Bukti yang berasal dari luar itu takkan bisa mengubah keteledoranku yang berujung pada kematian adik kembarku. Bagaimanapun, aku tetap salah. Aku layak dimutasi, bahkan dihukum seberat-beratnya.
Dahulu aku pernah membuat janji pada diri sendiri untuk menjaga Ranu, menjadi ayah, ibu, kakak, dan sahabat baginya. Aku dan Ranu cukup beruntung karena tumbuh bersama di panti asuhan yang sama. Orang tua kami tidak mencerai-beraikan kami. Namun, pada akhirnya aku gagal. Aku tidak berhasil memenuhi sumpah itu.
“Kak, ada apa dengan dagumu? Apa gara-gara brewoknya hilang lantas dagumu bersembunyi di dalam leher?” Hawa mendongak, menelengkan kepala ke kanan dan ke kiri, meneliti dengan seksama.
Aku menutup wajahku dengan tangan, berpaling untuk mengeluarkan deham. “Ya, kamu benar, Wa. Rasanya risih tanpa baju.”
“Nanti aku buatkan syal supaya dagumu terlindungi.” Hawa kembali meneliti daguku. “Sebenarnya Kak Rawi lebih cocok begini. Andai kita seumuran, aku mau jadi gebetan Kakak.”
Aku menaikkan alis. “Sekadar gebetan?”
“Soalnya aku mau menunjukkan potensiku dulu kepada yang lain, berkontribusi untuk lingkungan, baru setelahnya mengurusi kepentingan sendiri.”
“Aku bisa menunggu selama itu.” Aku memasang wajah datar, menahan tawa yang bergejolak dalam dadaku. Kutunggu reaksi Hawa, tetapi ekspresinya membuatku menyesal telah mengucapkan candaan itu.
Air mukanya penuh dengan keseriusan, lalu dia mengangguk. “Akan kubiarkan Kakak menunggu setelah masalah kita selesai.”
Apa aku telah memberikan harapan pada gadis belia ini? Padahal ada aturan ketat dilarangnya hubungan asmara antar kolega. Aku menutupi kepanikanku dengan senyum kecil. Di sisi lain, Fajar mencemooh pembicaraan kami, menggodaku dan Hawa sampai tiba di gedung utama. Aku bersyukur Hawa tidak meresponsnya, tetapi juga khawatir kalau diamnya itu karena sedang memikirkan perkataanku.
“Argo, kamu di sini. Pas sekali. Aku baru mau mengumpulkan semuanya.” Fajar menyapa Argo yang sedang duduk di sofa, menatap layar ponselnya.
“Ada urusan apa?”
“Bisa bantu aku membuat pengumuman pada semua orang? Katakan bahwa Fajar telah menemukan bukti esensial yang bisa membalik situasi saat ini.”
Argo menggaruk kulit kepalanya. “Tapi, itu tugas Kak Keanu. Oh, tapi tadi kulihat dia naik ke lantai dua. Akan kukabari dia, biar dia yang membuat pengumuman itu.”
Argo langsung menghambur menaiki tangga. Ponselnya ditinggalkan di atas sofa. Kami bertiga duduk di sampingnya. Tak berselang, pengeras suara yang terpasang tinggi di dinding mengeluarkan bunyi. Dimulai dengan kebisingan, lalu suara Keanu terdengar. Kata-katanya tepat sesuai dengan apa yang disampaikan Fajar tadi. Mendadak hawa dingin merayapi punggungku. Hatiku berdebar tidak tenang.
Setiap pos memiliki pengeras suara. Di manapun mereka berada saat ini, jika tidak sedang tidur, pasti mendengar pengumumannya. Sebentar lagi lobi akan dipenuhi orang yang akan menanyakan bukti itu. Tetapi aku menduga, Mas Angkasa takkan menelan informasi ini mentah-mentah. Entah mengapa, aku merasa dia punya kemampuan untuk membuat semua orang menerima pendapatnya.
Sesuai prediksi, semua orang berhamburan masuk, langsung mengerumuni Fajar untuk menanyakan bukti itu. Fajar meminta mereka untuk tenang. Baru setelah itu dia menunjukkan makanan berbentuk kotak, berwarna putih, dan berbintik cokelat dengan cara yang sama seperti saat dia menunjukkannya padaku dan Hawa.
“Aku menemukannya tidak terlalu jauh dari lokasi ditemukannya mayat Kak Ranu. Aku yakin kita semua mengenalnya. Makanan ini telah ada sejak dua puluh tahun yang lalu. Selain itu…” Fajar ganti mengeluarkan sepotong plastik berwarna biru. “Plastik ini cukup tebal, tapi transparan. Aku pernah melihat ini terutama saat musim hujan. Kalian tahu ‘kan pelindung tubuh dari tetes air.”
Semua orang menunjukkan ekspresi terkejutnya dengan cara masing-masing. Mas Angkasa langsung maju. Kutahu, dia hendak menyanggah.
“Kita juga punya jas hujan ‘kan. Warnanya pun ada yang biru.”
“Makanya, aku menunjukkan ini belakangan.” Fajar membuang plastik itu. Hawa memungutnya. “Kalau makanan ini, jelas bukan dari sini ‘kan?”
“Seperti yang kukatakan sebelumnya, ini pasti ulah Rawi. Dia pasti mematikan sistem keamanan untuk memasukkan penyusup itu. Perhaps there was a miscommunication. Jadi, ketika Ranu muncul, penyusup itu merasa terancam, lalu membunuhnya. Lagipula, meski kembar, rupa mereka berbeda saat itu. Sekarang, kurang jelas apa lagi?”
“Kita bisa mengambil sidik jari dari dua benda itu!” Candra kontan berkata. “Wah, aku terkejut dengan usulku sendiri. Tapi sudah berapa banyak sidik jari melekat di sana? Pasti akan butuh waktu yang lama untuk mengidentifikasi semuanya.”
“Lebih baik lama daripada tidak sama sekali.” Bu Gemintang mengeluarkan selembar plastik dari jas kerjanya, lalu mengamankan kedua bukti, termasuk yang dipegang Hawa. “Aku perlu sampel dari orang-orang yang memegang benda ini. Rawi, apa kamu juga menyentuhnya?”
Aku menggeleng.
“Percuma, Dok. Meski Rawi tidak terbukti pelaku pembunuhan Ranu, dia tetap bersalah telah mengacaukan sistem keamanan kita.”
“Beri aku waktu untuk membuktikan semua itu, Sa.”
“Tapi apa cukup sampai sebelum waktu makan malam tiba?” Argo menyela. “Batasnya sampai saat itu ‘kan? Tiga jam lagi.”
“Maka siapapun yang punya bukti yang bisa membatalkan pemindahan Rawi, tolong jangan disimpan sendiri. Kita semua keluarga. Jangan sampai terpecah karena hilangnya ketidakpercayaan.” Bu Gemintang langsung meninggalkan lobi.
Pandanganku melompat dari wajah ke wajah, mencari jika ada di antara mereka yang sebenarnya menyimpan bukti selama ini. Pencarianku berakhir pada Mas Angkasa yang memberiku senyuman jijik. Aku membuang muka, mendapati Hawa sedang mengamatiku. Aku bertanya, apa dia punya informasi tambahan.
Hawa menarik lenganku, melewati jajaran anggota lain menuju luar gedung. Saat mencapai ambang, kulihat semuanya juga membubarkan diri.
“Wa, kamu mau mengajakku ke mana?”
Hawa berhenti di depan pintu garasi, mendongak padaku. “Waktu kita tidak banyak. Ayo, kita berkeliling mencari bukti baru. Kita pergi ke gerbang terluar.”
Aku memandang Hawa tidak percaya. Dia anak baru, tetapi dia benar-benar sesuai dengan prinsipnya. Pintu garasi tidak terkunci. Hawa berlari mengambil kunci Solari dan menyerahkannya padaku. Dia terlebih dahulu duduk di kursi penumpang, mengaitkan sabuk pengaman tanpa kesusahan lagi.
“Tunggu apa lagi?” tanya Hawa ketika aku masih dikejutkan dengan tindakannya.
Sehabis aku duduk dan menancapkan kunci, Hawa menepuk bahuku. “Kali ini, aku mohon Kakak mengenakan sabuk pengaman. Juga gunakan kecepatan tinggi dan pakai fitur robotik apapun agar kita segera sampai di sana.”
Kulakukan permintaan Hawa. Tatkala mesin Solari menimbulkan suara bising yang kecil dan roda-rodanya melaju pelan, Mas Angkasa muncul di teras. Aku langsung putar balik, memacu Solari dengan kecepatan tinggi. Lewat kaca spion, kulihat Mas Angkasa mengejar. Alhasil, aku memasukkan kode komando untuk fungsi terbang usai meminta izin dari Hawa. Dia berkata terserah padaku dan percaya pada pengambilan keputusanku sepenuhnya.
Keempat roda Solari yang bulat seperti bola berubah menjadi roda pada umumnya. Roda itu tidak vertikal, melainkan horisontal dan mengeluarkan angin seperti kipas. Perlahan tapi pasti kami mengudara dengan jantung yang berdebar. Hawa karena paranoid mengendarai Solari, dan aku sebab fitur yang baru pertama kali kucoba.
Langit berubah oranye selama Solari menuruni gunung. Aku sudah mematikan fitur terbangnya, bernapas lega karena tidak ada malfungsi lagi. Kami sudah keluar hutan, disambut daratan luas yang dulunya bekas lahan perkebunan warga. Saat musim kemarau, tanah akan kekeringan dan pecah-pecah. Musim hujan masih lebih baik karena tanahnya bisa menampung kadar air. Area inilah yang kelak menjadi tempat pertama objek percobaan serum buatan kami.
Baru saja kami melewati rumah-rumah warga yang ditinggalkan, tempat robot-robot hewan buas disimpan. Satu kilometer kemudian, tibalah kami di gerbang terluar. Dikelilingi oleh pohon-pohon rindang buatan, dipagari kayu-kayu, ditambahi pula garis polisi. Beberapa palang dipasang. Di sana tertera tulisan besar-besar warna merah, menunjukkan kata-kata peringatan agar tidak mendekat.
Aku menanyai Hawa, apakah dia sudah rindu dengan gerbang ini. Dia turun dari bangku Solari, tetapi kakinya seperti tak kuasa menahan beban. Dia ambruk. Saat kudekati dan kubantu untuk duduk di bangku Solari, tubuhnya terasa berguncang hebat.
“Kamu yang minta, Wa.”
“Beberapa detik saja, Kak. Sehabis itu mari kita lihat jika ada pagar yang rusak atau ada tanda-tanda diterobos.”
“Kamu yakin dengan kaki gemetar begitu?”
Hawa menatapku tajam. Aku mengerti maksudnya. Waktu yang tersisa tidak banyak. “Kita bisa naik Solari dengan kecepatan pelan. Akan kubiarkan kamu duduk tepat di belakangku supaya kamu bisa berpegangan erat padaku.”
“Bagaimana caranya? Kursinya pendek.”
Aku menyeret pelan Hawa untuk duduk di kursi pengemudi. Kupasangkan sabuk pengaman untuknya, lalu duduk pada sisa kursi. “Sekarang, lingkarkan tanganmu ke perutku.”
Hawa menurut. Aku langsung menghidupkan mesin, melaju pelan di sepanjang sisi pagar. Aku berharap ini tidak menambah harapan Hawa padaku. Setelah beberapa rangkaian pohon buatan, kami mendapati tiga papan penyusun pagar berserakan di tanah. Hawa mengamati papan-papannya, sementara aku melihat ke luar pagar. Lampu-lampu kota di kejauhan sudah menyala di tengah longsornya mentari ke ufuk barat. Bertambah megah dengan cahaya neon warna hijau yang berpendar dari pepohonan artifisial. Dulu aku begitu mengagumi keindahan pohon itu, tetapi setelah datang ke sini, pohon-pohon itu tak bisa menyaingi keindahan pohon aslinya.
Pepohonan artifisial itu sejatinya berfungsi menjaga kadar oksigen di permukaan bumi. Berbeda dengan pohon buatan di sekitar pagar ini yang dibuat sebagai pajangan semata untuk menutupi apa yang ada di belakang sana.
“Kak, sepertinya ini baru.”
Aku menoleh pada Hawa yang tengah menunjuk ke atas. Kuikuti arah telunjuknya, mendapati lampu panel tanda bahaya berkedip. Panel tanda bahaya yang terpasang di antara rimbunan pohon buatan dan bersembunyi di balik kotak plastik itu tidak pernah terpakai. Saat kubuka, ada rembesan air masuk ke dalam kotak. Aku tetap menekan tombolnya, berharap sinyal ini sampai ke menara yang dijaga Embun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments