LOG 6 - NAURA

Perasaan apakah ini? Sesuatu yang tidak pasti, di antara ketidakpercayaan dan kegagalan. Sudah menjadi tugasku untuk mengecek kondisi setiap orang dan kebutuhan mereka. Namun, hari ini aku telah melanggar komitmen yang dulu kuutarakan pada pendahuluku.

Aku berjanji untuk memetakan posisi setiap orang, mengumpulkan laporan harian mereka agar tiada lagi yang luput hingga menyebabkan kekacauan. Aku sudah bersumpah, tetapi sama sepertinya, aku juga mengacaukan situasi di fasilitas penelitian ini. Bisa-bisanya aku tidak menelepon Ranu kemarin.

Naura, apa yang kau pikirkan?

Aku mengacak-acak rambutku. Sehabis dari pemakaman Ranu, aku langsung mengurung diri di ruang kerjaku sama seperti hari-hari biasanya. Aku segera menghidupkan komputer, mengetik cepat laporanku hari ini. Namun, tabel dalam layar komputer ini membuatku galau. Ia menatapku balik, menampangkan isi laporanku kemarin. Di dalamnya tertera deretan tanda centang yang kumaksudkan sebagai kehadiran para staff.

Deretan itu terisi penuh. Tiada kolom kosong yang seharusnya di sana. Aku menggaruk kulit kepalaku. Seketika terngiang pada ingatan pagi hari ketika aku sedang berkeliling seperti biasa. Pertama-tama, aku menuju laboratorium, menemukan Guntur, Pelangi, dan Keanu. Orang-orang laboratorium yang lain dikatakan masih tidur sehingga aku menuju bangsal tidur, memastikan semua ada di sana.

Begitu turun, Keanu bergabung denganku hendak pergi ke stasiunnya. Karena Keanu tugasnya mengurusi komunikasi, listrik, dan komputer, maka dia bisa ditemukan di mana saja. Namun, seringnya dia hampir sepertiku, suka duduk di depan layar lebar yang menyala hanya untuk dibiarkan dan ditinggal bermain ponsel.

Pos Keanu berjarak beberapa meter dari pemakaman, berdekatan dengan pos Hawa. Jadi, begitu berpisah dengan Keanu, aku langsung mengunjungi Hawa. Kemudian, aku menyusuri hutan pohon karet menuju ladang palawija. Aku baru sadar aku belum mencatatnya. Ladang palawija itu benar-benar bencana. Semua tanaman menguning dan membusuk. Barangkali serum tanahnya tidak cocok dengan hujan yang cukup lebat akhir-akhir ini. Aku akan menyampaikannya pada Mega nanti agar dia melakukan rotasi tanaman.

Ah, benar juga. Sesudah dari ladang palawija, aku mendapat pesan masuk dari Ranu. Aku mengambil ponselku, melihat riwayat pesan masuk. Ranu mengirim kabar pukul delapan lebih dua puluh satu. Ya, karena inilah aku mencentang kolom kehadirannya.

Aku mengangguk-angguk. Termangu sambil menaik-turunkan layar ponsel mencari informasi lain tentang hariku kemarin. Aku seperti dicambuk begitu membaca ulang pesan dari Ranu. Tidak ada kata-kata yang berbeda di dalamnya. Justru waktu pengiriman itu yang mengejutkanku. Aku segera berlari keluar, berteriak-teriak memanggil semuanya berkumpul.

Ruanganku dekat dengan lobi. Aula yang luas ini sepi manusia. Akhirnya, aku putuskan mencari orang-orang laboratorium. Aku berlari di sepanjang koridor yang bersanding dengan jendela. Pintu-pintu yang terdapat di sepanjang koridor kubuka. Tetap tidak ada orang. Aku kembali ke lobi, memutar pandanganku ke sekitar, dan berakhir pada jam analog yang terpasang pada dinding di atas tangga.

Aku menepuk dahi setelah mensinkronisasikan waktu yang tertera pada jam dengan suasana di luar. Ini saatnya sarapan. Apa semalaman kuhabiskan dengan melamun?

Ruang makan terletak di lantai dua, berseberangan dengan bangsal tidur. Hampir semua orang sudah di kursinya masing-masing. Meja juga telah terisi berbagai macam masakan. Aku berjalan ke sudut meja. Merebahkan tubuhku yang rasanya seperti karung berisi beras.

“Selamat pagi, Manajer! Aku boleh melapor?”

Kusatukan kedua telapak tanganku, meletakkannya ke atas meja, bertumpu pada siku. Dari balik persatuan ini, kudapati Bara tengah melebarkan senyum sambil menggenggam spatula. Aku mendesah dalam hati, membawa kepalaku tunduk.

“Ra-ranu?”

Aku kembali menengadahkan wajah, menemukan senyum di wajah Bara menjelma menjadi mulut yang menganga. Ranu, katanya. Kulirik yang lain, dan mereka juga menunjukkan ekspresi serupa. Aku terdiam. Tiba-tiba teringat sebuah cerita ketika aku masih di panti asuhan. Saat itu kami berduka karena kehilangan seorang keluarga―anak panti lain yang usianya lebih muda dariku.

Beberapa hari sesudah kematiannya, anak-anak panti digegerkan dengan kehadiran sosok yang mirip dengannya. Mereka bilang itu hantu. Ketika kabar sampai pada ibu panti, dia menenangkan kami bahwa itu hanya arwah teman kami yang rindu ingin bertemu. Kami yang awalnya ketakutan justru ketagihan ingin melihatnya karena kami merasa kasihan padanya.

Kudengar bunyi sepatu berderap di belakangku. Kulihat lagi ekspresi mereka. Rahang yang jatuh dan mata membelalak. Ranu, katanya?

Aku menoleh, sama terkejutnya dengan yang lain. Ranu telah kembali!

“Kalian senang melihatku begini atau justru merasa bersalah?” Sosok itu berhenti, lalu melajukan jemarinya ke sepanjang rahang. “Aku sengaja mencukur cambang, jenggot, dan kumisku agar kalian ingat siapa orang yang telah kalian bunuh itu.”

Napasku tercekat. Mataku nanar. Ternyata dia adalah Rawi. Aku hampir tidak ingat kalau Ranu memiliki kembaran. Mereka identik, jadi tidak mengherankan kalau wajahnya persis.

“Wi, Mas tahu kamu sangat kesal dan dipenuhi amarah akibat kematian Ranu, tetapi jangan asal tuduh begitu. Kita belum tahu kejadian pastinya. Sampai saat pelaku itu ditemukan, Mas mohon kontrol dirimu.” Air muka Guntur tegas ketika dia mengatakan pendapatnya.

Rawi hanya tersenyum kecil, lalu menarik kursi, duduk, dan tidak berkata apa-apa lagi. Kalau dilihat-lihat, meskipun kembar identik, nyatanya keduanya punya fitur wajah yang sedikit berbeda. Sama seperti kembar identik umumnya, yang satu bisa jadi punya wajah bundar sedangkan satunya tirus, atau yang satu kelihatan tampak lebih tegas sementara satunya kalem. Di balik cambang dan kumisnya selama ini, aura Rawi ternyata lebih lembut dari Ranu. Tulang pipinya tidak setegas Ranu, dan ujung rahangnya tidak menonjol seperti Ranu.

“Oh ya, aku mau mengatakan sesuatu tadi.” Aku berkata sambil memandangi Rawi, tetapi dia malah sibuk dengan tepian meja. Jadi, kualihkan pandang pada Candra. “Can, kemarin lusa ketika kamu menemukan Ranu, pukul berapakah itu?”

Candra juga baru saja tiba. Dia mengekori Rawi dengan mata seperti lampu sorot yang digunakan di penjara. Berpindah dari titik ke titik pada tubuh Rawi tanpa berkurang kadar ketajamannya. Dia memilih duduk di sudut terjauh.

“Masih pagi, sekitar pukul tujuh. Aku sedang mengumpulkan bluberi untuk bahan obat. Saat melewati semak rasberi, aku seperti melihat ada jari-jari manusia. Begitu kudekati…” Bibir Candra berakhir komat-kamit tanpa suara.

“Nah, di situlah masalahnya. Kemarin, setelah pemakaman Ranu, dalam perjalanan pulang kudengar ada yang menyalahkanku. Sekarang kuberi tahu kalian bahwa Ranu melaporkan situasinya padaku pada pukul delapan lebih dua puluh satu menit. Aku masih menyimpan pesannya.”

Semua mata tertuju padaku. Guntur buru-buru membalas, “kapan itu?”

“Aku mau bertanya dulu pada Gemintang kapan tepatnya Ranu meninggal.” Aku melongokkan kepala ke koridor untuk mencari sosok dokter itu.

“Tak perlu kamu cari. Kak Ranu meninggal dua hari lalu pukul enam pagi.”

“Tunggu dulu! Katamu, pesannya dikirim pukul setengah sembilan di hari yang sama, Ra?”

Aku mengangguk pada Guntur. Wajahnya langsung memucat seperti diterkam teror yang menakutkan. Kulabuhkan kembali tatapanku pada Rawi. Dia tidak lagi berjibaku dengan tepian meja, tetapi matanya terlihat kosong, menerawangi sel-sel dalam udara.

“That’s what you call a premeditated murder. Terencana dan telah dipikirkan masak-masak.” Angkasa muncul dengan handuk kecil melingkari lehernya. Kaus biru mudanya kuyup pada bagian ketiak dan sebagian dada. “Sebuah pembunuhan berencana dilakukan karena pelaku mengenal korban. Like Rawi said, pelakunya ada di antara kita. Tapi, siapa ya?”

Sebuah gebrakan pada meja membuatku melonjak di kursi. Suara itu berasal dari tangan Rawi. “Kalau kamu seperti ini terus, Mas, aku jadi curiga jangan-jangan itu kamu ya? Pembunuhan berencana dilakukan tanpa menunggu kesempatan. Kamu membuat korbannya jatuh dalam perangkap, lalu rencanamu mulai berjalan. Kamu menunggu Ranu di semak rasberi yang tidak terekam kamera CCTV?”

“Lihat siapa yang bicara? Kamu seperti sudah paham jalan pikirnya si pelaku, Wi. Seperti di luar kepala.” Angkasa menuding pelipisnya dengan telunjuk.

“Aku berkata begini karena aku mempelajarinya sedikit.”

“Tentu, kamu bisa berkilah. Tapi tahu tidak, kalau kamu itu sedang mengarahkan pistol ke kepalamu sendiri. Di sini siapa yang bertugas mengurusi masalah keamanan? Kamu, Rawi. Dan setelah mendengar cerita dari dokter kita, pelakunya kemungkinan besar laki-laki. Dan setelah mendengar penuturan Hawa, katanya kamu juga terluka di sini ‘kan? Luka tusukan katanya.” Angkasa menuding perut sebelah kirinya.

Rawi tertawa kecil. “Aku tidak percaya kalian memakan informasi mentah dari Hawa. Asal kalian tahu, kemarin lusa aku tergelincir dari Solari. Ada batu tajam mencuat. Aku jatuh tepat di atasnya. Lagipula, kenapa kalian bisa menuduhku begini? Kalian tidak memahami perasaanku?”

Suasana hening, kecuali bunyi peralatan masak yang dipegang Bara. Dia telah menyelesaikan sajian terakhir. Aku mengambil napas, pada akhirnya memecah kesunyian, “Kamu yang menuduh kami dulu, Wi. Menurutmu, kami tidak punya perasaan. Pikirmu kami predator yang membunuh seenaknya. Demi apa? Kalaupun memang ada orang pemerintahan, lalu bagaimana sistem keamanan yang kamu rancang itu? Tidak bekerja bukan?”

Suara tepuk tangan mengakhiri kalimatku. Angkasa memuji-mujiku karena kejelianku.

“Ya, itu yang kumaksud, Ra. Dari kemarin aku mau menegaskan itu. Dia berhasil merancang robot pemusnah dan mengeliminasi para penyusup. Di manakah mereka, robot dalam wujud hewan buas itu?”

Gebrakan meja terdengar lagi. Seluruh lengan Rawi tampak tegang, menjalar hingga ke sekujur mukanya yang kini berubah merah. Rawi bangkit berdiri, menyingkirkan kursinya dengan kasar. Dia berjalan menuju Angkasa.

Kupikir tadinya Rawi ingin adu kekuatan lagi dengan Angkasa, tetapi dia hanya menyeruduk bahu Angkasa, dan memberinya tatapan menusuk.

“Ini bukan salahku!” Rawi berderap meninggalkan ruang makan.

Aku bertemu pandang dengan Angkasa. Tidak ada raut wajah memerah di sana. Dia hanya menanggapi dengan senyum meledek, lalu mengambil kursinya. Aku terus mengamati gerak-gerik Angkasa, berharap menemukan sesuatu.

Terpopuler

Comments

Lyle Rivulet

Lyle Rivulet

Halo, dear Pembaca yg sudah berkenan mampir. Thorlyle minta maaf banget krn ternyata ada kalimat monolog yg harusnya ditulis miring justru masih berdiri tegak 😓
Thorlyle baru tahu, copy-paste aja nggak cukup.. Jadi, maaf sekali klo pengalaman membacanya tdk maksimal. Thorlyle akan perbaiki lg di kemudian hari 🙏🏻

2023-08-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!