Pembalasan Istri yang Haram Disentuh
🌟🌟🌟🌟🌟
Sampai rumah, Nina yang baru pulang sekolah mendapati sebuah ransel lusuh ada di depan kamarnya. Ia melayangkan salam layaknya biasa, kemudian menyalami tangan sang bapak yang terbaring lemah di kasur lantai depan kamarnya, dengan takzim.
Sebenarnya, Nina juga nyaris menyalami tangan ibu Sulastri, tapi wanita yang merupakan ibu sambungnya itu buru-buru pergi. Bukan hanya salaman tangan kanannya yang lagi-lagi ditolak. Karena sekadar meliriknya saja, ibu Sulastri seolah tidak sudi.
“Pak, aku jadi peringkat dua sesekolah. Terus aku juga mau lanjut karena aku dapat—” Nina belum selesai dengan kabar bahagia yang langsung disambut senyum semringah oleh sang bapak, tapi karena di sebelahnya, ibu Sulastri sudah marah-marah, ia terpaksa menunda ucapannya.
“Mau lanjut sekolah bagaimana, kalau buat makan apalagi biaya berobat bapakmu saja enggak ada?!” marah ibu Sulastri yang seolah akan menerka*m Nina hidup-hidup.
Nina refleks menghela napas pelan sambil menatap ibu Sulastri. “Aku dapat bantuan sekolah, Bu. Dapat beasiswa soalnya pas tadi aku bilang, aku enggak akan lanjut sekolah karena enggak ada biaya, guru di sekolah kompak mau bantu urus beasiswa. Apalagi sejauh ini aku selalu ada di peringkat tiga besar, dan alhamdullilah, sudah langsung dapat beasiswa di SMA favorit!” yakinnya antusias. Walau detik berikutnya, ia langsung menunduk lantaran ransel lusuh di depan kamarnya justru menghantam wajahnya dan itu ulah ibu Sulastri yang lagi-lagi memperlakukannya dengan keji.
Semenjak pak Sumar—bapak Nina jatuh dari pohon kelapa dan berakhir sakit-sakitan, bahkan kedua kakinya nyaris lumpuh total selama satu tahun terakhir, ibu Lastri memang jadi memusuhi Nina. Semua kesulitan yang mereka alami khususnya masalah ekonomi, membuat ibu Lastri menjadi makin ringan tangan. Ada saja alasan wanita itu marah-marah kemudian memukul-mukul Nina.
Padahal walau belum genap berusia lima belas tahun, Nina tak segan bantu-bantu pekerjaan rumah sekaligus sawah. Bahkan karena keadaan ekonomi yang makin mencekik terlebih ibu Sulastri juga tidak bekerja, justru Nina yang menjadi tulang punggung keluarga.
Dan setiap setelah pulang sekolah, Nina akan bantu-bantu tetangga di sawah, mencari keong, memulung rong*sok, membuat sapu lidi. Apa pun Nina lakoni asal jadi uang agar keluarga kecilnya masih bisa makan, syukur-syukur ada uang lebih untuk bapaknya membeli obat.
“Nanti sore kamu berangkat ke Bandung. Kerja jadi pembantu, kamu sudah dapat majikan dan Ibu sudah dapat bayaran!” tegas ibu Sulastri terdengar keji bahkan di telinganya sendiri.
Air mata Nina berlinang tanpa bisa gadis itu tahan. Bukan karena hantama*n ransel di wajahnya, tetapi ini mengenai kenyataannya yang akan jauh dari sang bapak. Jarak Cilacap selaku keberadaan desa tempat mereka tinggal, dari Bandung, Nina ketahu sangat jauh. Padahal kematian ibunya saja masih menyisakan luka mendalam, meski kejadiannya lima tahun lalu. Dan kini, Nina harus meninggalkan sang bapak yang sedang sakit parah.
“Kalau bukan kamu yang kerja, terus siapa?!” kecam ibu Sulastri kali ini sambil mendorong kepala Nina sekuat tenaga hingga anak tirinya itu berakhir terbanting ke kasur sebelah pak Sumar.
Pak Sumar yang menyaksikan itu meronta-ronta sambil menangis, tapi yang ia dapatnya justru tendangan di kaki kanannya dan itu masih oleh ibu Sulastri.
Dari kamar sebelah, terdengar tangis balita. Itu Malini, anak ibu Sulastri dengan pak Sumar yang baru berusia satu tahun. Bocah yang juga Nina rasa sebagai tanggung jawabnya karena biar bagaimanapun, Malini tetap adiknya. Bahkan meski ibu Sulastri terus memperlakukannya dengan keji, semua itu tak mampu mengubah status mereka sebagai kakak adik.
***
Hari itu, hari setelah Nina mendapat pengumuman kelulusan sekolah menengah pertamanya, tapi sorenya Nina harus ke Bandung, menjadi hari terakhir pertemuan Nina dengan sang bapak. Karena setelah empat tahun lamanya bekerja sebagai pembantu di Bandung, hari ini Nina baru bisa pulang.
Hutang ibu Sulastri kepada majikan Nina menumpuk. Membuat Nina tidak bisa pulang bahkan ketika pak Sumar meninggal, dua tahun lalu.
Ditemani Malini yang sudah besar, kini Nina tengah mendekap makam sang bapak yang jauh dari kata layak. Entah apa yang sebenarnya terjadi, padahal majikan Nina telah mentransfer banyak uang kepada ibu Lastri dan Nina sudah melihat bukti-buktinya. Nina ketiduran di makam, dan terbangun karena Malini membangunkannya.
“Ayo pulang, Mbak. Nanti dicariin ibu!” ucap Malini dan Nina langsung menyanggupi.
Nina mengusap wajahnya. Kedua matanya masih terasa sangat kaku sekaligus panas karena kesibukannya menangis. Segera ia menggandeng Malini, sudah gelap dan adzan magrib juga terdengar berkumandang. Beberapa nyamuk juga tak kalah sibuk menggigit Nina maupun Malini yang digendong.
Malamnya, Nina yang tidur lelap karena kelelahan setelah perjalanan dari Bandung ke kampung halaman, mendadak terusik. Wajah seorang pria yang ia ketahu sudah menjadi suami baru dari ibu Sulastri selama satu setengah tahun terakhir, menyapanya dengan ekspresi yang benar-benar cabu*l. Nina sudah langsung ketakutan luar biasa tapi ia tak mampu berbuat banyak lantaran tubuhnya sudah pria itu tindih. Bahkan baik tubuhnya maupun tubuh pak Surat—ayah tirinya, sudah sama-sama tak berbusana.
“B-bu!” Nina refleks berteriak, meminta tolong.
Namun selain tangan kokoh pak Surat langsung membekap mulutnya, di sebelah pintu, ibu Sulastri yang menatapnya jengkel, berangsur menutup pintu. Sejak itu juga, Nina dipaksa melaya*ni naf*su bej*ad pak Surat atas sepengetahuan ibu Sulastri.
Bukannya lemah dan tidak berinisiatif melarikan diri, tapi selama hampir dua bulan kejadian itu terus terjadi, Nina disekap di kamar. Tangan dan kaki Nina diikat, sementara mulut Nina disumpal.
Beberapa kali Nina mendengar tetangga yang menanyakan kabarnya, tapi dengan segera ibu Sulastri dan pak Surat akan mengabarkan bahwa Nina sudah kembali ke Bandung.
“Mandi yang bersih dan turuti kemauan Bapak kalau kamu enggak mau apa yang kamu alami juga dialami Malini!” marah ibu Sulastri.
Nina membiarkan tubuh kurusnya yang gemetaran didorong hingga terjatuh ke lantai di kamarnya. Di lantai berupa tanah, Nina merasa pusing sekaligus mual luar biasa. “Jangan-jangan aku hamil?” pikir Nina, ketakutan yang sudah langsung menjadi mimpi buruknya setelah apa yang ia terima dari pak Surat. Alasan yang juga membuat Nina ingin mati saja daripada hidup tapi terus diperlakukan dengan tidak manusiawi.
“Pak, Mak, kok aku jadi gini—” Jangankan lari, bersuara saja, Nina tak lagi bisa. Pandangannya pun seolah benar-benar tak berfungsi. Semuanya mendadak gelap bersama air mata Nina yang seolah mengering.
“Mak, Pak, ... tolong bawa aku. Aku takut ....”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Nendah Wenda
miris banget nasib Nina menyayat hati ini kisahnya
2024-11-15
0
himawatidewi satyawira
ya bu.sullah yng kerjo..
2024-10-19
0
himawatidewi satyawira
ternyt bu.sul pemalas ya..
2024-10-19
0