"Apa benar semua ini kamu yang melakukan?"
Sebisa mungkin Ameera mencoba tenang menatap Sean dan Vian bergantian.
Didepannya ada tablet milik Sean yang menampilkan portal suatu universitas yanh tidak lagi asing bagi Ameera.
"Tolong jawab tedang jujur, agar aku bisa membantumu" tekan Sean.
"Titiknya ada di sini Mel" kali ini Vian yang bersuara, "kamu menggunakan leptop milik Kakak bukan?."
"Dan satunya punya siapa?, kami tidka berhasil me ..."
"Aku melakukannya sendiri" cicit Ameera memotong kalimat Sean.
"Bagaimana bisa Mel?" erang Vian tidka percaya, "kamu tidak pernah belajar jadi peretes, lagi pula kenapa ada dua perangkat yang berbeda ya ..."
"Aku yang melakukannya sendiri Kak!" Dengan penuh keyakinan mengatakannya, "apa Kak Vian lupa dulu siapa temanku?, dulu dia pernah menggunakan leptop Kakak yang ada padaku dan aku menggunakan leptopmu untuk meretes."
Tidak mubgkib Ameera mengatakan jika dia juga menggunakan leptop Regan malam itu, karena dia tidak mau Regan ikut terseret dalam masalahnya.
Seharusnya malam itu dia mengunakan leptop milik Regan saja, kenapa malah menggunakan leptop yang diberikan Kakaknya yang tidak memiliki keamanan seperti milik Regan.
Dret ....
Ponsel milik Sean yang diletakkan diatas meja bergetar, menampilkan nama komandan, membuat Sean menatap Vian dan Ameera penuh keseriusan.
"Mereka sampai" ucapanya sambil berdiri, "bersikaplah seakan kita belum pertemu mengerti?"
Kepala Ameera mengangguk paham.
Dengan tergesah-gesah, Sean dan Vian keluar dari rumah Ameera.
Tangan Ameera menggengham gagang pintu dengan erat hingga buku tangannya memutih.
Penyesalan menguasai dirinya, andai saja dia tidak terpancing dengan omongan Andre malam itu. Dan kenapa Andre pula Andre malah mencari tahu siapa yang menyebarkan gosip di buletin universitas sampai-sampaj melaporkan pada polisi?.
Hidup Ameera akan semakin kacau, dan lagi-lahi karena sosok seorang Andre.
Tok tok tok ...
Ketokan dipintu membuat Ameera menghela nafas beberpaa kali sebelim memantapkan diri membuka pintu rumahnya.
Didepannya berdiri tiga orang pria berjaket kulit yang tidka dia kenal, dan dibelakang mereka ada Sean yang menatanya dengan tatapan tenang dan tersenyum segaris seakan mengingatkan dirinya agar bersikap biasa saja.
"Bisa kami bicara sebentar?" Tanya Pria yang berdiri tepat didepan Ameera.
Perlahan kepala Ameera mengangguk mengizinkan, melangkah keluar rumah dan menutup pintu dibelakangnya.
Deringan ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Cepat-cepat Ameera mebgeluarkan ponselnya, melihat nama Alaric yang muncul membuatnya mereject panggilan tersebut.
"Maaf" ucap Ameera lirih, "ada keperluan apa?" Tanya Ameera dengan senyum segaris mencoba tenang.
"Begini, kami dari ..."
Tring ....
Ponsel Ameera kembali berdenting nyaring menghentikan kalimat pria didepannya.
Kepala Ameera menunduk melihat nama Alaric kembali menuncul dolayar ponselnya, pria satu itu kenapa menelfon disaat yang tidak tepat.
"Lebih baik anda angkat dulu karena sepertinya penting" terdengar nada ketidak sukaan pria itu.
Ameera tersenyum sungkan, tersadar jika mementingkan mengetahui siapa yang menghubunginya dari pada apa yang ingin di ucapkan pria didepannya.
Dengan sopan Ameera melangkah kesamping sedikit menjauh dari mereka untuk mengangkat panggilan Alaric.
"Ada apa Al?" Tanya Ameera tidka sabaran.
Tidak ada jawaban.
"Al" panggil Ameera, "Alaric" panggilnya lagi memastikan jika Alaric disebrang.
Hanya terdengar suara bisikan mebggunakan bahasa inggris yang tidak begitu jelas, membuat kenibg Ameera mengerut.
Apa mungkin Alaric tidak sengaja menghubunginya?
"Alaric Lorenzo kalau gak ada perlu aku tutup" ancam Ameera gusar.
Tetap tidak ada jawaba.
"Al ..."
Tidak ada jawaban, namun sayup-sayup terdengar erangan dari Alaric.
"Alaric kenapa?" Ameera mulai panik, "Alaric jangan bercanda!" Bentaknya.
Situasi sedang tidak memungkinkan untuk Alaric menghubunginya, dan pria itu malah membuat Ameera khawatir dengan tidak mengatakan apapun kecuali erangan kesakitan.
"Alaric Lorenzo Romanov!" Ameera lepas kendali memanggil Alaric dengan nada marah, "jangan menghubungiku lagi" geramnya.
Ameera menutup panggilan telepon mereka dengan kesal.
Setelah Sean dan yang lainnya pergi, Ameera akan membuat perhitungan dengan Alaric. Bisa-bisanya Alaric menghubunginya seenaknya, jika memang kesakitan untuk apa menghubunginya yang jauh dari negaranya, benar-benar pria itu hanya mau mempermainkannya.
Baru saja Ameera berbalik badan, tiba-tiba dia kebingungan menatap pria didepannya yang menatap penuh curiga padanya.
Kepala Ameer langsung mencari keberadaan Sean yang ternyata menatapnya tajam, penuh selidik hampir sama seperti ketiga kenalan Sean yang tidak Ameera kenal.
"Apa pria ini yang barusan menghubungimu?."
^-^
Sakit ...
Seluruh tubuhnya serasa sakit, bahkan kepalanya berdenyut membuat Alaric sulit enggan untuk membuka mata, hanya meringis menghembuskan nafas.
"Sepertinya dia bangun lagi"
Bahasa inggris, perlahan Alaric mulai mengingat jika dia tidak sedang di Indonesia, dan kembali mengingat kenapa dia bisa berakhir dengan tubuh sakit dan sepertinya terlilit oleh tali hingga keujung talinga.
'Dia pasti kembali' batin Alaric seakan pasrah dan perlahan membuka mata.
Orang yang pertama dia lihat adalah Emma, yang berdecak seakan kesal setelah tatapan mereka bertemu beberapa detik tampa mengatakan apapun. Emma bisa membedakan dirinya dan Daf hanya dengan tatapan mata dan gerak gerik yang ditunjukkan tubuh Alaric.
Orang yang pertama kali sadar ada sosok lain dalam diri Alaric adalah Emma, dan dia yang pertama kali berkenalan dengan Daf, bahkan saat hampir setengah bulan Daf menguasai tubuh Alaric, Emma yang dapat menurunkan kewaspadaan Daf sehingga Dokter dan Enzo dapat menarik Alaric kembali menguasai tubuhnya.
Namun meski Emma pasti kegirangan jika bertemy Daf karena satu pemikiran dan hobby mereka sama, setelah Alaric kembali menguasai tubuhnya Emma pasti akan mengomel dan mengata-ngatainya lemah tidak bisa menguasai tubuhnya. Sehingga Alaric sadar satu hal, meski dia dan Emma selalu bersitegang, sang adik tetap memilih Alaric untuk berada disisinya.
'Dia pasti kegirangan bertamu dengan Daf kesayangannya, makanya Emma terlihat kesal' batin Alaric memutar bola matanya malas.
"Padahal aku sudah siap-siap mau memukul kepalamu lagi" keluh Emma lalu melempas tongkat besbol pada salah satu bawahan Daddy mereka.
Pantas saja kepala Alaric berdenyut, ternyata penyebabnya tongkat bisbol itu.
Alaric menatap tajam pada Bidi tampa mengatakan apapun yang dipahami pria itu dengan cepat melangkah membuka tali yang melilit seluruh tubuh Alaric.
Kepala Alaric masih terasa pening tetapi perlahan Alaric mencoba untuk duduk dan bersandar pada Headboard tempat tidur.
Tak ...
Ponselnya mendarat tepat dipangkuan Alaric membuatnya mendongakkan kepala menatap kesamping, ternyata Emma yang melempar ponselnya barusan.
"Masih saja Amor yang bisa membuatmu mengalahkan Daf" decak Emma.
Sebelah alis Alaric terangkat beberapa detik sebelum mengalihkan tatapan matanya pada ponsel miliknya.
Emma duduk bersila tepat didepan Alaric, terdengar pintu tertutup, sepertinya semua orang keluar dari kamar Alaric.
Tangan Alaric menscrol layar ponselnya, mencoba mengecek apa yang yang sudah Emma perbuat selama dia tertidur.
"Aku sudah menyuntikkan apa yang Regan beri tetapi saat tersadar masih Daf yang menguasaimu" Emma mencoba menjelaskan sesuatu sehingga kembali menarik perhatian Alaric. "Saat membuka ponselmu aku menemukan panggilan keluar dengan nama Amore sehingga aku menghubunginya" kali ini Emma mengambil ponsel Alaric dan membuka aplikasi kontak. "Dia memanggil namamu tetapi aku tidak bersuara karena melihat fokus Daf sepertinya terpecah ..."
"Lalu memukul kepalaku degan tongkat bisbol" tebak Alaric dengan nada datarnya.
Emma menyengir mengiyakan tebakan Alaric, "Daddy mengajarkan kita untuk menggunakan kesempatan sebaik mungkin."
Tangan Alaric terulur menyentil kening Emma, meski meringis sakit, Emma terkekeh kecil dan membaringkan tubuhnya disamping Alaric.
"Sok bisa mengendalikan Daf, nyatanya tetap saja kamu lemah dan kalah padanya."
Tidak dadap membantah apa yang diucapkan Emma, Alaric hanya diam menatap kosong kedepan.
Sebelum mereka pergi untuk meringkus para pemberontah Czarom, dengan penuh keyakinan Alaric mengatakan dapat mengendalikan Daf, nyatanya dia masih belum mampu mengendalikan Alter Egonya. Padahal sebelumnya saat dia melihat tubuh dengan darah, Alaric bisa menahan diri agar Daf tidak menguasai dirinya.
Alaric merebahkan tubuhnya dan membelakangi Emma, menatap nama Ameera sambil menimbang-nimbang mau menghubungi perempuan itu atau tidak.
^-^
Jemari tangan Regan dnegan lincah menekan setiap tombol keyboard leptopnya, kemingnya beberpaa kali mengerut dan menghela nafas sebelum berdecak dan mendorong leptopnya menjauh.
"Kenapa?" Tanya Javir yang duduk tidak jaub dari tempat Regan.
Kepala Regan menggeleng pelan, baru saja dia menemukan sesuatu yang membuatknya tidak habis pikir, namun dia tidak mau Javir dan Aslan yang beradi diruangan itu tahu, sehingga Regan hanya memilih diam dan membersihkan apa yang tertinghal dileptopnya semuanya sendiri.
"Bagaimana kabar Al?"
Dalam hati Regan bersyukur Aslan mengangakt topik tentang Alaric sehingga Javir tidak akan bertanya lebih banyak lagi tentang leptopnya.
"Bidi mengirim pesan jika Al sudah kembali" jawab Regan cepat.
"Setiap kali dia pulang, hidup serasa tidak temang" gemam Aslan.
Regan terkekeh seambil menganggukkan kepala membenarkan ucapan Aslan. Bahkan Javir menghela nafas ikut membenarkan perkataan Aslan juga.
Setiap kali bahkan dlaan setiap jam hidup mereka tidak akan tenabg setiap kali Alaric pulang kenegaranya, namun bagaimanapun mereka juga tidak memiliki hak untuk mencegah Alaric pulanh.
^-^
.
If you don't mind please leave a 👍Like and 💬Comment
Because it means a lot to me 😇 Thank you 😉 have a nice day 😄
Love You 😘
Unik Muaaa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments