LOG 4 - SENJA

Ratusan ayam berteriak-teriak saat aku menerobos rumah mereka. Ada yang terbang, saling menabrak, dan juga terinjak oleh kakiku. Jujur, aku paling tidak tega jika hewan peliharaanku terluka sampai-sampai aku rela menjadi vegetarian. Yang lain heran saat melihat perkembangan tubuhku yang menggembung. Entahlah, semenjak di panti asuhan aku memang suka makan. Jadi, ketika aku memutuskan tidak makan daging, aku mencari alternatif dengan makan-makanan instan dan banyak kalori. Makanya, aku sangat senang ketika Ranu merumuskan ide membuat kue tart raksasa.

Di sisi lain, Mas Angkasa, ahli diet kami, selalu menasehatiku panjang lebar agar aku memangkas gaya hidup yang tidak sehat. Aku sering mengacuhkannya karena makanan enak adalah hal yang membuatku tetap waras di tempat terpencil ini.

Aku masuk ke dalam posku. Sebuah bangunan seukuran rumah tipe 21 di mana tidak ada sekat di dalamnya yang memisahkan peralatan membuat pupuk, meja kerja, dan penyimpanan bahan kimia. Aku suka mengatur tata letaknya dengan banyak ruang kosong. Satu, karena melarnya tubuhku. Dua, karena aku punya semacam fobia berada di tempat yang sempit. Di sini aku juga mempunyai kulkas dan microwave, memudahkanku untuk mengisi perut tanpa harus berjalan ke gedung utama.

Aku mengambil mie yang sudah dikeringkan dari laci, juga bumbu serta bahan tambahan untuk dicampurkan dalam mie. Aku mencampurkan semuanya ke dalam wadah dan memasukkannya ke dalam microwave. Menunggu masak, aku ambruk di atas kursi kerjaku, menopang dahi dengan sebelah tangan. Baru kusadari air mataku masih menetes. Aku pun mengusirnya dari wajahku.

“Mas Angkasa pasti pelakunya!” Aku berseru sambil menggebrak meja, menopang kembali dahi yang terasa berat.

Bunyi microwave menguatkanku untuk mengangkat tubuh, menjemput mie yang siap santap. Bau harum mie yang berkolaborasi dengan aroma sayur dan bumbu memikat hidungku. Aku menyesap aroma itu dalam-dalam. Seketika duniaku terasa seperti berpindah ke bukit yang dikelilingi pohon yang tak terlalu tinggi.

“Ironi sekali. Aku berada di gunung tapi membayangkan bukit.”

“Tidak ada yang salah dengan itu. Orang punya preferensi masing-masing.”

Aku menyambut orang yang baru tiba itu dengan pelukan. “Untungnya kamu yang datang, Mega.”

“Memangnya ada yang kamu hindari?”

“Siapa lagi kalau bukan Naura… dan Mas Angkasa.”

Aku mendorong kursi kerjaku dan menawarkannya pada Mega, sementara untukku kursi kayu yang terdampar di hadapan lemari penyimpanan bahan kimia. Mega memberiku senyum ketika kami duduk saling berhadapan.

“Aku tidak sengaja mencuri dengar, Kak. Perbincanganmu dengan Pak Guntur.”

“Oke. Bagaimana menurutmu? Kamu setuju bahwa Mas Angkasa pelakunya?”

Mega menggaruk belakang lehernya, mendaratkan tatapan matanya ke bawah. “Begini. Aku tahu ini berita yang mengejutkan. Aku bahkan sempat berpikiran macam-macam. Mungkinkah kejadian itu akan terulang lagi? Lalu, kudengar Kak Rawi menggagas pelakunya ada di antara kita. Aku berpikir kira-kira siapa? Dan kamu menduga kalau orang itu Kak Angkasa. Tapi bagaimana kalau semua prasangka kita salah?”

Aku menyeret wadah microwave. Panas menjalar menuju kulitku. Dengan garpu, kuaduk-aduk mie, menguarkan aroma yang semakin menendang lidah. Aku menawarkannya pada Mega. Dia membuka mulut, menerima suapan dariku. “Kamu punya pendapat lain?”

Mega membuka mulut, tetapi untuk mengeluarkan kepulan asap. Tangannya mengibas, mengiringi laju asap itu. Ketika asap menghilang, barulah dia berkata, “Aku ikut mengurusi jasad Kak Ranu. Kamu tahu soal pisau yang menancap di lehernya? Itu adalah pisau kemah. Sekarang bayangkan: dari sembilan belas orang, tujuh bekerja di laboratorium, tujuh di lapangan, tiga berkeliling, dan hanya satu yang jarang berada di area fasilitas ini. Itu Kak Ranu. Bagaimana jika pisau itu ternyata milik Kak Ranu sendiri?”

“Maksudmu, Ranu bunuh diri? Eh, tapi tunggu dulu. Kayaknya kamu ketinggalan satu orang lagi.” Aku dan Mega berhitung dengan jari, menjumlahkan apa yang disebutkan Mega tadi.

“Hah? Hanya delapan belas?”

“Oh iya!” Aku mengangguk-angguk. “Ditambah satu yang tidak pernah meninggalkan gedung perpustakaan.”

“Ah… orang itu.” Mega diam sejenak. Kumanfaatkan waktu menyumpalkan mie ke dalam mulut. “Apa menurutmu dia pelakunya?”

Seketika aku terbatu-batuk. Ada sebatang mie tersangkut di tenggorokan. Mega menepuk-nepuk punggungku, lalu beranjak pergi. Aku masih bertarung dengan mie itu, berusaha menelannya. Segelas air putih mendarat di depanku.

“Aku hanya bertanya, Kak. Kamu heboh sekali reaksinya. Tapi, tolong pikirkan teoriku tadi tentang pisau kemah.”

Aku selesai meneguk air. “Kamu lupa kalau pegangan pisaunya sengaja dibakar.”

Mega menangkupkan kedua tangannya. “Untuk masalah itu sedang aku pikirkan. Aku akan mendoakan supaya jawaban dari misteri ini segera ditemukan.”

“Oke. Terima kasih, ibu rohani kami.”

“Kamu juga harus berdoa, Kak. Dan sekiranya kamu sudah siap, kembalilah ke gedung utama. Kita akan memakamkan Kak Ranu hari ini.”

Mega pamit, melenggang di antara kerumunan ayam yang lepas dari rumahnya dengan menjinjitkan kaki. Aku ganti memandang isi wadah yang masih tiga perempat isinya, mengambil napas, lalu bangkit dan meninggalkannya. Kuikuti jejak Mega, kembali ke gedung utama.

Sesampainya di teras bangunan, mendadak suara hujan terdengar kencang. Aku menoleh, memandangi curahan air langit sambil menggesekkan alas kaki di atas keset. Aku terkejut karena keset ini sudah terlalu banyak menampung lumpur sampai jejak sepatuku masih bisa tertinggal di lantai. Kalau begini, bagaimana kami bisa menguburkan Ranu?

Pak Guntur masih tertambat di atas sofa begitu aku masuk. Ketambahan beberapa orang termasuk Mega, Naura, dan Mas Angkasa. Aku berderap bagai tentara maju perang menuju posisi Mas Angkasa berdiri. Dia sedang berbicara dengan Naura, menyerahkan formulir sambil menebarkan canda.

“Seratus persen kamu pelakunya, Mas.” Aku menengadahkan wajahku, tegap mengikat pandangannya.

“Glad to know people’ opinions about this matter. Aku seratus persen yakin dalangnya Rawi.”

“Kurang ajar ya kamu! Bangsat!”

Mas Angkasa menarik tubuhnya ke belakang. Rahangnya melorot. Dia menukar pandang dengan Naura yang tidak bereaksi apa-apa.

“Wah, Senja sudah merekah, Kawan!”

“Tak usah banyak bicara. Aku dan Mas Guntur akan menyeretmu ke liang lahat hidup-hidup begitu kamu terbukti mencelakai Ranu.”

“Tahan omonganmu, Senja! Kamu pikir Rawi benar? Kamu diperdaya olehnya, dan juga kalian semua yang memihaknya. Memang kalian tidak melihat watak dan perangai Rawi bagaimana? Dari dulu anak itu seperti menyembunyikan maksud di balik cambang dan kumisnya yang lebat. Sudah seperti ******* tahu! Bisa jadi, dia memperalat kembarannya sendiri demi mengungkap keberadaan kita kepada orang-orang yang butuh kekuasaan. Ranu itu senjata makan tuannya Rawi.”

Tanganku mendadak panas. Aku kalap sampai tiada sadar bahwa baru saja aku menampar Mas Angkasa. Aku menorehkan bab baru dalam sejarah kehidupan kami. Namun, aku bangga. Bahkan ingin diingat bahwa hari ini, Senja menampar Angkasa. Bukankah indah kelihatannya?

Mas Angkasa mengepalkan tangannya, berderap maju ke arahku yang tidak kalah menegakkan punggung. Hampir terjadi baku hantam, Mas Guntur mengaum layaknya singa sedang menunjukkan dominasi. Kami disihir, membeku di posisi masing-masing.

“Berapa kali lagi kukatakan, jangan ada debat! Demi apapun juga, kita sedang berduka. Hormati Ranu! Memangnya dia mau menyaksikan kalian malah mementingkan ego masing-masing dan tidak mengurusi jasadnya?”

Mas Angkasa tergelak. “Sudah diurusi Bu Dokter kali.”

“Senja, ayo ikut Mas.”

Mas Guntur menarikku, menjauhi laki-laki bertampang sok manis ini. Aku didudukkan ke atas sofa, lalu diberi formulir yang ternyata adalah milikku. Kulihat di sudut bawah, di area yang kosong, ada bekas tipex yang mengikuti bentuk huruf. “Angkasa bangsat” masih tertera jelas meski dalam wujud yang berbeda. Aku tertawa lepas.

“Dasar orang gila!” Kudengar Mas Angkasa masih dilingkupi amarah. Itu semakin membuatku terbahak.

“Rawi, kamu sudah datang.” Mas Guntur tiba-tiba bangkit berdiri, menyambut Rawi yang baru saja memasuki aula bersama Hawa.

“Rawi?” Aku ikut berdiri. Hatiku langsung teriris saat melihat kembaran Ranu. Jika aku saja merasa ada yang dicabut dariku, Rawi pasti lebih dari itu.

“Aku mau melihat Ranu dulu.” Rawi tidak melabuhkan matanya padaku barang sejenak. Dia berlalu melewatiku, melewati pula Mas Angkasa yang memaki tanpa suara di belakangnya, lalu lenyap di bibir koridor.

Aku mendekati Hawa, mendekap jemarinya dalam tanganku. “Terima kasih ya, Hawa, sudah berhasil membujuk Rawi. Tadinya aku takut kalau Rawi memungkiri ini dan tidak mau melihat Ranu untuk terakhir kalinya.”

“Aku tidak membujuk kok. Kak Rawi sendiri yang berniatan melihat Kak Ranu. Kami hanya berpapasan di garasi.” Hawa melongokkan kepala, melihat sesuatu di balik tubuhku. “Oh ya, Kak Angkasa. Saya mau melapor kalau Solari 3 mengalami sedikit kerusakan.”

“Itu masalah gampang, Wa. Ngomong-ngomong kamu sudah tentukan mau memihak siapa? Kusarankan untuk berdiri di belakangku karena teoriku seratus persen benar.”

Aku buru-buru menyanggah. “Dukung aku, Wa. Mas Angkasa iri pada Ranu, jadi dia menyingkirkannya. Percaya deh.”

Hawa bereaksi malu-malu. “Sa-saya me-memihak Kak Angkasa.”

Rahangku jatuh. Telingaku terbakar karena penuturan Hawa. Mas Angkasa langsung mendekat dan memeluk Hawa. Mataku sampai ingin keluar dari rongganya gara-gara menyaksikan pertunjukan di hadapanku.

“Bagus, bagus. So you know why, right? Tahu ‘kan sebabnya?”

Hawa menggaruk kepalanya melebihi kecepatan siput. “Em, itu… saya tadinya mau menyelesaikan sesuatu di pos. Kemudian, saya menemukan Kak Rawi sedang membuka perban di perutnya. Diam-diam saya amati. Itu adalah luka tusukan yang masih baru. Ketika saya ketahuan olehnya, dan saya tanya dari mana dia mendapatkan luka itu, Kak Rawi mengalihkan topik pembicaraan. Saya rasa telah terjadi pertikaian di antara mereka.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!