Benarkah yang dilihat mataku ini? Perawakan orang itu mirip siluet yang kulihat tiga hari lalu. Tubuh tak semampai, kepala yang bundar. Orang yang kukira Pak Jagat. Tidak! Setelah melihatnya begini, aku jadi yakin bahwa dialah yang kulihat.
Bukankah itu berarti aku melihat pembunuh Ranu?
Itu juga berarti aku telah membiarkan seorang pembunuh lolos, serta membiarkan rekanku meregang nyawa. Kepalaku mendadak jadi terasa berat.
“Kenapa memegangi kepala sampai segitunya, Kak Pelangi?”
Aku tersentak. Hawa sedang memberiku tatapan penuh tanya. Entah mengapa, lidahku kelu sampai merangkai kata pun rasanya susah. Perasaan apakah ini?
“Kakak takut melihat darah ya? Pusing? Aku ambilkan obat ya.”
“Eh, tu−tunggu, Wa! Aku… aku tidak apa-apa kok. Cu−cuma peristiwa ini… terjadi bertubi-tubi. Ya, karena itu a−aku jadi syok.”
Apakah itu yang kurasakan? Sepertinya bukan, tetapi Hawa menerima saja omonganku. Saat ini, orang asing itu dibawa ke rubanah. Aku melihat sekeliling. Orang-orang sibuk mengobrol, sesekali memandangiku seolah aku berbuat salah.
Hatiku membeku melihat sorot-sorot mata mereka. Benarkah ini salahku? Seandainya aku menelusuri lebih jauh sosok yang kulihat, apakah Mas Ranu masih hidup detik ini?
“Lang? Pelangi?”
Aku kembali ke kesadaran, mendapati Pak Samudra mengguncang tubuhku.
“Kalau kamu sakit, duduk saja. Kita sudah kewalahan dengan keadaan Gemintang, perginya Embun ke mulut serigala, dan kedatangan orang asing itu. Bukan apa-apa, tapi takutnya tidak ada yang mengawasimu. Lagipula kita tidak tahu ada berapa banyak yang menyusup ke mari.”
“Maafkan aku, Pak. Aku akan−” Perhatianku teralihkan pada turunnya Pak Bara dari lantai dua dengan membawa makanan dan minuman di tangannya. Dia langsung turun menuju rubanah. “Lho, kenapa Pak Bara bawa-bawa makanan segala ya?”
“Jangan-jangan mau kasih hati sama orang itu lagi.” Pak Samudra bergegas menjulurkan kaki panjangnya.
Aku buru-buru menghadang. “Eh, Pak, biar aku saja. Sebagai yang paling tua, silakan Bapak awasi kondisi di sini.”
“Eh, bawa-bawa umur kamu.”
“Jangan marah, Pak! Peace.” Kuangkat jari tengah dan telunjuk ke depan wajah. Meski senyumku merekah, tetapi hatiku tak karuan. Benar-benar seakan telah berbuat dosa aku ini.
Menuruni tangga menuju rubanah, cahaya lampu mulai temaram. Di bawah sini, hanya ada dua ruangan yang dibuat: ruang ketel dan ruang arsip. Jarak kedua ruang sangat jauh sebab ruang ketel itu menimbulkan hawa yang sangat panas.
“Aduh, kenapa dibawa ke sini?” protesku, sembari terbatuk saking pengapnya ruangan.
“Perempuan tidak boleh turun ke mari.”
“Aku tadinya mengejar Pak Bara. Kenapa beliau bawa-bawa makanan ke rubanah?”
“Sudahlah, Lang. Kamu kembali saja. Ini urusan laki-laki.”
Aku mengerucutkan bibir pada penolakan Pak Guntur. Kusempatkan diri melirik pada orang asing yang tengah diikat ke sebuah pipa. Seketika sebuah ingatan menerjang otakku. Wajah itu, aku pernah melihatnya di antara batang pohon. Melesat cepat hingga kukira adalah hantu gunung.
Punggungku menjadi dingin. Panas yang menggigit kalah oleh ketakutanku. Semua ini salahku. Aku telah membiarkan orang asing masuk tanpa memberitahu yang lain. Akibatnya nyawa Mas Ranu terenggut. Karena itu juga Bu Gemintang jadi terluka.
“Lang, kamu ini kenapa? Belum makan? Makanya naik, lalu makan sana.”
Biasanya aku selalu melawan kata-kata Pak Guntur, tetapi kali ini aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak pandai menyembunyikan kebohongan dan tak ingin jika akhirnya mereka mengacungkan telunjuk padaku, lalu mengusirku dari fasilitas penelitian ini.
Aku mendaki tangga dengan badan condong ke depan. Seakan membawa beban yang begitu banyak. Kemunculanku disambut Pak Samudra, yang langsung menyuguhkan kursi untuk kududuki. Tampaknya itu mengundang perhatian beberapa orang. Mereka mengerubungiku bagai lalat.
“Lho, kok makin pucat saja kamu ini?”
Aku tahu itu suara Pak Samudra. Hanya saja perkataannya semakin memberatkan kepalaku. Aku merunduk. Kepala hampir menempel dada.
“Ah, ini pasti derita wanita tiap bulan, Pak,” sahut Mas Angkasa.
“Eh, eh, eh, jangan pingsan ya, Pelangi.”
“Saya ambilkan obat penghilang nyeri saja ya, Pak.”
Kuintip lewat celah kaki para lelaki ini, tubuh Hawa yang berlari kecil menuju lorong ruang medis. Saat ini, aku menerima perhatian yang begitu banyak. Hal yang sepertinya tidak pantas kudapatkan.
“Pak Samudra, tolong cegah Hawa ya. Saya cuma perlu berbaring di kasur. Mas, antarkan aku ya,” pintaku yang langsung dituruti keduanya.
Tanpa basa-basi, Mas Angkasa langsung menggendongku. Aku terkejut barang sejenak, sedikit malu pada beberapa wanita yang menunggu di sofa depan ruang medis. Aku meronta, menolak perlakuan ini. Namun, secepat kilat Mas Angkasa membetulkan gendongannya.
“Jangan tersipu ya,” bisik lelaki bertubuh bugar ini.
Sesampainya di bangsal tidur, dia menurunkanku. Menekankan sekali lagi agar aku tidak terpesona padanya. Aku menggerutu dalam hati sebab Mas Angkasa tidak punya daya tarik yang memuaskan geloraku. Lagipula, cinta itu dilarang di fasilitas penelitian ini.
“Oke, kamu tidur saja like a princess. Biar kita-kita yang mengurusi masalah ini.”
Aku yang tengah membuka pintu, merasa seperti disambar petir mendengar ocehannya. “Pikirmu aku mementingkan diri sendiri?”
“Kelihatan jelas sekali kok. Seorang Pelangi, meski sedang haid pun rela lembur sampai tengah malam mengurusi layar komputernya. Sekarang, karena masalah ini, kamu mundur perlahan. Trauma? Semua orang begitu kali.”
“Enak saja kalau bicara. Aku itu tiba-tiba syok karena aku seperti pernah melihat pria pendek itu.”
Oh, siapa gerangan yang mencuri kendali atas lidahku? Mata Mas Angkasa langsung berapi-api karena tuturku. Dia pasti berpikir bahwa aku punya hubungan dengan si pria pendek itu. Secara, selama ini hanya itu yang ada dalam pikirannya.
“Jadi kamu? Tidak kusangka dalangnya seorang perempuan yang tidak banyak bicara. Lidahmu jadi kaku karena menyimpan banyak kebohongan ya?”
“Siapa bilang aku kenal orang itu? Aku cuma bilang pernah melihatnya di−”
Sebongkah batu tertambat di ujung lidahku. Mas Angkasa tampak memeras jawab lewat tatap matanya. Mendadak aku seperti disiram air pukul lima pagi. Pikiranku memilah antara ingin jujur atau salah lihat saja.
“Diam berarti iya.”
“Aku pernah melihatnya bersama Mas Rawi.” Kedua tanganku langsung mendarat di bibir. Tak percaya karena pada akhirnya aku berbohong!
Mas Angkasa bertepuk tangan. Matanya bersinar mengalahkan terangnya mentari. “Sudah kuduga! Dari awal kubilang Rawi ada hubungannya. Akhirnya tabir itu terbuka. But how do you know this? Kecuali kalau kamu tangan kanannya Rawi.”
Aku menggeleng hebat. “Mas Rawi menyumpal mulutku dengan ancaman.”
Aku berbohong lagi dan lagi hingga menyudutkan Mas Rawi.
“Kenapa baru bilang sekarang?” Mas Angkasa seperti gemas sampai-sampai dia meremas dan mengguncang bahuku. “Ah iya, aku lupa. Kamu ‘kan hemat kata. Tapi, terima kasih ya. Dengan pernyataanmu ini, aku bisa melawan Rawi. Sekarang, dia pasti dalam misi berkumpul dengan orang-orangnya dan memberi perintah selanjutnya, bukan untuk menyelamatkan Embun.”
Mas Angkasa berlari di sepanjang lorong bangsal. Kakiku langsung lemas rasanya. Aku jatuh terduduk dengan tangan masih menempel di mulut. Aku yakin Mas Angkasa akan berkoar-koar dengan yang lain perihal omonganku tadi. Aku begitu kehilangan kendali atas diriku. Orang yang tidak biasa berbohong, demi menyelamatkan dirinya, dilemparkannya segala tuduhan pada orang lain.
Mau bagaimana lagi? Aku terlanjur dikurung rasa bersalah yang tidak bisa kupertanggungjawabkan. Kematian Mas Ranu semakin membayangiku sampai-sampai terasa dingin atmosfer di sekitarku, seolah dia datang untuk menyalahkan sikap bodohku ini.
Ketika yang mati saja mampu membuatku bergidik, reaksi Mas Rawi pasti bakal mengirimku langsung ke alam baka. Sepertinya, aku akan terus menempel pada Mas Angkasa yang notabene tengah dimusuhi seluruh penghuni fasilitas penelitian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments