Kami pikir ada kesalahan teknis. Embun yang mematikan alarm dari posnya Keanu, lalu turun menuju posnya sendiri. Soalnya saat dia datang mengecek ke sana senja tadi, tidak ditemukan penerobosan.” Pak Guntur kini mengurut dahinya. “Ini membingungkan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”
Aku juga ikut berpikir. Menanyakan pada diriku sendiri apabila ada skema besar yang didalangi seseorang dari fasilitas ini. Argo tiba-tiba terkesiap, menahan jeritan keluar dari tenggorokannya.
“Kata Bapak, Kak Embun sedang pergi ke posnya saat ini?” Pak Guntur memberi Argo anggukan. “Jalan kaki atau naik Solari?”
“Naik Solari.”
“Ini gawat darurat! Aku harus menolongnya. Tadi saat aku dan Binar berkeliling, ada sekelompok orang bersenjata tertangkap kamera pengawas yang berada lima ratus meter dari menara luar. Kalau orang-orang ini tahu seluk-beluk fasilitas ini, maka besar kemungkinan mereka berniat menguasai menara itu.”
Aku membuka mulut, bingung hendak berkata apa. Otakku bekerja lebih cepat. Dari berita kematian Kak Ranu melompat ke peristiwa penembakan Bu Gemintang, berakhir pada imajinasi terbaringnya tubuh Embun tanpa nyawa. Aku ingin membantu Argo, tetapi dia sudah menghilang, menyisakan kepanikan di atmosfer ruangan.
“Di mana yang lain? Kita harus mengumpulkan mereka semua,” saranku. Pak Guntur melirik pada jam tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments