Pening ...
Perutnya mulai bergejolak
Keringat dingin sebesar biji jagung mulai muncur satu persatu dikeningnya, bahkan beberapa perlahan mulai mengalir membasahi kerah bajunya.
Goncangan mobil karena melewati jalan yang berlubang membuat perasaan takut, cemas dan panik mulai menguasainya.
Setelah berapa tahun akhirnya Alaric merasakan gejala trauma yang akan muncul, padahal sudah lama dia tidak merasakannya.
Kilasan memori muncul namun hanya beberapa detik lalu kesadarannya kembali.
Pekikan dan teriakan yang hanya Alaric dengar sendiri membuat detak jantungnya semakin berdetak kencang.
Beberapa kali dia menggeleng, mengerjabkan matanya, menatap kesegala arah mencoba tenang dan tetap sadar jika dia tidak dalam mobil mengerikan beberapa tahun lalu yang mulai menguasai otaknya.
"Al are you ok? (Al kamu baik-baik saja)" Itu suara Aslan.
"Eric help! (Eric tolong)" Dan itu suara hanya Alaric sendir yang dapat mendengar.
Sial ....
Suara Javir dan Aslan yang bergantian menanyai kondisinya saling tumpang tindih dengan suara yang muncul dikepalanya.
Tidak tahan, Alaric memukul pintu disampingnya memberi isyarat untuk menghentikan mobil yang mereka tumpangi dan berlari keluar memuntahkan apapun yang bergejolak sejak tadi di perutnya.
Hanya air dan lendir yang terasa pahit keluar, perutnya kosong sejak mereka bertiga berangkat dari Jakarta.
Karena terlalu excited ingin menemui seseorang di pulau Madura ini, Alari sampai menolak untuk makan makanan yang disediakan didalam pesawat.
"Gimana?"
Alaric menghela nafas menatap Javir datar sebelum menatap lurus kedepan dengan tatapan penuh keyakinan.
Meski mereka dipulau ini karena misi dari Ara dengan mengancam bisnis mereka, Alaric memiliki tujuan lain ingin bertemu seseorang dan kejadian barusan tidak akan membuatnya gentar.
Terdengar Aslan dan Javir mulai berdebat disampingnya, semakin membuat Alaric tambah pening saja.
"Gue jalan aja" ucapnya datar menghentikan perdebatan tidak berfaedah kedua temannya, "kalian jalan duluan. Nanti nunggu di jalan yang udah ..."
"Ya udah gue jalan juga kalau gitu" potong Aslan.
Alaric melirik Aslan yang menatapnya dengan tenang dan senyum segaris membuat Alaric menghela nafas pasrah.
Tidak ada pilihan lain, jika dia memaksakan diri masuk kedalam mobil, yang ada semua akan menjadi kacau nantinya.
Kepala Alaric menatap kedua temannya bergantian yang sedang menatap kearahnya, tampa mereka mengatakan apapun, Alaric yang cukup mengenal mereka sudah tahu apa yang sekarang ada di benak mereka berdua.
Mereka pasti khawatir.
Alaric berkacak pinggang, "gue gak mau balik!" serunya dengan tegas meyakinkan kedua temannya jika dia maaib bisa melanjutkan perjalanan.
Tidak ada yang mengatakan apapun selama beberpaa detik, hingga pada akhirnya Javir menghela nafas melirik Aslan, sehingga mereka berdua saling tatapan tampa mengatakan apapun.
"Terserah" tandas Javir akhirnya pasrah berbalik badan berjalan kearah mobil.
Perlahan Alaric dan Aslan melangkahkan kaki mereka beriringan.
Keringat yang muncul di kening Alaric kali ini bukan karena gejala traumanya yang akan muncul lagi, tetapi karena terik matahari yang begitu menyengat kulit.
"Keluar dari pesawat loe ngeluh panas, ini malah jalan kaki ratusan meter" Aslan terkekeh sambil melirik Alaric.
Ya, beberapa menit lalu Alaric mengomel saat keluar dari pesawat jet yang mereka tumpangi.
Panas ....
Membuat Javir mengomelinya karena tidak ada yang meminta Alaric ikut dan Alaric malah berulangkali mengeluh panas membuat telinga Javir panas.
Lagi pula Ara dan Javir sudah melarang Alaric untuk tidak ikut, tetapi Alaric malah sudah menunggu Aslan dan Javir didalam jet pribadi milim keluarga Ganendra.
"Mana tahu gue Madura panas" Alaric mendongak dengan mata memicing.
"Mangkanya Javir ngelarang loe ikut tadi, selain panas beberapa jalan disini tuh rusak. Kalau loe ..."
"Kapan lagi gue punya kesempatan ketemu mantan pacar online gue" potong Alaric, menghentikan kalimat panjang Aslan yang pastinya akan berakhir dengan mengungkit traumanya.
Jika beberapa menit lalu wajah Alaric pucat, kali ini cerah seketika.
Bibirnya mulai terukir senyum.
"Bukannya kalian udah putus?"
Mata Alarik melirik Aslan sinis, "gak ada kata putus, yang ada dia ngilang tampa kabar."
"Ya sama aja Al."
"Beda" bantah Alaric dengan mata melotot.
Aslan yang berjalan disampingnya hanya menghela nafas, "tujuan utama kita disini mau jemput Regan" Aslan mengingatkan apa sebenarnya tujuan utama mereka.
Kepala Alaric mengangguk, "iya gue gak lupa tujuan utama kita kesini mau jemput pewaris Ganendra, Adam Regan Zeroun Ganendra." Penuh penakanan saat menyebut nama panjang temannya itu, "jangan khawatir Ar pasti ikut kita balik."
Mereka menginjakkan kaki di pulau Madura ini dengan perasaan terpaksa karena harus menyeret Regan, yang biasa mereka panggil Ar untuk pulang dengan mereka.
Semua karena ancaman Zahra Renata Ibunda Regan yang akan meminta Abraham Ganendra suaminya untuk menarik semua investasi pada bisnis yang mereka berempat bangun jika tidak menjemput Regan dan membawa anak itu pulang ke Jakarta.
Meski Ara dan Javir yang mewanti-wanti Alaric agar tidak ikut dan membuat jadwalnya jadi amburadul, Alaric tetap saja ikut dengan keingin yang cukup besar 'bertemu secara face to face' dengan pacar onlinenya yang menghilang lima tahun lalu itu.
Padahal sebelum Pacar Onlinenya itu menghilang tampa membalas chat dan mengangkat panggilan telepone atau video callnya, Alaric sudah berada di negara ini tetapi tidak bisa langsung menemuinya karena sibuk memulai menitai karir entertaimentnya dinegara ibunya ini.
"AH ... PANAS..."
Alaric kembali mengeluh entah untuk kesekian kalinya membuat Aslan tertawa ngakak.
^-^
Mata Alaric mengerjab-ngerjab menatap rumah sakit didepannya.
Setelah bertemu dengan Regan. Alaric langsung meminta antar keapotik pada teman Javir, Taufiq yang tadi menjemput mereka dibandara dengan mobil sederhana versi Alaric.
Kali ini Alaric minta diantarkan menggunakan motor. Meski dia harus menahan diri dari terik matahari yang menyengat kulit, padahal dia suda menggunakan hoodi yang cukup tebal milik Regan, tetap aja terasa menyengat dan yang ada malah semakin gerah.
"Gimana?"
Sudah hampir lima menit mereka berdiri didepan Rumah Sakit Islam Kalianget, dan Alaric masih ragu untuk melangkahkan kaki masuk kerumah sakit didepannya, Alaric hanya bisa menjawab pertanyaan Taufiq dengan helaan nafas.
Diaptotik yang mereka datangi barusan tidak menjual obat yang Alaric cari.
Karena kesenangan mengingat pacar onlinenya, Alaric sampai lupa membawa obat yang biasa dia bawa kemanapun meski traumanya sudah tidak pernah lagi kambuh beberapa tahun ini.
"Disini pulau, jadi apotik disini tidak selengkap Jakarta. Kalau di kota mungkin ada, kurang lebih dua puluh menit dari sini, tapi belum tentu seratus persen ada juga." Taufiq mencoba mengajukan solusi untuk Alaric meski Alaric tahu jika pria disampingnya itu tidak tahu untuk apa obat yang dia ingin beli di apotik tadi. "Coba aja periksa kedokter di rumah sakit itu, meski obatnya tidak sama setidaknya manfaatnya sama."
Yang dikatakan Taufiq cukup masuk akal, tetapi .... Alaric tidak ingin identitasnya dan keberadaannya dipulau Madura ini ketahuan.
Semua harus serba serbi hati-hati.
Terlebih, dia tidak mau serangan panik karena traumanya muncul, jadi viral, membuat ketiga temannya kalangkabut dan nama serta profesi mereka tersebar.
Terlebih itu rumah sakit dan pastinya ada satu hal peicu traumanya, salah satu yang harus Alaric hindari selain guncangan didalam mobil, adalah darah. Dua hal itu termasuk dalam pemicu tercepat traumanya kambuh laku blank seketika.
"Gak usah" putusnya setelah banyak penimbangan, "Regan juga dokter nanti tanya dia aja."
Pada akhirnya seperti biasa, jika mepet dia akan meminta bantuan Regan sang sahabatnya yang lulusan kedokteran.
Seakan mengerti jika Alaric sudah menimbang-nimbang untuk kebaikannya, Taufiq menganggukkan kepala paham.
Alaric kembali menatap kedepan.
Rumah sakit didepannya cukup terlihat bagus dan megah meski dipulau, bahkan ada banyak mobil yang terparkir didepannya.
Cukup maju untuk kepulauan. Pikir Alaric, Pantas saja Ar dan Je (Javir) beberapa tahun betah tinggal disini, apa lagi tampa polusi, tapi tepat aja ...
Panas ....
Matahari yang tidak lagi terhalang awan kembali membuat mata Alaric mengernyit.
Kali ini ada dua hal yang tidak Alaric sukai sejak menginjak kaki di pulau Madura ini, jalan yang bergelombang dan terik matahari yang menyengat.
Seandainya dia bukan public figur, sejak keluar pesawat dia tidak akan memakai masker dan menutup kepalanya dengan tudung hoodi jaket yang dia kenakan.
Tetap dengan menatap kearah Rumah sakit didepannya, mata Alaric tiba-tiba membola menajamkan penglihatannya.
"Pacar Online"
Seorang perempuan dari arah timur tidak jauh dari tempatnya berdiri menyebrangi jalan dengan motor yang dia kendarai memasuki area rumah sakit.
Dibalik masker yang dia kenakan, Alaric tersenyum lebar.
Menoleh kekanan dan kekiri sebelum berlari cepat menyebrangi jalan hendak menghampiri perempuan itu.
Meski hanya sekedar melihat wajahnya di foto dan melalui video call, Alaric seratus persen yakin jika wanita itu adalah pacar onlinenya yang menghilang lima tahun lalu.
Alaric tidak mengindahkan panggilan Taufiq yang memanggilnya Hei-Hei tidak berani memanggil namanya.
^-^
Wanita itu turun dari motornya, membuka helem dan menggunakan masker sambil berjalan masuk kedalam rumah sakit.
Alaric berjalan dibelakangnya, sengaja menjaga jarak.
Meski seratus persen dia yakin wanita itu pacar onlinenya yang menghilang lima tahun lalu, Alaric harus memastikan dulu sebelum dia menyapa perempuan itu bukan?.
Mereka tidak pernah bertemu face to face, hanya kurang lebih empat tahun pacaran secara online dan melakukan vodeo call ribuan kali, tetapi lima tahun lalu wanita itu susah dihubungi, Alaric tidak lagi melihat wajah perempuan itu jadi siapa tahu ada perubahan.
"Mbak Ameera mau jenguk Ibu Gana sebelum pergantian shift ya?" seorang satpam menyapa wanita itu.
Sejenak wanita itu menghentikan langkahnya untuk sekedar menyapa balik dan basa basi.
Tidak jauh dari perempuan itu berdiri, Alaric juga menghentikan langkahnya dan tersenyum semakin lebar dibalik masker yang dia kenakan.
Ameera.
Nama itu semakin menyakinkannya jika tebakannya benar.
Terlebih suara yang terdengar sayup-sayup perempuan itu membuatnya yakin seyakin yakinnya.
Perasaan membuncah dan bahagia membuatnya tidak sabar untuk mengejutkan perempuan itu.
"Deggik mon Regan nyosol(nanti kalau Regan nyusul)" ucap perempuan itu sambil melangkah pergi.
Bahas madura
Sejak tadi Alaric tidak mengerti apa yang wanita dan satpam itu bicarakan, dia hanya fokus pada suara wanita itu.
Kenapa Alaric tahu jika mereka berdua berbicara bahasa Madura?, karena terkadang Regan dan Javir memakai bahasa Madura yang tidak dia dan Aslan mengerti.
Bahkan perempuan itu juga menyebut nama Regan, yaang pastinya itu adalah Adam Regan sahabatnua.
Kembali Alaric melangkahkan kakinya mengikuti perempuan itu yang ternyata masuk kedalam suatu ruangan, dan Alaric memilih berdiri tidak jauh dari ruangan itu.
Kepala Alaric mendongak membaca papan yang tertempel di depan pintu.
'Ruang ganti Karyawan'
Dari baju yang wanita itu kenakan, Alaric tadi sudah dapat menebak jika profesi wanita itu adalah perawat di rumah sakit ini. Terlebih ada beberapa orang yang mengenakan warna baju yang sama berjalan di belakang pria berjas putih khas seorang dokter dengan map didadanya.
Krek ...
Bunyi engsel pintu yang berkarat kembali menarik perhatian Alaric.
Kaki Alaric melangkah lebar mendekati wanita yang baru saja keluar dari ruangan itu, senyumnya yang lebar dibalik masker yang dia kenakan tidak luntur sejak tadi.
"Hai pacar onlineku" sapanya dengan suara lirih tepat didekat telinga wanita didepannya yang masih berdiri membelakangi Alaric, "long time not see Amore (lama tidak bertemu Sayang)."
Sontak wanita didepannya berbalik badan dan melangkah mundur hingga punggungnya membentur pintu ruang ganti karyawan dibelakangnya cukup keras.
Bahkan mata wanita itu menatap Alaric tajam dengan mata terbelalak bulat, membuat Alaric semakin tersenyum lebar hingga memuat matanya semakin menyipit.
"Apa kabar mi amor? (Sayangku)"
^-^
.
Love You 😘
Unik Muaaa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments