Aku penyuka keindahan. Punya hobi menganalisis sebuah objek, makanya aku mendapat tugas sebagai teknisi laboratorium. Namun, kesukaanku tidak serta-merta berjibaku dengan benda mati. Nyatanya, yang hidup lebih memuaskanku.
Contohnya, satu kehidupan yang berdiri tegak di sisi panel surya. Akarnya pasti sekuat ribuan panglima perang, membentuknya menjadi sesuatu yang kokoh dan anggun. Lihat saja kaki-kakinya, jenjang dan elok dikagumi. Wajar bagiku untuk menyukai sesuatu yang panjang karena secara keseluruhan itu tinggi yang sempurna bagiku.
Tak tertinggal lekukan yang tercipta sampai ke atas. Belum pernah kutemui bentuk yang seperti itu selama hidupku. Memang pengalamanku masih sedikit. Tempat mainku tidak jauh-jauh, hanya sampai pintu gerbang panti asuhan. Meski telah banyak kulihat jenis seperti dia, tapi sungguh dia memang berbeda. Sesuai dengan apa yang pernah kukatakan dulu bahwa kedewasaan itu memikat. Bertambah tua akan memperelok segalanya.
Seperti helai-helai daun yang riuh diterpa angin, masih teguh bergantung pada tangkainya. Juga permukaan kulitnya, tak sedikit pun kerak atau rapuh. Warnanya juga sempurna. Meski di fasilitas penelitian ini percintaan itu dilarang, tapi aku tak bisa memungkiri gejolak yang selalu mengerati hatiku. Membuatku lupa daratan. Ya, aku telah jatuh cinta.
“Kenapa melihatku sampai sebegitunya?”
Keindahan itu menyadari kehadiranku. “Biasanya juga begini ‘kan.”
“Terserahlah. Aku sedang sibuk, tidak bisa melayani keinginanmu itu.”
“Hanya lima menit.”
Dia menggeleng. Tubuhnya sibuk berjalan ke sekitar, mengubah posisi panel surya secara manual. Katanya, komputer tidak mau sinkron. Entah karena apa, sehingga dia harus melakukan pekerjaan fisik itu. Aku menawarkan tenaga. Dia menolaknya mentah-mentah. Aku bingung dengan sikapnya hari ini. Alhasil, kudekati dia dan kupeluk dari belakang. Hangat merayapiku.
“Fajar!”
“Binar?”
Dia melepaskan diri dari dekapanku. “Kalau aku bilang sibuk, ya sibuk. Pergi dan urusi pekerjaanmu.”
Aku mengikutinya, berpindah ke ujung dari jajaran panel surya. Dia masih kokoh, berjuang menggerakkan panel itu sendirian. Memang kerjanya tidak seberat membawa karung beras dua puluh lima kilogram. Tapi kurasa, dia mengusir keberadaanku bukan karena sibuk. “Kamu kepikiran dengan kematian Kak Ranu?”
Dia menghentikan pekerjaannya, lalu mengangguk.
“Bukannya lebih aman kalau ada aku di sini?” Aku mendekatkan diri sekali lagi demi meraih dagunya yang terbelah dua. Dagu yang jarang dimiliki orang negeri ini. Kudekap dagu itu dia antara telunjuk dan ibu jari, mengusapnya.
“Jadi, pertemuan kita hari ini bukan untuk memenuhi kebutuhan batin semata? Ya, aku suka itu. Kali-kali begini dan lebih sering dilakukan. Rasanya akan lebih nyaman untuk suatu hubungan.”
Ibu jariku berhenti mengusap. Tanganku perlahan meninggalkan dagunya. Aku mendesah. Seakan tahu maksudku sebenarnya, dia mengusirku lagi. Kali ini disertai dorongan tangan. Aku pun menggenggam tangannya, menarik tubuhnya mendekat padaku. Kami saling memandang.
“Saat ini, orang-orang terpecah menjadi dua kubu. Kamu termasuk yang mana?”
“Aku termasuk dalam hatimu, Binar.”
“Aku serius! Aku tidak berpikir ini salah Kak Rawi. Justru sasaranku adalah Hawa karena dia yang terakhir masuk. Wajahnya yang sok polos itu pasti menyimpan kebusukan.”
“Kamu cemburu padanya?” Binar melotot, aku pun menelan ludah dan berdeham. “Jadi, kamu memilih kubu Kak Angkasa? Tapi itu berarti kamu melawan Kak Rawi. Tadi bukannya kamu bilang ini bukan salah Kak Rawi?”
“Kamu bodoh sekali, Jar!” Binar menghentakkan tangannya, membuang mukanya ke bawah. Kudengar tenggorokannya tercekat kemudian. “Fajar, bisa-bisanya kamu bergairah di saat begini.”
Aku melirik ke bawah, menuju celanaku yang tidak lagi datar. Tiba-tiba panas merembes di pipiku. Kering merayap bibirku hingga harus kubasahi berulang kali. Akhirnya, tiada kata kuucap selain deru napas yang panjang. Binar berhasil lolos dari genggaman tanganku, kembali menggeluti panel-panel surya. Punggungnya yang membelakangiku, menunjukkan pemandangan yang membuat bibir terasa makin kering. Kubasahi dengan air liur, menelan sisanya. Lagi dan lagi.
Aku sungguh gemas hingga meremas kepalan tangan berlebihan. Kudekati Binar lagi. Kali ini kucengkeram pinggangnya. Dia memutar tubuh seketika, lalu membentakku. Entahlah, aku hilang akal. Yang kurasa hanyalah panas yang mulai menjalar di sekujur tubuh. Aku tak bisa lagi menahannya. Segenap otot-ototku mengejang saat berusaha memagut bibir Binar. Namun, Binar benar-benar tidak terperdaya kali ini. Dia berjuang mati-matian menolak keberadaanku.
“Hei, apa yang sedang kalian lakukan?”
Aku dan Binar sama-sama melonjak, terkejut dengan kehadiran Argo. Aku sadar, di balik celanaku situasi masih mendebarkan, jadi aku berlindung di balik tubuh Binar. Aku menyelaraskan pikiran dan raga bahwa tidak ada sesuatu terjadi. Namun, seberapa banyak yang telah Argo lihat?
“Kalian belum menjawab pertanyaanku?”
“I-itu kami… aku se-sedang membantu Binar memasang, maksudku memperbaiki, eh, membetulkan posisi panel surya.” Aku melirik Argo yang menyelidiki dengan alis berkerut.
“Untung saja aku yang melihatnya, bayangkan jika yang lebih tua yang melihat, kalian tidak akan diberi kesempatan menjelaskan.”
“Jadi sebanyak itu?”
Tanpa sadar aku membalas begitu. Binar menghantam perutku dengan sikunya. Aku meringis.
“Ya, sebanyak itu. Tapi tenang saja, takkan kusebarkan hubungan kalian. Yang mau kusebarkan adalah berita bahwa pemimpin kita menginginkan Kak Rawi diusir dari tempat ini.”
Aku dan Binar sama-sama membelalakkan mata. “Dia terbukti bersalah?”
“Aku ragu.”
Argo tampak berpikir lama. Aku dan Binar sama-sama mengangkat bahu. Baru setelahnya dia menjelaskan informasi yang didapat langsung dari Kak Candra. Katanya, Kak Rawi akan dijebloskan ke penjara di luar sana. Skema sudah dirancang. Dia harus menerimanya.
“Aku tidak tahu harus merespons bagaimana, tapi memang bukti-bukti mengarah padanya ‘kan?”
“Aku tidak setuju! Ini pasti perbuatan Hawa.” Binar membalas secepat kilat.
“Aku ragu kalian semua benar, juga perdebatan itu. Karena aku telah menemukan sesuatu yang dapat memutar balik keadaan. Aku bisa menyelamatkan Kak Rawi atau membiarkannya, tapi aku perlu perspektif lain. Jar, karena kita seumuran, dan cara pikir kita hampir sama, aku akan mengajakmu berpikir bersama.”
“Binar tidak? ‘Kan dia hanya dua tahun lebih tua dari kita.”
Argo menggeleng. “Ini masalah kepercayaan juga. Berbeda denganmu, aku tidak menyukai Binar karena bicaranya ceplas-ceplos dan sukanya main hakim sendiri.”
Binar menghardik Argo, menghujaninya dengan kata-kata pedas.
“Lihat sendiri ‘kan, Jar. Sekarang ikut aku. Jangan buang-buang waktu!”
Argo berderap meninggalkan lokasi. Aku masih terdiam. Sejujurnya, aku tidak terlalu mengurusi, siapakah dalang di balik kematian Kak Ranu. Maksudku, semua orang pada akhirnya akan mati, dan sebelum itu terjadi kita harus memanfaatkan waktu demi kesenangan sendiri. Itulah alasan aku bersedia datang ke mari demi menikmati makanan enak yang tak kudapat sewaktu di panti asuhan. Bonusnya adalah wanita cantik, seperti Binar.
Namun, demi perjanjian persahabatan karena usia, aku rela menolong Argo. Aku mengaitkan kembali tanganku ke pinggang Binar, berbisik di telinganya bahwa urusan saat ini masih belum selesai. Sebelum Binar sempat mengutarakan penolakan atau keluh-kesahnya, aku mengunci bibirnya dengan kecupan.
Aku pun langsung mengikuti jejak Argo, turun melewati pos Keanu. Argo menghilang begitu cepat. Aku tidak bisa menentukan ke arah mana dia pergi. Lalu, kudengar sebuah siulan dari arah belakang. Argo berdiri di ambang pintu.
“Katanya mau bicara soal rahasia. Kenapa masuk pos orang?” bisikku.
“Kak Keanu sedang tidak ada di tempat, dan lagi ini bakalan cepat. Makanya, segeralah masuk.”
Argo menutup pintu begitu aku masuk. Dia mengambil sesuatu dari kantongnya, mengangkatnya ke depan mataku. Jantungku langsung merosot.
“I-itu… makanan energi ‘kan? Dari mana kamu mendapatkannya? Memangnya di sini pun mereka makan ini?”
Argo menggeleng. Lalu, mengambil sesuatu yang lain dari kantongnya. Sepotong plastik biru. “Aku menemukannya bersama dengan ini. Aku takut, Jar, kalau memang ada orang luar masuk ke sini dan membunuh Kak Ranu. Kamu baca tidak, log tentang kerusuhan delapan tahun lalu? Sekelompok orang bersenjata, militer pemerintahan, menyerang fasilitas ini hingga memakan separuh anggotanya. Bagaimana kalau itu terjadi lagi?”
Rahangku jatuh. Tidak bisa berpikir dan berkata-kata. Aku menggelengkan kepala, menempelkan kedua telapak tanganku ke pelipis. Mencegah akal sehatku turut hilang. Lalu, aku berkata, “harusnya aku yang takut, Go. Kamu ‘kan petugas keamanan.”
“Memang, tapi tanpa Kak Rawi, aku tidak punya keberanian. Aku itu aslinya orang aneh yang suka menggambar saja. Kamu pernah kuperlihatkan ‘kan, lemari penyimpanan senjata? Aku belum pernah menyentuh satu pun isi di dalamnya.”
Aku membelalak. “Berarti waktu itu kamu berbohong. Katanya kamu sudah menjajal semuanya, dan saat aku mau pegang, kamu bilang baru selesai dibersihkan.”
Argo mendaratkan tangannya ke bahuku. “Lupakan saat itu, Jar. Saat ini tolong bantu aku memutuskan karena sebenarnya aku sudah berjanji untuk memihak Kak Angkasa. Aku tidak bisa menunjukkan bukti ini pada mereka.”
Aku menepuk dahi, mengerti ke mana arah pembicaraan ini pergi. “Baiklah, biar aku saja yang menunjukkan bukti ini. Kalau benar orang pemerintahan datang lagi, kita perlu orang seperti Kak Rawi. Meski cambang dan kumisnya sudah dicukur, tak mungkin perangai sangarnya terbabat juga. Kamu hanya perlu mendikteku, kata-kata apa yang harus kusampaikan nantinya.”
Argo mengangguk, dan aku pun mulai menghapal seluruh ucapannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments