LOG 17 - EMBUN

“Pukul satu lebih tiga puluh menit tadi, polisi di negara bagian California menemukan seluruh penghuni apartemen di Jalan Ardmore Ave dalam keadaan tak bernyawa. Diduga penyebab kematian karena keracunan. Polisi masih menyelidiki lebih lanjut apabila ada motif la−”

“Kenapa mendengarkan berita yang pesimis begitu?” Aku langsung mematikan televisi. Bahkan di belahan dunia lain, kondisinya tidak jauh lebih buruk. Padahal pemerintah Amerika mempunyai program budidaya bahan pangan yang unggul. Sayangnya, banyak rakyat seolah telah mengangkat tangan pada keadaan, sehingga pikiran mereka menjadi sempit.

Sebenarnya, sama seperti di negeri ini, populasi mengalami penyusutan signifikan. Rakyat saling terkam dan menerkam diri sendiri sejak kekeringan panjang dimulai. Alhasil, tanpa mencanangkan sistem seleksi alam, masyarakat gugur dengan sendirinya. Kini, program pemerintah adalah merawat sekitar 10 juta rakyatnya dengan tantangan baru, yaitu mulai tidak suburnya tanah-tanah pegunungan.

Kusebut sebuah keajaiban bilamana sampai detik ini lereng Merbabu masih ditahtai pepohonan dan berusaha menumbuhkan tanaman yang diuji coba. Ini semacam kepercayaan yang diberikan oleh alam pada manusia, bagaimana kami menjalankan tugas itu dengan baik. Seperti menembak dengan peluru yang telah ditanamkan di badan pistol tanpa tahu bagaimana cara merakit pistol itu atau memasukkan bubuk mesiu ke dalam selongsong. Inilah misi kami. Misi rahasia yang digadang-gadang oleh pemimpin kami.

Terkadang aku heran, bagaimana kami masih bisa bertahan walau pernah diserang musuh delapan tahun yang lalu. Meski pemerintah berkoar-koar akan mengerahkan pasukan tempur paling andal, nyatanya itu hanya sebatas ucapan. Seolah ada kuasa yang melingkupi kami.

“Kak, kenapa lampu sinyal tanda bahayanya menyala ya?” Keanu menunjuk pada lampu merah kecil yang berkedip.

“Lho, ini asalnya dari gerbang terluar.”

“Apa ada malfungsi?”

Aku menggeleng, lantas mematikan alarm itu dari pos penjagaan Keanu ini. “Aku akan turun dan mengecek. Kalau menyala lagi, tolong jangan dilanjut ke protokol suara. Kita tidak mau ada keributan sementara sumbernya masih belum jelas.”

“Baik, Kak. Nanti segera hubungi aku sesampainya di sana ya.”

Kulayangkan anggukan sebagai tanda persetujuan, lalu melenggang keluar dari pos Keanu. Udara yang mulai terasa dingin mengimbangi warna langit yang perlahan kehilangan terangnya.

Hm, lebih baik kubawa pakaian ganti dan tidur di menara luar malam ini.

Berjalan turun melewati deretan tanaman yang berhasil bertahan di musim kemarau, aku ditemani bunyi serangga yang bersahutan. Sungguh, adalah sebuah keputusan yang tepat datang ke fasilitas penelitian ini. Di luar sana, bahkan semut saja tidak hidup. Aku bersyukur, selagi berjuang memulihkan kondisi bumi, aku diberi kesempatan menikmati sajian bumi kecil ini.

Setibanya di gedung utama, aku berkumpul sejenak dengan beberapa orang. Saling bertukar sapa dan informasi perkembangan penelitian. Sesudah itu, kami bubar untuk memulai aktivitas personal. Aku melenggang ke dapur, mendapati Pak Bara tengah mempersiapkan bahan-bahan racikan untuk makan malam.

“Pak, minta tolong bungkuskan aku makanan ya.”

“Eh, yang mau kencan.”

“Hus, mana boleh. Jangan lupa lho, Pak! Habis mandi, langsung saya ambil.”

Pak Bara mengiyakan. Kakiku banting setir menuju bangsal tidur. Kuambil tas ransel, menjejalinya dengan pakaian tidur dan yang akan kupakai besok. Baru setelah itu aku mengguyur tubuh yang seharian mondar-mandir dari menara luar ke posnya Keanu gara-gara kesalahan sistem yang terjadi di hari kematian Kak Ranu.

Paling-paling, itu sinyal palsu. Besok harus dicari tahu ini.

Aku meregangkan persendian usai mengenakan setelan baju sport. Sentuhan terakhirnya adalah jaket kulit yang katanya bekas pendahuluku. Meskipun kesannya mengerikan sebab memakai barang orang yang telah tiada, tetapi bagiku, timbul rasa tersendiri. Semacam dorongan spiritual agar mampu menjalankan tugas relawan ini dalam suka maupun dukanya.

Tas ransel mendarat nyaman di punggung. Aku menutup pintu kamar, memandangi lorong sunyi. Pada jam segini, yang senior lebih suka bergaul dengan hobi mereka masing-masing. Sementara para juniornya akan berkumpul demi sebuah ikatan dan canda tawa.

Begitu sampai di dapur, aku disambut bau bawang putih yang digoreng sebentar dengan cabai. Wanginya semakin kental saat bersentuhan dengan air kali pertama. Wajah sumringahku, hasil dari penggambaran makanan yang meleleh di mulut, pudar ketika melihat ke dalam isi tepak yang tutupnya transparan. Nasi dan telur ceplok. Bahkan nasinya tidak mengeluarkan uap.

“Saya kira bakal dimasakkan yang enak-enak, Pak.”

Laki-laki berkepala gundul itu menoleh. “Heh, katanya mau cepat. Ya itu hasilnya. Kalau mau masakan enak, butuh semedi dan ritual suci agar cita rasanya tercapai.”

Aku tertawa sebagai balasan.

“Ngomong-ngomong, kamu ini mau ke mana?”

“Mau ke posnya Keanu, Pak.” Aku berbohong, sebab jika kukatakan sebenarnya, akan memancing tanya yang berujung kepanikan.

“Tuh ‘kan kencan beneran. Hati-hati lho, jangan sampai ketahuan.”

Aku berlagak terciduk, lalu pergi begitu saja. Tepak makanan telah aman dalam tas ranselku. Begitu turun untuk mengabsen peminjaman Solari, Pak Guntur menegur.

“Kamu tahu ‘kan tidak ada yang bisa bohong sama Bapak.”

Aku memutar bola mata. Kulepaskan spidol yang dibuat menggantung pada sebuah tali, menorehkan nama dan tanda tangan di lembar bertabel itu.

“Tapi Bapak harus janji jangan mengatakannya pada siapa-siapa dulu.” Kujulurkan jari kelingking yang langsung disambut oleh Pak Guntur. “Ada alarm tanda bahaya, asalnya dari gerbang terluar.”

“Siapa yang menyusup?”

Aku mengangkat bahu. “Bisa jadi kesalahan teknis, efek penyetelan ulang sistem keamanan. Makanya saya mau turun untuk memantau situasi.”

“Baiklah, tapi hati-hati ya. Begitu ada sesuatu langsung kabari kita semua.”

Kulemparkan ibu jariku pada Pak Guntur, lalu masuk ke garasi, menghidupkan Solari 1. Kulihat nomor tiga sedang dalam masa perbaikan, sementara yang nomor dua entah ke mana. Kupacu lembut mobil canggih itu, menerjang malam yang selalu tenang.

Sesudah masa kekeringan panjang, area padang rumput di lereng Merbabu semakin luas. Bahkan ada yang sampai mengering, menyingkap bebatuan berwarna kehitaman hingga kuning. Aku memilih jalur cadas tersebut sebab aku ingin meluncur ke bawah dengan fitur sayap pada Solari. Meskipun jaraknya pendek, tapi itu waktu yang lama untukku menikmati angin sejuk. Ketika di panti asuhan dahulu, angin yang ada membawa debu dan hawa panas. Justru membuatku sesak napas.

“Ah, segarnya!” Aku mengganti fitur sayap dengan roda tank. Solari menggelinding begitu saja seolah tanpa hambatan, menambah deru embusan bayu.

Tanpa terasa, aku sudah menembus hutan. Selangkah lebih dekat dengan menara luar yang juga menjadi rumah kedua bagiku. Mendadak kulihat cahaya telah menyulut rumah pohon itu. Beberapa orang berkeliaran di terasnya, menyulut rokok vape. Kuhentikan laju Solari, berharap suara lembutnya tidak mengalahkan kebisingan mereka.

Aku meletakkan tas ransel di kursi penumpang, mengendap di balik pohon demi mencerna pemandangan di hadapanku.

Jadi, sinyal itu benar. Para penyusup ini sudah setengah perjalanan menuju fasilitas. Aku harus memberitahu gedung utama.

Aku baru mau mengambil telepon genggam dari ransel ketika dua orang bertubuh besar menghadang. Salah satunya tampak seperti orang asing. Kulitnya putih pucat, matanya seperti pecahan batu zamrud, dan rahangnya diselimuti cambang. Orang itu langsung menarikku, menghantamkanku ke batang pohon. Sebagai penjaga hutan, kukerahkan segenap kekuatan untuk melawan balik. Sialnya, aku kalah ukuran. Dengan mudahnya, dia melemparkanku ke udara sampai aku tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya.

Tahu-tahu, aku sudah berada di dalam menara, dikelilingi pria-pria berpakaian serba gelap dan seorang wanita yang seperti salah tempat. Rambutnya disanggul, mengenakan gaun bermotif bunga, dan menggenggam kipas tangan warna ungu.

“Kok Mas Pah lama sekali ya, Cin. Katanya tidak sampai satu jam dia pergi.” Wanita itu berbincang dengan pria bertubuh kurus yang memiliki kumis terawat sampai melengkung sempurna.

“Aduh, Bun. Ini saja belum ada empat puluh lima menit. Kita tunggu Mirdaus sampai genap satu jam.”

“Mas Pah kok ya nekat ke sana sendirian, padahal sudah mengeluarkan uang untuk sewa pembunuh bayaran. Harusnya dimanfaatkan semaksimal mungkin.”

“Quiet, woman! You’re talking too much!” Pria asing itu menggertak dengan suara paraunya, lalu menusukku dengan sorot matanya. Dia bersimpuh di sisiku sembari memberikan sentuhan menjijikkan ke wajahku. “Kudengar kalian punya apa yang telah hilang dari kami.”

Aku diam memandang. Setahuku, sepanjang sejarah fasilitas penelitian ini, tidak sekalipun kami mencuri dari dunia luar apalagi dari gerombolan ini. Jadi, aku heran dengan maksud perkataannya. Atau, jangan-jangan…

“Kalian keluarga dari para prajurit yang meninggal di sini? Kalian datang untuk balas dendam?”

Dia menggeleng. Lewat cahaya dalam ruangan ini perangai pria itu semakin jelas tergambar. “Little earth, I’d say.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!