🌟🌟🌟🌟🌟
Sampai rumah, Nina yang baru pulang sekolah mendapati sebuah ransel lusuh ada di depan kamarnya. Ia melayangkan salam layaknya biasa, kemudian menyalami tangan sang bapak yang terbaring lemah di kasur lantai depan kamarnya, dengan takzim.
Sebenarnya, Nina juga nyaris menyalami tangan ibu Sulastri, tapi wanita yang merupakan ibu sambungnya itu buru-buru pergi. Bukan hanya salaman tangan kanannya yang lagi-lagi ditolak. Karena sekadar meliriknya saja, ibu Sulastri seolah tidak sudi.
“Pak, aku jadi peringkat dua sesekolah. Terus aku juga mau lanjut karena aku dapat—” Nina belum selesai dengan kabar bahagia yang langsung disambut senyum semringah oleh sang bapak, tapi karena di sebelahnya, ibu Sulastri sudah marah-marah, ia terpaksa menunda ucapannya.
“Mau lanjut sekolah bagaimana, kalau buat makan apalagi biaya berobat bapakmu saja enggak ada?!” marah ibu Sulastri yang seolah akan menerka*m Nina hidup-hidup.
Nina refleks menghela napas pelan sambil menatap ibu Sulastri. “Aku dapat bantuan sekolah, Bu. Dapat beasiswa soalnya pas tadi aku bilang, aku enggak akan lanjut sekolah karena enggak ada biaya, guru di sekolah kompak mau bantu urus beasiswa. Apalagi sejauh ini aku selalu ada di peringkat tiga besar, dan alhamdullilah, sudah langsung dapat beasiswa di SMA favorit!” yakinnya antusias. Walau detik berikutnya, ia langsung menunduk lantaran ransel lusuh di depan kamarnya justru menghantam wajahnya dan itu ulah ibu Sulastri yang lagi-lagi memperlakukannya dengan keji.
Semenjak pak Sumar—bapak Nina jatuh dari pohon kelapa dan berakhir sakit-sakitan, bahkan kedua kakinya nyaris lumpuh total selama satu tahun terakhir, ibu Lastri memang jadi memusuhi Nina. Semua kesulitan yang mereka alami khususnya masalah ekonomi, membuat ibu Lastri menjadi makin ringan tangan. Ada saja alasan wanita itu marah-marah kemudian memukul-mukul Nina.
Padahal walau belum genap berusia lima belas tahun, Nina tak segan bantu-bantu pekerjaan rumah sekaligus sawah. Bahkan karena keadaan ekonomi yang makin mencekik terlebih ibu Sulastri juga tidak bekerja, justru Nina yang menjadi tulang punggung keluarga.
Dan setiap setelah pulang sekolah, Nina akan bantu-bantu tetangga di sawah, mencari keong, memulung rong*sok, membuat sapu lidi. Apa pun Nina lakoni asal jadi uang agar keluarga kecilnya masih bisa makan, syukur-syukur ada uang lebih untuk bapaknya membeli obat.
“Nanti sore kamu berangkat ke Bandung. Kerja jadi pembantu, kamu sudah dapat majikan dan Ibu sudah dapat bayaran!” tegas ibu Sulastri terdengar keji bahkan di telinganya sendiri.
Air mata Nina berlinang tanpa bisa gadis itu tahan. Bukan karena hantama*n ransel di wajahnya, tetapi ini mengenai kenyataannya yang akan jauh dari sang bapak. Jarak Cilacap selaku keberadaan desa tempat mereka tinggal, dari Bandung, Nina ketahu sangat jauh. Padahal kematian ibunya saja masih menyisakan luka mendalam, meski kejadiannya lima tahun lalu. Dan kini, Nina harus meninggalkan sang bapak yang sedang sakit parah.
“Kalau bukan kamu yang kerja, terus siapa?!” kecam ibu Sulastri kali ini sambil mendorong kepala Nina sekuat tenaga hingga anak tirinya itu berakhir terbanting ke kasur sebelah pak Sumar.
Pak Sumar yang menyaksikan itu meronta-ronta sambil menangis, tapi yang ia dapatnya justru tendangan di kaki kanannya dan itu masih oleh ibu Sulastri.
Dari kamar sebelah, terdengar tangis balita. Itu Malini, anak ibu Sulastri dengan pak Sumar yang baru berusia satu tahun. Bocah yang juga Nina rasa sebagai tanggung jawabnya karena biar bagaimanapun, Malini tetap adiknya. Bahkan meski ibu Sulastri terus memperlakukannya dengan keji, semua itu tak mampu mengubah status mereka sebagai kakak adik.
***
Hari itu, hari setelah Nina mendapat pengumuman kelulusan sekolah menengah pertamanya, tapi sorenya Nina harus ke Bandung, menjadi hari terakhir pertemuan Nina dengan sang bapak. Karena setelah empat tahun lamanya bekerja sebagai pembantu di Bandung, hari ini Nina baru bisa pulang.
Hutang ibu Sulastri kepada majikan Nina menumpuk. Membuat Nina tidak bisa pulang bahkan ketika pak Sumar meninggal, dua tahun lalu.
Ditemani Malini yang sudah besar, kini Nina tengah mendekap makam sang bapak yang jauh dari kata layak. Entah apa yang sebenarnya terjadi, padahal majikan Nina telah mentransfer banyak uang kepada ibu Lastri dan Nina sudah melihat bukti-buktinya. Nina ketiduran di makam, dan terbangun karena Malini membangunkannya.
“Ayo pulang, Mbak. Nanti dicariin ibu!” ucap Malini dan Nina langsung menyanggupi.
Nina mengusap wajahnya. Kedua matanya masih terasa sangat kaku sekaligus panas karena kesibukannya menangis. Segera ia menggandeng Malini, sudah gelap dan adzan magrib juga terdengar berkumandang. Beberapa nyamuk juga tak kalah sibuk menggigit Nina maupun Malini yang digendong.
Malamnya, Nina yang tidur lelap karena kelelahan setelah perjalanan dari Bandung ke kampung halaman, mendadak terusik. Wajah seorang pria yang ia ketahu sudah menjadi suami baru dari ibu Sulastri selama satu setengah tahun terakhir, menyapanya dengan ekspresi yang benar-benar cabu*l. Nina sudah langsung ketakutan luar biasa tapi ia tak mampu berbuat banyak lantaran tubuhnya sudah pria itu tindih. Bahkan baik tubuhnya maupun tubuh pak Surat—ayah tirinya, sudah sama-sama tak berbusana.
“B-bu!” Nina refleks berteriak, meminta tolong.
Namun selain tangan kokoh pak Surat langsung membekap mulutnya, di sebelah pintu, ibu Sulastri yang menatapnya jengkel, berangsur menutup pintu. Sejak itu juga, Nina dipaksa melaya*ni naf*su bej*ad pak Surat atas sepengetahuan ibu Sulastri.
Bukannya lemah dan tidak berinisiatif melarikan diri, tapi selama hampir dua bulan kejadian itu terus terjadi, Nina disekap di kamar. Tangan dan kaki Nina diikat, sementara mulut Nina disumpal.
Beberapa kali Nina mendengar tetangga yang menanyakan kabarnya, tapi dengan segera ibu Sulastri dan pak Surat akan mengabarkan bahwa Nina sudah kembali ke Bandung.
“Mandi yang bersih dan turuti kemauan Bapak kalau kamu enggak mau apa yang kamu alami juga dialami Malini!” marah ibu Sulastri.
Nina membiarkan tubuh kurusnya yang gemetaran didorong hingga terjatuh ke lantai di kamarnya. Di lantai berupa tanah, Nina merasa pusing sekaligus mual luar biasa. “Jangan-jangan aku hamil?” pikir Nina, ketakutan yang sudah langsung menjadi mimpi buruknya setelah apa yang ia terima dari pak Surat. Alasan yang juga membuat Nina ingin mati saja daripada hidup tapi terus diperlakukan dengan tidak manusiawi.
“Pak, Mak, kok aku jadi gini—” Jangankan lari, bersuara saja, Nina tak lagi bisa. Pandangannya pun seolah benar-benar tak berfungsi. Semuanya mendadak gelap bersama air mata Nina yang seolah mengering.
“Mak, Pak, ... tolong bawa aku. Aku takut ....”
“Saya terima nikah dan kawinnya, Nina Nurlaila binti Sumar Atmaja dengan mas kawin—”
Sayup-sayup, Nina mendengar suara seorang pria yang begitu asing di telinganya, tapi menyebut namanya maupun nama alm. sang bapak, layaknya sebuah kalimat untuk sebuah ijab kabul.
Nina benar-benar baru bangun. Kepalanya masih terasa sangat berat, pusing. Langit-langit ruangan terbilang mewah di atasnya dan jelas itu bukan suasana kamarnya, seolah berputar-putar. Entah karena dunia yang mendadak berputar, atau Nina yang memang vertigo akut.
Hal terakhir yang Nina ingat, ia pingsan ketika diminta untuk mandi oleh ibu Sulastri. Kemudian ia dibangunkan paksa karena Nina sadar wajahnya sampai diguyur. Nina diberi minum dan juga sebuah obat yang dijejalkan oleh ibu Sulastri. Saat itu Nina nyaris memuntahkan air minum maupun obatnya. Namun dengan cekatan ibu Sulastri mencubit kuat hidung Nina hingga apa yang awalnya akan Nina muntahkan menjadi tertelan kembali. Di tengah keadaan setengah sadar itu, Nina menco mengambil apa pun untuk memukul ibu tirinya yang begitu keji. Ia mendapatkan gelas yang tadi sempat wanita itu gunakan untuknya minum. Ia lemparkan gelas itu ke kepala sang ibu, tapi ibu Sulastri dengan cekatan memungut gelas kemudian membalas Nina bertubi-tubi. Seperti yang terjadi selama dua bulan Nina disekap kemudian dipaksa meminum obat yang tidak pernah Nina ketahui wujudnya lantaran Nina memang setengah sekarat, adegan ibu Sulastri memeluk manja pak Surat yang baru datang menjadi awal kekejian kedua orang itu. Ibu Sulastri tampak tidak rela meninggalkan suami barunya, tapi wanita itu memilih pergi dari kamar sedangkan pak Surat yang usianya sekitar delapan tahun lebih muda dari ibu Sulastri sementara tangan dan tubuhnya penuh tato, lagi-lagi menindih tubuh Nina yang setengah sekarat dan sepanjang kejadian keji itu terjadi, Nini hanya bisa menangis sebelum lagi-lagi Nina tak sadarkan diri.
Satu hal yang ingin Nina lakukan dan sampai kini belum kesampaian. Nina ingin mati, tapi sebelum itu, Nina harus membu*nuh ibu Sulastri maupun pak Surat.
“Ngapain kamu melotot begitu? Kesurup*an?” tanya ibu Sulastri yang cara berpakaiannya menjadi necis mirip anak muda. Bibirnya saja jadi selalu digincu merah terang, sedangkan wajahnya yang sudah disertai banyak keriput pun ditutup bedak tebal lengkap dengan warna-warni khusus di kelopak kata dan juga kedua pipinya.
“Sah!” Terdengar dari luar yang seolah meresmikan lafal ijab kabul dan sempat Nina dengar. Dan Nina yakin, itu memang pernikahan paksa yang harus ia jalani, tapi bisa Nina pastikan, suara pria tadi bukan suara pak Surat yang sudah berulang kali menggaul*inya.
Seolah mendapat kekuatan bahkan nyawa tambahan\, Nina yang masih sempoyongan segera turun dari tempat tidur empuk keberadaannya. Nina mengincar sang ibu tiri dan tak segan mencek*iknya menggunakan kedua tangan. Ibu Sulastri langsung teriak dan juga berusaha melakukan perlawanan\, tapi Nina yang seolah mendapatkan kekuatan super\, sengaja menghant*amkan-hantamkan kepala ibu Sulastri ke tembok putih sebelah.
Ketika beberapa pria akhirnya datang dan salah satunya pak Surat yang sudah langsung menatapnya penuh rasa kagum khas orang ca*bul\, Nina yang sangat dendam sengaja membant*ing ibu Sulastri yang masih ia ceki*k. Selanjutnya\, Nina juga menendang wajah sang ibu tiri dan terakhir sengaja menginjaknya sekuat tenaga hingga jeritan ibu Sulastri makin membuat keadaan di sana berisik.
Nina yang masih menjadi pusat perhatian oleh keempat orang di sana merasa ada yang aneh dengan penampilannya. Bibir dan wajahnya terasa berat, segera ia raba kemudian hapus. Nyatanya ada rias di wajahnya dan dengan kata lain, ia sengaja didandani.
Seorang pria yang menatap Nina penuh kagum walau tampangnya tak secab*ul pak Surat\, datang mendekat. Sisanya\, mereka kompak pergi dan hanya pak Surat yang tidak ikut serta. Pak Surat menolong ibu Sulastri\, tapi Nina yang masih merasa ada tenaga yang tersisa sengaja meludah*i wajah pria itu disusul ia yang sampai menendang sekuat tenaga pangkal paha pak Surat.
“Ya ampun!” pekik pak Surat langsung meringkuk di atas tubuh ibu Sulastri. Nina yang belum puas karena yang ia mau, kedua orang di hadapannya mati*i oleh kedua tangannya, sengaja menendang kemudian menginjak wajah maupun leher pak Surat. Namun, ulahnya dihentikan oleh pria yang ada di sana. Pria itu mengaku bernama Reno.
“Mulai sekarang aku suamimu! Bapakmu kalah jud*i dan sebagai gantinya, kamu yang harus membayarnya. Kamu harus jadi istriku!” tegas Reno masih mendekap erat tubuh Nina.
Nina yang sudah tidak mau diam dan susah payah memberontak berkata, “Aku bukan anak mereka. Mereka hanya orang gil*a yang numpang hidup ke aku!”
“Terserah! Yang penting sekarang kita sudah menikah. Kamu sudah resmi jadi istriku walau kita baru menikah secara agama!” tegas Reno. Pria yang kiranya berusia tiga puluh lima tahun itu menatap marah Nina. Ia membanti*ng Nina ke tempat tidur kemudian mengusir ibu Sulastri maupun pak Surat.
“Mulai sekarang, kita sudah tidak ada urusan lagi. Semuanya sesuai surat perjanjian yang sudah kita sepakati dan kalian menandatanganinya dengan sadar!” tegas Reno.
Cara Reno berkomunikasi, juga tampang Reno yang tidak mirip orang kampung karena pria itu terbilang gagah dan kulitnya pun bersih, membuat Nina berpikir, Reno bukan orang biasa. Apalagi Reno sampai mengikat ibu Sulastri dan pak Surat dengan perjanjian.
“Terus, ini aku di mana?” pikir Nina. Ia mengawasi sekitar, sambil mencari benda yang kiranya bisa menjadi senjat*a untuknya. Hanya saja, lagi-lagi rasa mual, lemas, dan juga pusing membuatnya tak berdaya. Terseok-seok Nina menuju kamar mandi di sebelah kemudian memuntahkan semuanya di sana.
“Ya Alloh, aku ingin kabur. Kenapa Engkau enggak adil? Kenapa aku harus berada di titik ini? Dua bulan lebih Engkau membiarkan hidupku dirusa*k oleh mereka. Dan Engkau justru membiarkan mereka hidup lebih bahagia. Memangnya aku kurang mengabdi bagaimana? Aku sudah susah payah kerja, dan hasilnya juga sudah langsung ludes ditarik ibu Sulastri! Aku mohon, kalau kamu memang ada, aku mohon tunjukkan kuasamu!” batin Nina masih meringkuk di sebelah kloset duduk ia memuntahkan apa yang membuatnya sangat mual walau yang ada, lagi-lagi hanya berupa cairan bening dan itu pun sangat sedikit.
“Kamu sakit?” tanya Reno yang baru datang dan memang memberikan perhatiannya.
“Sebenarnya orang ini orang baik apa orang jahat?” pikir Nina. Namun, kekejian ibu dan ayah tirinya membuatnya mengalami krisis kepercayaan. “Enggak ada orang baik-baik yang sampai berurusan dengan orang jahat apalagi dia sampai menikahiku tanpa persetujuanku!” yakin Nina dalam hatinya.
“Sepertinya aku hamil!” ucap Nina jujur karena ia tak mau Reno menyesal. Paling tidak andaipun Reno kecewa dan fatalnya sampai membun*uhnya, setidaknya pria itu akan mengejar ibu Sulastri maupun pak Surat.
“Apa yang sudah mereka janjikan ke Mas? Lantas, apa saja yang Mas tahu tentang aku?” tanya Nina benar-benar tegas. Karena setelah apa yang terjadi, tak ada yang membuatnya khawatir apalagi takut. Kini saja, satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah mati. Namun sebelum ia benar-benar mati, ia harus menghabis*i ibu Sulastri dan pak Surat lebih dulu.
Reno tidak bisa menjawab. Ia terlalu bingung, tapi ia memang telanjur tertarik kepada Nina. Terlebih walau tampak kurang sehat, Nina memiliki wajah yang sangat cantik. Berbeda dari gadis kampu*ng pada kebanyakan dan biasanya hanya memiliki kulit indah berwarna kuning langsat, Nina memiliki kulit putih kemerah-merahan. Mata yang sendu berbola mata hitam sangat jernih, bibir berisi dan tampak kenyal benar-benar menggoda, selain Nina yang juga memiliki buah da*da terbilang besar sekaligus kencang, tak kalah kencang dari bok*ong wanita itu dan bagi Reno sangat idaman.
“Mas bahkan mendapatkanku karena menang ju*di! Menurut Mas, orang tua macam apa yang tega menjadikan anak perempuan sebagai penutup bahkan pembayaran?” Nina benar-benar emosional. “Dia bahkan bukan orang tuaku. Dia hanya suami baru dari ibu tiriku!” Kali ini air matanya berlinang. “Dan selama dua bulan lebih, selama dua bulan terakhir, mereka menyekapku. Baji*ngan berkedok orang tua itu berulang kali meniduriku! Dan aku yakin, ulahnya sudah membuatku hamil!”
Lantaran Reno tampak tercengang, pria itu mundur secara perlahan, seolah Reno memang baru mengetahui fakta yang baru saja Nina katakan, Nina sengaja berkata, “Mas tahu semua itu?”
Bagi Reno, Nina memang cantik, sangat cantik malahan. Fisik pun sangat membuatnya tertarik hingga ia tidak menolak ketika pak Surat mengodorkan foto Nina sebagai sosok yang akan ia terima setelah ia memenangkan perjudi*an di antara mereka. Namun jika pada kenyataannya Nina sudah terbiasa ‘dipakai’ pak Surat bahkan kini wanita di hadapannya sedang hamil, tentu tidak ada kata lain selain menjij*ikkan untuk seorang Nina.
“Mas beneran enggak tahu?” tatapan kosong Nina masih fokus menatap kedua mata Reno. Sampai detik ini, butiran bening juga masih kerap berlinang dari kedua sudut matanya.
Nina masih ingat, banyak bekas bibir pak Surat yang baji*ngan itu tinggalkan di tubuhnya. Mengingat tubuhnya yang memiliki kulit putih bersih, bisa dipastikan bekas-bekas itu akan sulit hilang dalam waktu dekat. Karenanya, Nina nekat menyibak leher, dagu, tengkuk. Ia sengaja menarik asal rambut panjangnya yang tergerai. “Harusnya di sini ada bekas bibir baji*ngan itu!”
Sempat kembali mundur karena terlalu terpukul lantaran wanita cantik yang ia dapat justru sudah terbiasa dipakai oleh pak Surat, padahal pak Surat berdalih Nina masih perawan, dan usianya juga baru 19 tahun, Reno yang dongkol sengaja mendekat. Ia melepas paksa kancing kemeja warna oren kedodoran yang menutupi tubuh Nina.
Ulah Reno membuat sebagian kancing kemeja Nina menggelinding di lantai. Demi memastikan kebenaran dari ucapan Nina, di tengah kenyataan dadanya yang bergemuruh menahan amarah, pada kenyataannya apa yang Nina katakan memang benar. Bekas-bekas yang Nina maksud benar-benar banyak. Refleks ia yang merasa ditipu mentah-mentah, mendorong Nina, memuku*linya tanpa jeda dan terakhir menendan*gnya lantaran tubuh Nina sudah terkapar meringkuk di sebelah kloset.
“Kamu sudah terbiasa ‘dipakai’? Kamu sudah terbiasa melaya*ni banyak laki-laki? Lalu, apa bedanya kamu dengan pelacu*r di luar sana?” marah Reno.
“Aku enggak pernah minta Mas buat nikahin aku!” ucap Nina yang sudah tak karuan.
Nina yakin, bersama pandangannya yang sudah tidak jelas dan makin lama makin gelap, ditambah napasnya yang benar-benar sesak, sebentar lagi ia akan kembali sekarat.
Di lain sisi, Reno tidak peduli pada ucapan Nina yang berdalih tidak pernah memintanya menikahi wanita itu. Reno sudah telanjur mengambil Nina, jadi jika ia tidak bisa memiliki Nina, Nina wajib menjadi sumber penghasilannya.
***
Entah sudah berapa lama Nina tak sadarkan diri. Namun lagi-lagi, Nina terbangun dengan keadaan yang serba berat. Bukan hanya kepalanya yang masih sangat pening dan tubuhnya begitu terbatas dalam bergerak, tapi juga kenyataan tempat keberadaannya yang lagi-lagi berbeda.
Kali ini, Nina terbangun di sebuah kamar terbilang bagus, tapi suara wanita yang lagi-lagi asing sudah langsung menyapa pendengarannya.
“Dia terlihat masih sangat muda. Kulitnya juga beda dengan warna kulitku. Memangnya kamu enggak ada ‘barang’ lain? Temanku bilang, kamu punya banyak ‘barang’?” ucap si wanita berkulit tidak lebih cerah dari kulit Nina.
“Ibu Cinta, dia asli gadis desa. Dia masih perawan dan saya terbiasa cari yang muda karena pasarannya memang lebih rame yang muda,” ucap Reno meyakinkan pada wanita di hadapannya.
“Hah? Maksud mereka, Mas Reno sudah terbiasa jual beli perawan khususnya gadis desa?” pikir Nina yang tetap pura-pura tidur guna menguping apa yang sebenarnya terjadi.
“Saya enggak peduli, dia masih perawan atau enggak. Yang jelas, saya nyari wanita yang kurang lebih mirip saya. Karena nantinya, wanita itu harus operasi mirip saya, agar dia bisa menggantikan saya. Saya akan membelinya dengan mahal karena dia benar-benar harus menggantikan saya!” tegas si wanita yang berbicara dengan elegan.
“Ibli*s banget tuh orang. Wanita kok sejahat itu?!” batin Nina benar-benar tak habis pikir. “Buat apa dia hidup kalau dia saja sampai butuh orang buat gantiin dia!” Sampai detik ini, Nina masih berbicara dalam hati. Dan ia mendengar suara langkah mendekat. Dari dua langkah sekaligus dan Nina yakin, itu langkah Reno dan wanita yang dipanggil Cinta.
Reno dan Cinta mengawasi Nina dari jarak lebih dekat.
“Kamu kan pakai jilbab, oke lah. Kan nantinya dia juga harus meniru semua gayamu, termasuk cara berpakaian, kan? Memangnya calon suami kamu paham banget ke warna kulit kamu?” ucap Reno.
“Oh iya, ya. Ya sudah deh, aku oke. Tapi kamu wajib bikin dia menuruti semua yang aku mau, ya? Maksudnya, dia beneran harus mengikuti skenario yang sudah aku siapin!” balas Cinta.
“Semua itu tergantung ... harga yang kamu kasih!” ucap Reno sambil tersenyum semringah menatap wanita bernama Cinta.
“Berapa?” balas Cinta sambil bersedekap dan tersenyum geli menatap Reno yang baginya sama saja dengan laki-laki di luar sana, bajin*gan.
Sengaja jaim, Reno menyodorkan kelima jari tangan kanannya.
“Lima—” Cinta mengernyit dan menerka-nerka.
“Ratus juta!” ucap Reno semringah.
“Oke, enggak masalah. Tapi wajib ada hitam di atas materai, ya.” Cinta menyanggupi tanpa pikir panjang.
“Siaap, wajib ada uang muka sebelum dia dioperasi mirip kamu!” sanggup Reno. “Thank you, Nin! Gara-gara kamu, aku mendadak jadi jutawan!” batin Reno benar-benar girang.
“Oke. Besok malam juga kita langsung operasi! Aku beneran enggak punya banyak waktu, apalagi hasil operasi juga biasanya bertahap, enggak bisa langsung jadi,” ucap Cinta.
“Ya Alloh, dua orang ini benar-benar ibli*s!” batin Nina. Pikirannya makin kacau. Ia bingung sebingung-bingungnya. Apa yang akan ia alami memang membuatnya kehilangan jati diri, tapi dengan menjadi Cinta, ia juga bisa memulai membalaskan dendamnya. Ia bahkan bisa menghancurkan wanita bernama Cinta yang kelakuannya tak beda dengan ibl*is.
“Apa yang harus aku lakukan?” batin Nina belum berani membuka mata apalagi memberontak lantaran tak mau, sesuatu yang lebih buruk malah terjadi, sementara dirinya belum balas dendam kepada ibu Sulastri, pak Surat, Reno, dan juga Cinta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!