Little Earth
Istriku sungguh pandai memasak. Kemarin dia habis membuatkan bubur ayam untuk sarapanku. Pagi ini dia memasak ikan bakar sambal bawang lengkap dengan lalapan kubis dan kemangi. Besok rencananya dia mau menumis kangkung berlauk cumi goreng. Sungguh kreatif caranya memberi nama pada makanan yang begini melulu. Hambar, alot, kotak, dan berwarna putih berbintik cokelat. Setiap hari inilah makanan kami. Hasil dari perubahan iklim drastis yang menerpa seluruh negeri.
Aku muak!
Aku rindu masa kecilku dulu ketika nama-nama makanan menggambarkan kenikmatan yang sesungguhnya. Kini lidahku mati hingga menular ke pikiranku. Serasa aku menyerupai robot-robot yang tengah dikembangkan itu. Meskipun sudah canggih, bisa bergerak lentur, tapi dalamnya beku. Ini hanya gara-gara tidak bisa makan enak.
“Mas Pah, kok ikannya cuma dipandangi? Nanti ikannya kege-eran terus menggaet Mas Pah lho.” Istriku datang, langsung memijat bahuku.
“Si Bun emangnya mau Mas Pah nikah lagi sama ikan? Bolehlah. Tapi mana ikannya?”
“Mas Pah kena apa toh? Kok hari ini suram begitu?”
Aku merenung sejenak sambil mengamati kotak putih alot berbintik cokelat yang hambar itu. Membayangkan ada sirip di kedua sisinya, dan bau kecap terbakar menusuki hidung. “Si Bun masih ingat rasanya kecap?”
Istriku hendak menganggukkan kepala, tertahan, lalu hendak menggeleng dan tertahan lagi.
“Sudah kuduga. Aku sebenarnya kasihan pada anak-anak kita, tidak pernah merasakan yang namanya kecap. Seandainya masih bisa menanam kedelai…”
“Mas Pah tahu tidak? Itu tuh di daerah pegunungan sebenarnya masih ada tumbuhan lho.”
“Ya, itu ‘kan dimiliki pemerintah. Yang mengelola pemerintah buat dijadikan makanan aneh ini. Temanku itu juga kerja di sana, Si Bun. Katanya bahan alaminya sedikit, campurannya banyak. Jadinya ya begini alot dan hambar macam sandal.”
Aku merasakan tepukan di bahuku, lalu berganti pijatan hangat. Otot-ototku sedikit mengendor.
“Mas Pah tahu tidak kalau sandal itu ada rasanya?”
Aku melabuhkan pandangan ke mata istriku. Dia menyambung, “rasa kaki.”
Tawa meledak dari bibir istriku. Aku mengerucutkan bibir, mendengus lewat kedua lubang hidungku. Kudorong piring berisi makanan aneh itu dengan kasar.
“Mas Pah ngambek? Jangan dong nanti Si Bun susah. Oh ya, sebenarnya Gunung Merbabu itu tidak dimiliki pemerintah lho.”
Hatiku terketuk. Aku kembali melabuhkan pandangan ke mata istriku. Dia masih memijatku sambil melanjutkan ceritanya, “katanya, di lereng Merbabu pernah ditemukan mayat yang banyak, masih baru. Itu orang-orang kiriman pemerintah untuk meneliti kondisi di Merbabu. Lain waktu ditemukan juga mayat. Mungkin dari orang-orang yang berniat menjarah. Anehnya, semua mayat itu meninggal dengan luka cabikan hewan. Karena begitu banyaknya korban, semua akses menuju Gunung Merbabu disegel. Dan karena itu juga, Gunung Merbabu tampak segar dipandang mata. Mas Pah tahu kenapa?”
Sedari tadi mulutku terbuka lebar. Pikiranku tiada henti menggambarkan pemandangan yang dulu pernah kusaksikan sewaktu kecil. Rimbunan pohon mangga di pelataran rumah bertahta di atas rumput hijau. Seluruh pagar berhiaskan bunga mawar aneka warna. Tak terkecuali deretan tanaman yang dikumpulkan ayahku sebab hobinya.
“Si Bun, kira-kira bakal seperti apa isi Gunung Merbabu itu?”
“Ya tidak tahu, Mas Pah. Bisa jadi juga tidak sesubur yang kita bayangkan. Jangan lupa fakta kalau ada hewan buasnya!”
Istriku berhenti memijat. Dia mengambil piring yang belum termakan isinya. Aku tidak peduli jika perutku kosong pagi ini. Kurasa, aku akan membolos kerja. Hasrat ingin pergi ke lereng Merbabu untuk melihat kembali hijaunya alam.
Aku menggelengkan kepala keras-keras sampai sadar dari gagasan tadi. Namun, justru rasanya semakin kuat. Aku mengambil kunci mobil, melenggang keluar rumah. Panas terik menyengat kulit, jalanan menyilaukan mata dengan gersangnya daratan. Aku masuk ke mobil, menghidupkan pendinginnya sampai maksimal, lalu melaju ke toko peralatan kemah.
***
Jadi, aku berhasil mengumpulkan peralatan yang dibutuhkan untuk mendaki. Lalu, kuterobos pagar pembatas. Aku melewati perumahan, tetapi sudah tidak dihuni. Aku terbayang cerita istriku tentang hewan buas pembunuh banyak orang, menerka apa jenisnya dan di mana kemungkinan bertemu dengannya. Setelah empat jam mendaki, dari adanya sinar mentari yang menyengat sampai hawa dingin menyergap, tibalah aku di kawasan hutan.
Aku tersesat.
Kalau kulihat peta usang yang kubeli seharga lima lembar uang warna merah―karena termasuk dalam kategori benda antik masa kini―di toko penjual alat kemah, aku sudah mencapai ketinggian dua ribuan meter. Menurut petunjuk arah ini, jika aku mendaki dua jam lagi, aku akan sampai di sabana. Masalahnya, aku ada di sebelah mananya hutan? Tanpa jamahan manusia, hutan ini semakin lebat. Aku heran sebab gunung ini tampaknya tidak terkena dampak perubahan iklim.
Aku menggenggam tanah, meremas-remasnya dengan jemari. Seketika hatiku merasa tenang. Angin sejuk membelai wajahku. Aku rindu perasaan ini. Perasaan yang membuat sepanjang tulang punggungku merinding oleh haru dan ketenteraman.
Kuregangkan jemari tanganku, membiarkan tanah luruh dari sela-selanya. Deru udara yang lembut mengantarkan butiran tanah kembali mendekam dalam pelukan bumi. Aku menumpahkan sisanya, menetapkan hati untuk menelusuri lebih jauh isi gunung ini. Sampai sekarang aku masih aman.
Namun, aku bodoh.
Aku akui ini. Tidak kepikiran untuk membeli jas hujan dan sepatu bot, padahal ini adalah musim hujan. Musim yang mengatakan bahwa ia akan lebih sering menangis di dataran tinggi. Musim yang dilupakan banyak orang karena jarang terjadi. Aku mendirikan tenda dalam keadaan kuyup. Pergerakanku melambat dengan beban pakaian yang semakin berat. Deru angin menambah susah karena menggigilkan raga. Terkadang aku mendengar gemuruh seakan keluar dari perut hewan buas. Aku meneliti sekitar.
Kabut terbentuk dari atas hingga membatasi jarak pandangku. Mau tidak mau, aku harus berkemah sejenak. Mengistirahatkan kaki yang penuh bilur sebab otot-otot yang mengejang saking kagetnya. Kudengar kakiku menjerit selama pendakian tadi, tetapi kubiarkan saja, dan inilah hasilnya. Tidak begitu buruk, kurasa.
Yang parah adalah masalah mulut ini. Ia enggan disumpali makanan batangan yang alot berwarna putih berbintik cokelat tanpa rasa ini, apalagi setelah menemukan alam yang masih asri. Aku berharap menemukan buah atau hewan yang bisa dimakan, tetapi aku belum mendapati satu pun. Bahkan jamur pun tidak ada.
Hujan tidak berlangsung lama. Aku segera membereskan tenda, melanjutkan penelusuran. Langkah kakiku menjadi lambat gara-gara membawa beban air yang tersimpan dalam pakaianku. Aku tidak mau berganti karena hanya punya satu set pakaian yang akan kupakai besok―meskipun juga sama-sama basah. Yang terpenting, aku harus segera sampai di sabana. Bahkan dari sewaktu kecil, ayah berkata bahwa hutan bukanlah tempat yang aman.
Kabut semakin pekat saja, dan warnanya menggelap. Aku melihat jam tanganku―untungnya anti air sehingga ia masih bisa menggerakkan tangan-tangan kecilnya. Biasanya pada jam segini aku baru tiba di rumah. Istriku akan memasakkan air panas yang hanya satu liter untuk campuran satu ember besar. Dia akan memarahiku jika mengguyur lebih dari sepuluh kali. Aku berdalih kalau aku hanya memenuhi separuh gayung, jadi bisa berkali-kali guyuran. Tentu saja, ini bohong.
Hmm… aku heran.
Sudah hampir dua jam aku masih ada di area hutan. Aku memutuskan untuk mendirikan tenda, memanjakan kantuk, dan mengusir letih dari kedua kakiku yang membiru. Malam ini aku tidur dalam beku, tetapi aku tidur sambil tersenyum. Untuk sekian lama, aku bisa melihat lagi “kulit ayam” yang hanya muncul saat aku kedinginan.
***
Tulangku hampir rontok saat meregangkan tubuh. Namun, semilir udara langsung menyambungkan kembali sendi dengan kekuatan baru. Aku membuka kotak bekal, meluncurkan napas berat kala melihat tiga potong kotak putih berbintik cokelat yang alot dan hambar. Aku bersungut saat menyumpalkannya ke dalam mulut. Namun, aku terpaksa sebab perut meronta-ronta. Habis satu batang, aku langsung mengemasi tenda. Kembali mendaki, mencari vegetasi lain selain pohon berkanopi ini.
Aku terkejut!
Masih di dalam hutan, pada semak-semak yang rimbun, tertangkap bundar-bundar warna merah. Aku menyeret sepatu yang basah, menapaki tanah yang meleleh menuju tanaman itu. Buah beri! Entah apa jenisnya, tetapi aku yakin ini buah beri.
Aku melepaskan satu dari tangkainya, lalu mengamati buah berkulit menggerenjal itu dengan seksama. Aku membawa buah itu ke depan bibir, membuka mulut untuk menyambut kedatangannya. Namun, tanganku berhenti. Seketika berpikir jika buah ini beracun. Aku mendekatkan kembali buah itu ke kedua mataku. Di sela pandang, ada burung yang terbang mengitari semak beri. Mematuk satu buahnya, membawanya pergi.
Aku langsung yakin.
Mulutku pun giras melahap buah yang hanya sebesar buku jariku. Aku terhempaskan menuju masa lalu saat bumi masih ramah dan memberi kami segala hasil tanahnya. Aku ingat rasa ini. Manis dan asam. Frambos.
Jemariku lihai memetik dan memetik setiap bijinya, mengumpulkannya dalam dekapan tangan, lalu melahapnya sekaligus. Tiba-tiba, aku merasa ada yang menepuk bahuku. Keringat dingin merembes cepat, membasahi seluruh tubuh. Jantungku berlari seolah sedang dalam kompetisi. Perlahan tapi pasti, aku menoleh.
Mendadak kepalaku disergap warna hitam. Lututku lunglai. Apakah aku baru saja bertemu hewan buas yang suka mencabik itu?
Aku mengangkat tangan, memastikan bahwa aku masih sadar dan hidup. Kulihat ada warna merah di ujung-ujung tanganku. Jemari saling mengusap. Hangat dan menimbulkan bau anyir. Inikah darahku? Tetapi aku tidak merasakan sakit.
Aku mengerjapkan mata, memanggil kembali kesadaran yang tadi mengembara entah ke mana. Saat semuanya terkumpul, kulihat sesosok manusia tergeletak bersimbah darah. Darah yang berasal dari lehernya. Di sana, sebilah pisau tertancap. Aku terpaku. Bukankah itu pisau yang kubeli bersamaan dengan peralatan kemah?
Aku telah membunuh seseorang. Orang itu membawa sebuah kamera bersamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Dwi Sulistyaningsih
Mas Pah?
panggilan sayang kah?
2023-07-26
1
Dwi Sulistyaningsih
jadi laper
2023-07-26
1