LOG 15 - KEANU

“Masalah baru muncul dan belum bisa dipastikan cara penyelesaiannya. Daerah pegunungan yang dimiliki pemerintah mulai menunjukkan tanda-tanda kekeringan seperti yang terjadi di dataran rendah. Suplai makanan akan merosot, kerusuhan pasti terjadi, dan terutama oksigen semakin menipis.”

“Jadi, menurut Bapak, kita tidak punya kesempatan lagi setelah semua usaha itu?”

“Masih ada kesempatan kalau kita menguasai pucuk Gunung Merbabu. Saya sudah berkali-kali berkata untuk mengerahkan pasukan militer terbaik dan persenjataan lengkap. Bagaimanapun lawan kita adalah hewan, dan manusia lebih berkuasa dari mereka.”

Radio kumatikan. Biasanya aku suka mendengarnya lama-lama, tetapi saat ini ada yang lebih penting. Menurut penuturan Argo, seharusnya sekelompok orang bersenjata itu sudah menguasai menara luar. Jemariku lihai mengetikkan kode-kode peretas demi bisa melihat situasi di sana. Aku mengambil alih komputer Kak Embun tanpa terdeteksi. Lewat pixel pada layar komputernya aku menangkap gambar, memindahkannya pada aplikasi olah desain. Dengan beberapa langkah, gambar yang tadinya buram penuh pixel, kini menjadi lebih jernih, menunjukkan segerombol orang berpakaian pemburu.

Sesuai perkataan Argo, mereka semua bersenjata, kecuali satu-satunya wanita yang berpakaian seperti nyonya besar. Dia memegang kipas di tangannya.

Aku menuding pada layar komputer, menghitung jumlah mereka. Setidaknya ada lima orang yang tertangkap jepretanku. Pikiranku berlayar pada pernyataan Mega. Ada laki-laki bertubuh pendek yang menembak Bu Dokter. Orang ini bisa berada dekat dengan fasilitas. Tandanya dia bukan dari kelompok yang sama. Jadi, ada dua kelompok orang asing sedang berkeliaran di pucuk Gunung Merbabu.

Aku menghubungi gedung utama lewat telepon kabel. Pak Bara mengangkatnya.

“Pak, katakan pada yang lain, setidaknya lima orang asing itu sedang menguasai menara seperti dugaan Argo.”

“Kamu sudah menghubungi Argo juga?”

“Oke, aku hubungi dia sekarang.” Kututup telepon, ganti menggunakan ponselku dan mencari kontak Argo. Mendadak aku teringat pada Kak Embun. Lebih baik aku menghubunginya terlebih dahulu.

Telepon tersambung, bunyi tut-tutnya mencapai maksimal. Aku langsung ganti menelepon Argo. Dia membalas.

“Jangan pergi ke menara luar! Mereka sudah menguasainya.”

Suara Argo sedikit putus-putus, bercampur suara bising telepon dan derit Solari. Namun, aku jelas mendengar bahwa dia harus menyelamatkan Kak Embun.

“Jangan, Argo! Kamu tidak bersenjata. Menurutmu, apa yang akan mereka lakukan begitu melihatmu? Kamu akan berakhir seperti Kak Ranu.” Aku menggigit bibir. “Maaf, aku tidak bermaksud buruk tentang kematiannya, tapi kita tidak bisa kehilangan personel lagi.”

Decit Solari sirna. Suara Argo tidak lagi putus-putus. “Aku tidak berpikir sampai ke sana. Aku pergi dengan tangan kosong. Oh ya, Kak, apa kamu sudah memberitahu Kak Rawi? Biasanya dia yang paling cepat tanggap. Kenapa akhir-akhir ini dia bertindak lamban seolah benar-benar merencanakan sesuatu?”

“Kak Rawi tidak kelihatan sejak pertemuan tadi.”

******* napas Argo terdengar jelas di telepon. “Jangan-jangan dia ditangkap kawanan itu. Kalau begini, hanya aku yang bisa diandalkan.”

Dering telepon kabel menyela.

“Tunggu, Go, jangan tutup teleponnya!” kataku padanya, ganti menjawab panggilan itu. Dari Pak Bara. “Kak Rawi baru tiba di gedung utama? Sudah Bapak sampaikan situasi kita? Oke, Pak, saya tunggu di sini.”

Aku meletakkan kembali gagang telepon. “Go, kamu dengar itu?”

“Ya, tapi bagaimana dengan Kak Embun?”

“Kamu tunggu kabar dari Kak Rawi dulu. Sementara aku tutup teleponnya, tapi kamu jangan nekat ya.”

Argo setuju. Aku lantas kembali lagi ke gedung utama, berlari secepat mungkin. Untungnya, aku sudah dilatih untuk gesit oleh tugas-tugas yang memaksaku berkeliaran ke sana-sini. Baru sampai di teras, Kak Rawi sudah meminta gambar hasil jepretanku.

“Aduh, Kak! Aku meninggalkannya di pos. Bersediakah kalian menungguku mengambilnya?”

Kak Rawi sudah seperti ayam kelaparan yang tak sabar mematuk pakan. Melewatiku, mengambil langkah menuju barat laut. Dia pasti hendak menuju posku. Aku pun bergegas mengikutinya, disusul oleh Hawa. Tanpa basa-basi, aku menunjukkan foto yang kuambil tadi sesampainya di pos. Keringat dingin meluncur dari pelipis Kak Rawi saat dia meresapi gambar itu.

“Pak Bara bilang Embun sedang dalam perjalanan ke sana?” Kak Rawi bertanya, dan kubalas dengan anggukan. “Baiklah, aku akan mengambil senapan. Hawa, kamu tinggal di sini ya.”

“Tapi, Kak−”

“Tidak ada tapi-tapian. Aku akan mengurusnya sendiri.”

“Argo sedang di dalam hutan.” Aku menyela.

“Baiklah, akan kubawakan senjata untuknya juga. Kalau ada informasi penting, apa pun itu, kabari aku lebih dulu.”

Aku dan Hawa ditinggalkan berdua. Perempuan yang belum ada satu bulan bekerja di sini ini belum pernah kuajak bicara secara serius. Namun, dia sama sekali tidak canggung berada di sekitarku. Perubahan karakternya kental terlihat. Dia tak lagi menyatukan tangan untuk menunjukkan kesopanan saat berbicara. Justru dia menatap langsung ke dalam netraku seolah berusaha menembusnya. Kulihat, dia cepat beradaptasi. Hal yang bagiku cukup lama untuk dilakukan.

“Kak, bisakah kamu putar semua CCTV di area menara luar?”

“Kamu ingin tahu apa yang sedang terjadi di sana?” Hawa memberiku anggukan. “Komputer ini tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa meretas semua kamera bahkan komputer di menara luar. Tunggu sebentar.”

Jemariku kilat memasukkan kode-kode perintah, dan dalam sekejap aku mendapatkan beberapa gambar kamera di area luar. Hawa mendekatkan wajahnya ke depan layar. Kutawari dia kursi untuk duduk. Dia pun mengawasi bersamaku.

Layar berpindah dari kamera ke kamera. Aku berhenti pada satu yang terpasang di gerbang terluar. Beberapa palang kayunya tergeletak di tanah.

“Aku dan Kak Rawi menemukannya sudah dalam kondisi begitu. Makanya Kak Rawi menyalakan sinyal tanda bahaya ke menara luar, tetapi suaranya tidak kedengaran saat kami berada setengah perjalanan dari menara luar. Begitu kami berjalan seperempatnya lagi, barulah suaranya kedengaran. Kak Rawi berasumsi kalau Kak Embun baru menyadari sinyalnya. Alhasil, kami yang tadinya hendak menuju menara luar, ganti haluan menyisir hutan berharap menemukan siapa pun yang menerobos.”

“Kusimpulkan usaha kalian gagal.”

Hawa mengangguk, memintaku berpindah ke kamera yang lain. “Hari sudah mulai gelap. Lampu mobil tidak memberi banyak penerangan. Kak Rawi khawatir kami justru bertemu hal yang tidak diinginkan. Kak Rawi mematikan lampu dan menyetel mobil ke kendali otomatis agar kami bisa kembali ke gedung utama. Begitu sampai, katanya Bu Gemintang ditembak orang, dan Kak Embun turun ke menara luar sendirian.”

Kami lanjut berbincang tipis-tipis sembari menyaksikan rekaman CCTV. Tidak banyak pergerakan di kamera pengawas area luar yang hanya segelintir itu. Aku pun meretas lagi komputer di menara luar. Hawa memujiku karena bisa menampilkan apa yang terjadi di sana lewat pixel layar. Meski gambarnya tidak terlalu jelas, tetapi dengan bantuan interpretasi Hawa yang kuakui sangat memukau, kami bisa mendapat gambaran seutuhnya.

“Untunglah Kak Embun tidak sampai di sana.”

“Kita belum yakin, Wa. Ini cuma rekaman dalam ruangan.”

Harapan yang sempat singgah di wajah Hawa ditendang oleh syok berat. Aku mengalihkan pikirannya dengan berpindah ke kamera pengawas di sekitar fasilitas penelitian. Telunjukku melompat-lompat sampai ia berhenti pada satu titik yang membuat mulutku menganga. Di sana Kak Rawi dan Argo sedang beradu hantam dengan seorang pria. Hawa tidak kalah terkejutnya denganku.

“O-orangnya kelihatan lebih pendek dari Kak Rawi dan Kak Argo.”

“Wa, itu pasti penembak Bu Gemintang!”

Kami menyaksikan pertempuran mereka. Tampaknya, Kak Rawi belum sempat mengambil senjata. Argo baru saja jatuh akibat pukulan ke area wajahnya. Dia terpental ke belakang, tetapi segera bangkit dan menyeruduk pria itu. Argo membebankan tubuhnya ke perut laki-laki tersebut sembari memberikan tinju dengan cuma-cuma. Meski tubuhnya lebih kecil, si pria asing mampu membalikkan keadaan. Dia ganti berada di atas Argo dan memberinya hujan pukulan. Kak Rawi yang tadinya hanya menyaksikan usai serangannya diserobot Argo, kini turut andil kembali. Dia mengaitkan lengannya ke leher laki-laki itu, lalu menyeretnya.

“Di mana letak kamera ini?”

“Kamu tahu penampungan air yang terletak dekat dengan peternakan kambing? Ya, di situ lokasinya.” Aku memindahkan layar ke kamera sekitar situ untuk memastikan. “Ya, benar.”

Hawa bangkit berdiri. “Berarti lumayan jauh ya? Baiklah, saatnya olahraga malam.”

“Wa, kamu mau ke mana?”

Tetapi Hawa sudah berlalu pergi, memacu kakinya yang jenjang. Aku hanya bisa pasrah, berharap Kak Rawi dan Argo lebih dulu mengamankan pria itu. Aku kembali ke layar yang menampilkan pergulatan mereka. Kini, kulihat pria itu dan Kak Rawi sedang berguling di atas tanah. Satu dari tangan mereka masing-masing menjuntai lurus. Kupikir itu aneh, jadi kuperbesar resolusinya. Astaga, mereka sedang memperebutkan sebuah pistol.

Resolusi kamera kukembalikan seperti semula. Kak Rawi berhasil menyingkirkan pistol itu dari tangan si pria asing. Argo sepertinya mendapat luka sebab dia terkapar di tanah. Kuharap lukanya tidak serius. Mendadak kudengar suara gemerisik yang begitu keras di luar pos. Setelah lebih dari sehari tidak hujan, ia datang juga. Ini semakin menambah dramatis pertarungan itu.

Si pria asing benar-benar kuat. Dia berhasil menjatuhkan Kak Rawi, lalu bergerak menuju tempat jatuhnya pistol. Di saat bersamaan, Argo berdiri. Aku menjerit sebab pistol terarah padanya. Aku langsung menutup mata. Ketika kubuka kembali, kulihat Kak Rawi berada di antara keduanya dengan tangan memegangi dada kirinya. Tidak lagi! Tidak dengan Bu Gemintang yang sedang dalam perawatan.

Pria itu kini ganti memegangi tangannya. Pistol sudah terlepas dari sana. Di sisi satunya, kulihat Argo memegangi senapan. Jadi, Kak Rawi berhasil mengambil senjata lebih dulu! Syukurlah. Kemudian, Kak Rawi berderap ke arah si pria dan memberinya tendangan ke wajah. Pria itu terlempar ke belakang. Seketika tidak sadarkan diri. Aku masih memandangi layar sampai Hawa tiba di lokasi.

Dengan tangan sedikit gemetar, aku mengambil gagang telepon kabel, menghubungi gedung utama. Suara Pak Bara kembali memenuhi lorong telingaku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!