LOG 9 - CANDRA

Sumpah, pikiranku berkabut sejak aku menemukan tubuh Kak Ranu yang membeku bersimbah darah. Sampai detik ini pun rekaman itu masih membekas. Aku berjalan dari arah barat daya, dari hutan sehabis mencari jamur liar, lalu masuk ke area beri. Tujuanku mencari bluberi untuk diekstrak dan dijadikan ramuan suplemen mata. Letaknya di paling timur. Tapi saat memasuki area itu, aku mencium bau yang tidak sedap.

Ada amis bercampur sekelebat busuk. Aku memajukan hidung, mengendus sedikit-sedikit. Kemudian, kutemukan warna tanah yang tidak biasa. Lebih gelap dari area di sekitarnya. Kujumput seujung jari, mengusapnya. Teksturnya seperti tanah kebanyakan dan kering sebab hujan tak sampai seharian penuh di hari sebelumnya.

Kudekatkan sejumput tanah itu ke bawah lubang hidung, mencium aroma yang berbeda. Biasanya tanah di pegunungan berbau lembap. Aromanya membuai bagaikan petrikor. Yang ada di ujung jariku ini seperti terkena besi. Ada bau logam dan sedikit amis.

Aku menggesekkan kedua jari untuk menyingkirkan tanah itu. Hidungku masih disesaki ketidaknyamanan. Ada sesuatu yang lebih berbau lagi di area depan. Ketika sampai di semak beri, kulihat ada jari tangan manusia di celah dedaunan. Kulitnya pucat membiru seakan didekap kedinginan berlebih.

Mulai kurasakan denyut jantung tak biasa, seakan ingin maju tapi kaki berharap mundur. Aku berderap di tempat cukup lama. Disergap desir-desir darah yang membuat sekujur tubuhku merinding. Akhirnya kuberanikan diri mendekati jari itu. Bisa saja itu tipuan, hasil kerja mereka yang kurang kerjaan.

Namun, aku berhasil dibuatnya lemas seketika. Aku ambruk dan telungkup di sisi tubuh yang berlumur warna merah, hanya disekat dedaunan rasberi. Aku membuang mukaku ke arah berlawanan. Napasku tersengal-sengal. Sekuat diri kukumpulkan tenaga pada kedua kakiku. Aku bangkit dengan bergetar hebat. Ketika hampir separuh kuberdiri tegak, aku langsung lari terbirit-birit. Mencari wajah siapa saja untuk meneriakkan pada mereka bahwa Kak Ranu telah tiada.

Selanjutnya, orang itu, Fajar, ikut lari kesetanan menuju gedung utama. Aku lumpuh di tempat, dayaku habis diserap pemandangan itu. Beberapa saat kemudian, Fajar tiba bersama Dokter Gemintang dan segenap pekerja laboratorium. Aku sudah mengatakan pada mereka bahwa jasad Kak Ranu ada di antara semak beri. Namun, aku tetap saja dipapah untuk memandu mereka.

Itu kali pertamaku melihat jasad orang yang sudah tak bernyawa. Aku semakin terkejut saat kembaran Kak Ranu seakan menuduhku yang bukan-bukan. Aku tahu aku seorang paramedis, tapi pelatihanku tidak sampai meneliti jasad manusia. Atau mungkin, petugas di panti asuhan terburu-buru mentransferku ke mari?

Ponselku bergetar. Aku melonjak dari kursi seperti seorang pengecut. Aku meraih gawai itu dengan dada berdebar. Nama Dokter Gemintang tertera.

“Ibu membutuhkan saya?”

Suara di ujung telepon tidak jernih. Ada bunyi latar. Suara ini selalu ada di setiap panggilan. Mungkin pengaruh sinyal. “Aku mau menyampaikan pesan penting, dan aku mau kamu menyampaikannya pada yang lain.”

Vokal Dokter Gemintang bergetar. Aku menyanggupi permintaannya.

“Rawi harus dimutasi. Keberadaannya di sini mengganggu stabilitas dan membuat kita semua saling menyalahkan. Aku mendapat kabar dari pemimpin kita, beliau sedang mempersiapkan berkas−entah apa itu. Yang jelas beliau meminta kita semua, khususnya Rawi, untuk bersiap.”

“Bu, apa Anda menuliskan semuanya secara gamblang di log, termasuk penuturan Kak Angkasa, Hawa, dan yang lain, yang menjerumuskan Kak Rawi? Menurutku, itu tindakan yang salah, Bu.”

Suara latar berlangsung selama lima detik, lalu suara Dokter Gemintang yang terdengar lebih berat membalas, “menurutmu, yang lain tidak menuliskan sesuai isi pikiran mereka, terutama Angkasa?”

Aku hening, memilih mendengarkan suara latar karena Dokter Gemintang ikut diam. Aku bertanya dalam hati di manakah dia berada saat ini. Mengapa susah payah menelepon jika ada di dalam gedung utama? Lalu, lamat-lamat kudengar suara pintu dibuka dan ditutup, diikuti derap langkah kaki.

“Oh, tunggu sebentar, Candra. Tolong, jangan tutup teleponnya!”

“Tung−Ibu sebenarnya ada di mana sekarang?” Hening menjawab. “Halo?”

Dokter Gemintang cepat sekali menggantungkanku begini. Aku meletakkan ponselku ke atas meja, menunggu suaranya lagi dari kejauhan. Aku bukan tipe orang yang suka berkeliaran di dekat gawai. Menurutku, itu mengganggu kesehatan tubuh. Namun, suara percakapan lamat-lamat menarik keingintahuanku.

Ya, suara di ujung telepon adalah Dokter Gemintang beserta seorang laki-laki. Aku mendadak merinding. Apakah orang yang tadi disebutkannya sebenarnya sudah tiba di sini?

Kali ini aku menempelkan ponsel selengket mungkin ke telinga, melebihi batas yang selama ini kutetapkan. Aku ingin menangkap kata-kata mereka. Kepalaku sampai meringkuk, lebih rendah dari ketinggian leher. Ucapan mereka tidak jelas, tetapi sempat kudengar nama Kak Rawi disebut.

Tiba-tiba pintu ruanganku dibuka. Aku melonjak, spontan memutus sambungan telepon. Aku mendesah, kesal dengan refleksku sendiri. Orang yang membuka pintu membuatku mendesah lagi.

“Apa yang kamu lakukan, Can? Seperti melihat setan saja.”

“Ya… begitulah.” Aku berbisik sepelan mungkin sambil mengarahkan muka ke lantai.

Orang itu langsung mengambil kursi di hadapanku, memutarnya, dan menyandarkan punggung kursi pada meja. Dia lantas duduk dan mengajak mataku berkencan. Apakah mungkin karena cambang, jenggot dan kumisnya dicukur sehingga tatapannya kini tidak lagi setajam kemarin?

“Ada perlu apa, Kak? Oh, jangan dijawab dulu, biar aku meluruskan sesuatu. Aku bukan pelakunya, Kak.”

“Apa yang membuatmu berpikir aku menuduhmu?”

“Karena tiap kali kita berpapasan, kamu selalu memberiku tatapan menyelidik.”

“Oke, biar kuluruskan sesuatu juga. Kita belum ada waktu berbicara berdua. Tiap aku melihatmu, aku mengirim kode agar kita bertukar isi pikiran empat mata saja. Tapi kamu selalu menghindari tatapanku, dan sekarang kamu tidak punya alasan lagi ‘kan. Sekarang waktu yang sangat baik untuk menceritakan padaku apa yang kamu temukan pagi hari itu.”

Aku hendak bicara, tetapi yang keluar malah *******. Alhasil, aku mengetukkan jemariku ke atas meja demi mengusir aura yang tiba-tiba kelam.

“Aku tidak punya maksud menakutimu dengan wajahku ini, Can. Aku tahu efeknya buruk untukmu. Tapi kulakukan ini, supaya siapa pun pelakunya merasa tidak nyaman. Maksudku, aku tahu kamu bukan pelakunya. Seorang yang menjaga baik kualitas hidup kami mana mungkin menodai tangannya dengan darah orang yang dijaganya. Ya ‘kan?”

Mataku bertemu pandang dengan Kak Rawi. Entah mengapa, meskipun dia menenangkanku bahwa aku dibebaskannya dari tuduhan, aku menemukan tipuan di balik matanya. Jelas sekali dia berusaha memancing reaksiku. Kalau memang Kak Rawi tidak menuduhku, dia akan memaksa mengobrol denganku dengan cambang dan kumis masih melekat di wajahnya.

“Sebenarnya, Kak, aku sedang menelepon Bu Gem saat kamu masuk tadi. Kudengar pemimpin kita sudah tahu masalah yang terjadi.” Aku hening sejenak, memastikan reaksi Kak Rawi. Entahlah, aku merasa harus mengamankan diri meski aku tidak bersalah. “Pemimpin kita bilang kamu harus dimutasi. Aku diminta menyampaikannya pada yang lain, tapi mumpung kita bicara berdua, dan kurasa lebih baik untuk dilakukan, maka kusampaikan lebih dulu padamu.”

“Maksudmu, pemimpin kita yang tidak pernah diketahui rupa dan suaranya?”

Aku tercekat.

“Ya, dia. Orang yang kini membuatku menyesal telah datang ke mari. Segenap janjinya yang mulia untuk membantu umat manusia mengembalikan kondisi bumi, yang katanya takkan memakan waktu lama, mana buktinya? Sampai detik ini pun dia masih merekrut orang baru. Entah siapa lagi yang dimasukkan ke mari dan kapan? Bahkan Pak Tua Jagat sampai berumur lebih dari enam puluh tahun.”

“Kalau Pak Jagat berusia segitu, mungkinkah pemimpin kita sekitar delapan puluh tahun? Kalau dikira-kira Pak Jagat masuk ke sini usia dua puluh tahun, artinya penelitian ini telah berlangsung selama hampir setengah abad.”

“Kamu mau melucu sekarang?”

Raut muka Kak Rawi yang serius menciutkan semangatku yang sesaat. “Aku cuma menjawab pertanyaanmu.”

“Jawablah pertanyaan yang lebih penting. Aku mau tahu situasi pagi itu saat kamu menemukan tubuh Ranu. Di manakah barang-barangnya?”

Kepalaku semakin menunduk, menopang beban pikiran yang harus direka ulang. Aku pun tidak sampai berpikir mencari barang bawaan Kak Ranu. Yang kutahu, ada tanah berwarna lebih gelap, tubuh yang disemayamkan di antara semak rasberi, dan pisau yang masih menancap di lehernya.

“Akan lebih mudah menjawab pertanyaanku, Candra.”

Aku dan Kak Rawi menoleh pada sumber suara yang muncul bersamaan dengan terbukanya pintu. Sosok tegap dan atletis menyusup di antara ruang obrolan kami. Dia memulai dengan senyum yang lebih seperti rayuan kemenangan dan menghilangkan bagian basa-basi.

“Aku mencuri dengar kalau Rawi akan dimutasi. Pertanyaanku ke mana? Soalnya dari buku manual yang kubaca dulu, sekali kita terlibat dalam penelitian ini, takkan ada jalan kembali ke masyarakat di luar sana. Jadi, ke mana Rawi harus pergi?”

“I-itu aku juga tidak tahu. Bu Gem belum sempat membicarakannya lebih lanjut padaku.”

“Ah, jadi informasinya dari sana. Tapi wajar kalau akhirnya Rawi diusir dari sini, karena dia telah memanipulasi kita semua selama ini. Pertama, dia sengaja mematikan sensor gerak dan sistem pertahanan kita sehingga musuh bisa masuk. Kedua, dia berbohong soal kecelakaannya karena setelah kuteliti, Solari 2 tidak bermasalah. Ya ‘kan, Rawi?”

Bola mata Kak Rawi bergerak ke kanan dan ke kiri. Dia bangkit, meninggalkan kami berdua tanpa sepatah kata. Aku bisa melihat sekilas dari sudut matanya bahwa dia sebenarnya tertekan dengan keadaan ini. Aku mengembuskan napas, mendadak merasa bersalah atas sikapku tadi. Bagaimanapun, dia hanyalah seorang kakak yang ingin memberikan keadilan bagi adik kembarnya.

Kak Angkasa menepuk bahuku. “Tenanglah. Biar aku yang menyampaikan pesan itu ke yang lain.”

Begitu Kak Angkasa keluar, ponselku bergetar. Dokter Gemintang akhirnya menjelaskan bahwa Kak Rawi akan dipindahkan malam nanti. Destinasinya membuatku kehilangan kata-kata.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!