Dugaanku Ranu sengaja dibunuh atau tidak sengaja terbunuh. Ada beberapa orang yang punya refleks tubuh cepat dalam menghadapi situasi. Dia mungkin tengah dalam kondisi panik, lalu Ranu muncul di belakangnya, mengejutkannya. Dia pasti menghadapi situasi mencekam sampai-sampai membawa pisau di tangan. Begitu Ranu muncul, mungkin menepuknya, orang ini berbalik dan menancapkan pisau. Tahu bahwa Ranu tergeletak bersimbah darah, dia langsung menghapus jejak. Tapi, siapakah dia?
Menurut lokasi penemuan, sesuai yang dikatakan Candra, tubuh Ranu berada di antara semak rasberi yang lebat. Namun, bercak darah ditemukan di tempat lain masih dalam lokasi yang sama. Sidik jari tidak bisa melekat di kain. Pegangan pisau yang bisa mengurung sidik jari itu telah dihanguskan oleh si pelaku. Cara lain adalah mengambil DNA dari darah atau rambut. Sayangnya, itu pun tidak ditemukan. Kemungkinan pelakunya menggunakan sarung tangan saat memindahkan jasad Ranu, lalu membersihkan tubuh Ranu dari jejaknya sebelum pergi.
Berarti pelakunya tahu ada orang lain di lereng gunung Merbabu ini, dan kemungkinannya ada dua, yakni orang pemerintahan dan orang dalam. Mungkinkah ada pengkhianat?
“Apa yang membuatmu larut dalam lamunan, Mbak?”
Aku terhenyak. Rawi memasuki ruangan dengan tatapan yang tidak lagi menghindar. Matanya terpaut pada kain putih yang menyelimuti Ranu. Aku, yang sedari tadi duduk di tepi pembaringan Ranu, menyuruh Rawi mendekat. “Kamu sudah siap?”
Rawi mengangguk. Aku mendorong kursi ke belakang dengan kakiku untuk memberiku ruang saat berdiri. Kutarik kain itu hingga ke bagian dada. Luka yang tertoreh pada leher Ranu telah kujahit dengan empat jahitan. Tidak ada lagi darah mengucur kecuali warna biru yang terbenam di sekitar jahitan itu.
Aku menoleh pada Rawi yang mengusap wajahnya berulang kali. Ada isak tangis tertahan. Ketika tangannya turun dan mendarat di kedua bahu Ranu, kulihat betapa hebat getarannya.
“Maafkan aku, Ranu. Aku tidak bisa menjagamu. Tapi aku berjanji akan kutemukan pelakunya untukmu.”
Sekuat-kuatnya Rawi, dia tak sanggup membendung air mata. Dipeluknya tubuh Ranu dan diusapnya pipi adik kembarnya yang licin. Sesaat kulihat senyumnya merekah.
“Andaikan kamu menumbuhkan cambang dan kumis sampai setebal aku, takkan ada yang berani mendekatimu, Nu. Aslinya wajahmu lebih garang dariku.”
Sesudah itu, Rawi menutupkan kain putih itu kembali. Aku tahu hatinya pasti remuk redam. Jika ikatan antara saudara kandung saja bisa kuat, bagaimana dengan saudara kembar? Justru ini yang membuatku keheranan sebab yang lain mengatakan Rawi kemungkinan pelakunya.
Seharusnya aku tidak boleh bertanya begini, tetapi rasa ingin tahu menggelitik. “Rawi, kamu tahu bukan kalau jasad Ranu ditemukan di semak rasberi? Kamu pasti juga tahu lokasi semak itu yang terluar dari fasilitas ini. Berada dekat dengan hutan. Kalau begitu, kamu pasti juga tahu siapa yang biasa berada di sana.”
“Kamu meminta pendapatku atau sedang menuduhku, Mbak?”
“Meminta pendapatmu tentunya. Kita harus berbagi informasi biar tidak ada kesimpulan yang melenceng.”
Rawi meletakkan kedua tangannya di tepi pembaringan Ranu. “Yang biasa berkeliaran di daerah itu terutama adalah Mega, soalnya dia mengurusi semua tanaman. Lalu, ada Embun yang mungkin lewat daerah semak rasberi untuk bisa ke menara luar. Ada juga Naura, Argo, Ranu sendiri, dan aku. Kamu juga kadang sampai ke wilayah itu ‘kan, Mbak?”
Aku mengangguk begitu Rawi menyorotkan matanya padaku saat mengatakan kalimat terakhir. Ya, aku memang terkadang bisa sampai ke daerah hutan untuk mengurusi sumber air dan pemetaannya. “Tapi yang paling berkemungkinan adalah Argo dan kamu, Rawi.”
“Heh? Jadi, kamu benar mencurigaiku, Mbak Gem.”
“Mana mungkin orang sereligius Mega bisa membunuh Ranu. Saat menyembelih ayam pun, Mega tidak mau mendekat. Sedangkan Naura, yang dipikirkan anak itu cuma pekerjaannya. Sesudah mendapatkan laporan dari setiap orang, dia akan mengurung diri di ruang kerjanya.”
“Tunggu dulu. Sebenarnya kapan waktu kematian Ranu?”
“Kemarin, pukul enam pagi.”
Rawi menudingkan telunjuknya padaku. “Ya, tepat di sana. Aku pun tahu bagaimana Naura bekerja. Dia mau menuntaskan laporan personalia seawal mungkin agar bisa fokus mengurusi masalah lain fasilitas penelitian ini. Itu sebabnya dia mengurung diri di ruang kerjanya, berjam-jam memantau komputer. Dia akan keluar saat dipanggil saja. Di sini pun kamu sudah mulai bisa melihat, Mbak, kenapa kemarin Naura tidak woro-woro kalau Ranu tidak ada kabar? Meski Ranu biasa melapor sendiri walau telat, aku tahu Naura pasti menghubunginya lebih dulu untuk menuntaskan tugas pertamanya.
“Sekarang kutanya padamu, kapan Naura mulai bekerja?”
Bibirku bergeming karena perkataan Rawi ada benarnya. Padahal tadinya aku yakin pelakunya adalah laki-laki, karena hanya kekuatan laki-laki yang bisa membuat pisau sepanjang delapan sentimeter menghunus seluruhnya hingga pangkalnya terbenam sedikit dalam kulit Ranu.
“Mbak, kapan Naura mulai bekerja?”
“Eh, itu… pukul delapan pagi.”
“Terima kasih. Sekarang ayo kita kuburkan Ranu.”
Rawi melangkah keluar ruangan. Aku kembali duduk, kakiku lemas membayangkan jika pelakunya bukan laki-laki. Namun, aku tidak percaya jika pelakunya perempuan, kecuali ada konspirasi di sini. Yang membuatku heran, mengapa korbannya adalah seorang pasifis?
“Ah, harusnya aku mengambil sekolah psikologi saja!” Aku mengacak-acak rambutku. Rambut yang sudah ikal sekarang terasa makin mengembang.
“Kamu butuh seorang psikolog?”
Aku menoleh ke arah pintu, mendapati Bara menyembulkan kepalanya. “Bara, apa yang kamu butuhkan?”
“Kata Rawi, kita siap menguburkan Ranu. Makanya kami datang.”
Di belakang Bara, ada Candra, Guntur, dan Argo. Mereka masuk berurutan. Aku mengamati wajah mereka bergantian, khususnya pada Argo.
“Masih mencoba menelaah ekspresi kami?”
“Cukup, Bara. Aku menyerah. Jadi, kalian yang akan membantuku membawa jenasah Ranu? Sudah selesai pembuatan liang lahatnya?”
“Ya, benar untuk keduanya. Saranku, Gem, kalau kamu pusing, pergi saja ke perpustakaan. Di sana ‘kan banyak buku-buku. Barangkali kamu temukan jawabannya di sana.”
Aku menepuk dahiku. “Kamu benar! Ngomong-ngomong, apa sudah ada yang memberitahu Pak Jagat soal meninggalnya Ranu?”
“Memangnya ada ya dari kita yang berkomunikasi dengan Pak Tua itu?” Guntur membalas.
“Sekarang pilihannya, kamu mau menemui Pak Jagat atau mau ikut upacara penguburan Ranu, Gem?”
“Aku akan ikut upacaranya.”
Bara mengangguk, memberi kode pada yang lain untuk mengikutinya keluar. Tak berselang mereka masuk membawa peti mati yang baru selesai dibuat. Tidak megah seperti peti mati yang ada di kota-kota di luaran sana. Setidaknya layak untuk Ranu.
Aku menyingkirkan kursi putarku, berdiri di pinggiran sementara mereka menyibakkan kain penutup dan memakaikan setelan jas terbaik untuk Ranu. Mereka juga memakaikan sepatu pantofel yang sudah disemir sampai mengkilat. Juga menyisir rambut Ranu, memoleskan sedikit make-up, dan menyemprotkan wewangian di sekujur tubuh Ranu. Setelah siap, tubuh Ranu dipindahkan ke dalam peti yang sudah diberi alas kasur tipis warna putih. Penutup peti pun ditutup.
“Kita siap, Gem.”
Aku mengangguk. Keempat laki-laki itu berdiri di setiap sudut peti, mengangkat penyangganya, dan mulai berjalan. Aku mengekor di belakang mereka. Ketika hampir mencapai lobi, kudengar ada teriakan-teriakan yang heboh. Ternyata ada pertikaian suara antara Rawi dan Angkasa.
“Like I told ya all, Rawi ini pasti menjual informasi pada pemerintah. Dan mungkin juga, kejadian dulu juga hasil bocoran mulut Rawi. Kalian lihat tampangnya! Sudah mirip *******.”
“Sumpal mulutmu itu, Mas! Dari tadi bicara diulang melulu.”
“Soalnya aku benar, dan orang-orang ini perlu diyakinkan.”
“Dasar kaset rusak!”
“Mending jadi kaset rusak, daripada kamu pikirannya yang rusak. Tuh ‘kan kembaranmu jadi korbannya.”
Rawi melesat menuju Angkasa dengan tangan terkepal menghantam wajah. Angkasa mundur beberapa langkah. Semua yang melihat itu membuka mulut dan membelalakkan mata. Seperti tersulut, tangan Angkasa ikut terkepal. Dia mengambil kuda-kuda, mempersiapkan serangan ke wajah Rawi. Kedua laki-laki itu sama tingginya dan sama kuatnya. Kalau perkelahian terjadi, hanya tinggal mengandalkan stamina siapa yang lebih bertahan lama. Namun, mana mungkin kubiarkan terjadi.
Aku berlari, beberapa orang turut melerai. Aku membuka mulut, hendak menyuruh mereka berhenti. Namun, suara menggelegar lebih dulu menyihir suasana dalam kebisuan.
“Diam! Sudah berapa kali kubilang kita sedang berduka, jangan ada debat!”
Usai Guntur berkata, rombongan pembawa peti melangkah maju. Semua orang mulai mengikuti dalam kesunyian. Kami berjalan ke utara, naik beberapa meter ke arah puncak Merbabu. Di tanah lapang itu ada pagar yang membentuk persegi panjang yang mana di dalamnya berjajar nisan-nisan para pendahulu kami.
Bara memandu kami menuju lubang di paling pojok kiri, meletakkan peti mati di samping lubang. Tanah yang sehabis diguyur hujan menjadi becek dan berlumpur, tetapi setidaknya alam berbaik hati menghentikan hujan sehingga upacara pemakaman dapat dilangsungkan. Sesudah peti masuk ke dalam tanah, dan papan nisan diletakkan, kami kembali ke gedung utama, kecuali Rawi yang memilih tinggal, berlutut di samping makam adik kembarnya.
Dalam perjalanan pulang, Angkasa menyikutkan sikunya padaku. “Hei, Dok. Kuberi tahu kenapa Rawi adalah pelakunya. Kamu tadi ‘kan tidak ada di lobi. Saat itu, Hawa datang bersama Rawi. Saat Rawi masuk ke ruanganmu, Hawa berkata kalau Rawi punya luka tusukan yang masih baru di perutnya. Kira-kira kenapa ya, Dok?”
Angkasa mengedipkan mata padaku usai memberitahu informasi itu. Luka tusukan di perut. Luka tusukan di leher. Rawi yang begitu menyesal sampai detik terakhir. Apakah sesungguhnya telah terjadi perkelahian?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments