Bab 2. Kalut

Dada Yuan terasa begitu sesak setelah mengetahui kenyataan pahit itu. Di hadapan Burhan dan Riana, dia tidak mau menangis agar tidak dipandang lemah oleh pasangan laknat itu. Akan tetapi, hati dan perasaannya tidak bisa dibohongi. Perempuan itu menangis tersedu-sedu ketika sudah ada di halaman rumah Burhan.

Hampir 15 menit Yuan menangis meratapi nasib asmaranya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia mengeluarkan benda pipih itu dari tas, lalu mengerutkan dahi karena yang menghubunginya adalah nomor asing.

"Halo, kami dari Rumah Sakit Medika Utama. Bisa ke rumah sakit sebentar, Mbak? Pak Siswoyo mengalami serangan jantung dan membutuhkan persetujuan untuk operasi, karena ibu Anda sekarang sedang dalam kondisi kalut sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan baik."

Dunia Yuan seakan berhenti berputar. Kakinya sudah tidak mampu lagi menopang bobot tubuhnya yang tidak seberapa berat itu. Panggilan pada telepon kembali membuat perempuan itu tersadar.

"Halo, Mbak."

"Sa-saya akan segera ke sana."

Yuan mengumpulkan kekuatannya yang tersisa. Gadis itu beranjak dari atas rerumputan, kemudian mulai naik ke atas motor. Yuan menghapus air mata dan mulai melajukan kuda besinya menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Yuan langsung menemui dokter yang menangani sang ayah. Dokter muda bernama Seno itu menjelaskan bahwa Siswoyo harus segera melakukan operasi karena pembuluh arteri koroner sang ayah mengalami penyumbatan.

"Sudah tidak bisa dengan tindakan Angioplasti atau pemasangan ring, Mbak," jelas Dokter Seno.

Yuan menelan ludah kasar. Dia tidak memiliki biaya lebih untuk operasi tersebut. Tabungan perempuan itu tidaklah seberapa karena setiap harinya dia gunakan menanggung biaya hidup kedua orang tuanya.

Siswoyo memang memiliki riwayat serangan jantung, sehingga harus kontrol berulang kali untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Jadi, untuk kontrol saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Belum lagi hutang kedua orang tuanya yang menumpuk karena sang kakak meminta untuk dikuliahkan ke jenjang yang lebih tinggi. Memikirkan semua itu membuat kepala Yuan berdenyut.

"Kira-kira berapa biaya yang dibutuhkan untuk melakukan operasi tersebut, Dok?"

"Berkisar 60 jutaan sampai ratusan juta. Tergantung kondisi penyumbatan yang dialami pasien,” jelas Seno.

Yuan kembali menelan ludah kasar. Dia memijat pelipisnya yang berdenyut luar biasa. Perempuan itu akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut dan menghubungi sang kakak.

"Halo, Mbak Nesha. Yuan bisa minta tolong?"

"Apa?" tanya Nesha dengan suara ketus dan tidak nyaman didengar.

"Bisa pinjami Yuan uang buat operasi bapak?"

"Operasi apa?”

Tidak ada nada kekhawatiran yang keluar dari bibir Nesha ketika Yuan mengabari bahwa sang ayah harus menjalani operasi. Hal itu membuat Yuan mengerutkan dahi seraya mengusap dada untuk membesarkan hatinya.

“Operasi bypass jantung, Mbak. Ngomong-ngomong, kok Mbak Nesha nggak ada rasa terkejutnya sama sekali, ya? Apa Mbak Nesha sudah tidak peduli lagi sama bapak?”

“Hei, Yuan! Kamu itu nggak mikir, ya? Aku di sini kuliah butuh uang banyak! Terlebih lagi sebentar lagi pacarku mau datang melamar! Untuk resepsi pernikahan, kami berencana menggunakan uang pribadi supaya tidak merepotkan orang tua! Ya sudahlah, usahakan sendiri! Toh bapak udah tua, buang-buang duit juga kalau harus melakukan operasi! Ikhlasin aja! Sudah lama juga 'kan bapak bolak-balik kena serangan jantung?"

Rentetan kalimat yang keluar dari bibir Nesha tentu saja membuat darah Yuan seakan mendidih. Kini rahangnya mengeras dan jemarinya mengepal kuat di samping badan. Dia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya kasar.

"Bisa, ya, Mbak Nesha ngomong begitu? Harusnya Mbak Nesha malu! Ibu jualan di kantin rumah sakit hampir 24 jam sehari, hutang sana-sini buat kuliahin Mbak! Buat turuti kemauan Mbak Nesha! Bahkan aku juga rela bantu bayar semuanya sampai buat diri sendiri aja aku mikir!" balas Yuan agar sang kakak sadar.

Dada Yuan terasa begitu sesak. Air matanya mengalir sangat deras dan isak tangis tidak dapat lagi dia tahan. Yuan mengeluarkan semua ganjalan di hati yang selama ini dipendam.

"Oh, jadi kamu hitung-hitungan bantu orang tua?"

"Aku nggak hitung-hitungan, Mbak! Cuma mau kasih tau aja kalau Mbak Nesha itu nggak tahu diri! Perjuangan bapak sama ibu itu luar biasa buat kuliahin Mbak Nesha! Giliran mereka susah, Mbak bersikap seolah tidak memiliki tanggung jawab apa pun kepada mereka!” Yuan mengucapkan semua kalimat itu penuh amarah.

“Mulai hari ini, jangan pernah hubungi ibu untuk minta uang lagi sama beliau! Urus saja sendiri diri Mbak Nesha!" Yuan mematikan sambungan telepon.

Perempuan itu juga memblokir nomor sang kakak. Mulai detik ini, dia tidak akan lagi membantu biaya kuliah Nesha. Toh, apa yang dilakukannya ternyata sia-sia.

Yuan terus mengalah demi kepentingan dan kebahagiaan orang lain. Namun, dia hanya mendapatkan kekecewaan dan lagi-lagi harus menanggung semuanya sendirian. Gadis itu bersandar pada dinding dingin rumah sakit sambil memeluk tubuhnya untuk menguatkan diri sendiri.

Di kediaman keluarga Ismoyo, Anton yang mendapatkan kabar mengenai kondisi sang sahabat langsung khawatir. Dia mengajak Drini untuk menjenguk Siswoyo. Drini pun menyetujui niat baik sang suami.

"Andri," sapa Drini ketika melihat sang anak keluar dari kamar.

Setelah sekian lama mengurung diri, akhirnya lelaki itu mau keluar dari kamarnya. Sebuah senyum merekah pun kini terukir di bibir Drini. Dia langsung menghampiri sang putra dan duduk bersimpuh di hadapannya.

"Bapak sama Ibu mau tengok Pakde Sis, kamu mau ikut?" tanya Drini.

"Yuk, ikut, Ndri. Sambil refresing lihat lagi dunia luar. Kamu kan sudah lama nggak muter-muter Kota Surabaya sejak jadi KOAS di Aceh?" Anton ikut mendekati sang putra dan berdiri tepat di belakang sang istri.

"Kalian mau menjadikanku bahan untuk diolok-olok?" terka Andri dengan wajah datar.

Drini menoleh ke arah sang suami, sehingga kini tatapan mereka beradu. Perempuan itu menggeleng dan direspons dengan anggukan kepala oleh Anton. Mereka berdua paham betul bagaimana terpukulnya Andri karena sekarang harus hidup di atas kursi roda seumur hidup.

"Ah, ya, sudah. Kamu di rumah saja kalau begitu. Biar Ibu sama Bapak saja yang berangkat." Drini tersenyum tipis kemudian mengusap lembut punggung tangan Andri.

Mereka berdua akhirnya meninggalkan Andri yang masih mematung di depan kamarnya. Rasa bersalah kini memenuhi dada lelaki itu. Dia sadar kalau ucapan yang keluar barusan pasti melukai perasaan kedua orang tuanya.

Namun, rasanya Andri sulit sekali mengendalikan emosinya. Dia kini memukul pegangan kursi rodanya sambil berteriak frustrasi. Sumi yang mendengar teriakan sang majikan langsung berlari menghampiri Andri.

"Ada apa, Mas Andri?"

"Bukan urusanmu!" Andri kembali masuk ke kamarnya.

Sementara itu, Anton dan Drini yang sudah sampai rumah sakit langsung menemui Yuan. Drini memeluk Yuan dan Winarni. Setelah dua perempuan itu tenang, Anton mulai membuka pembicaraan.

"Begini Mbak Win, saya berniat memindahkan Mas Sis ke rumah sakitku saja. Kalian nggak usah khawatir masalah biaya. Aku akan mengurus semuanya dan menghubungi bagian administrasi untuk membebaskan Mas Sis dari biaya operasi dan perawatan."

“Makasih banget bantuannya, Ton. Keluarga kami sangat berhutang budi sama kamu!” Winarni mengusap air mata, kemudian tersenyum tipis kepada Anton dan Drini.

"Nggak dipotong gajiku saja, Pak? Rasanya saya kurang nyaman jika harus menerima bantuan sebesar ini." Yuan menatap Anton penuh ketegasan.

Anton membuang tatapannya ke arah lorong rumah sakit. Dia mengusap dagu dan sebuah ide muncul di kepalanya. Lelaki itu kembali teringat tentang perjodohan yang pernah dia buat bersama Siswoyo beberapa tahun lalu.

Meski terdengar tidak adil di zaman modern ini, Anton hendak mewujudkan perjodohan itu untuk menyambung ikatan pertemanan yang lebih kuat dengan Siswoyo. Dia pun perlahan mengungkapkan apa yang sekarang ada di benaknya.

"Kalau begitu, bisa Bapak minta tolong?" tanya Anton sambil menatap serius perempuan ayu di depannya itu.

"Kamu sudah dengar belum mengenai perjodohan yang telah aku dan bapakmu sepakati beberapa tahun lalu?"

Yuan menelan ludah kasar seraya mengangguk. Dia tahu betul arah pembicaraan Anton. Benar saja, pemilik rumah sakit tempat dia bekerja itu memintanya untuk menikah dengan salah satu putranya. Yuan terdiam sejenak untuk berpikir.

"Tapi, Bapak tidak akan memaksamu. Meski kamu menolak perjodohan ini, aku akan tetap membiayai seluruh operasi Mas Sis."

Hati Yuan pun tersentuh akan kebaikan Anton, sehingga perempuan tersebut langsung mengangguk. Ya, Yuan menyetujui perjodohan itu. Dia ingin memberikan bakti terakhirnya kepada orang tua sebelum akhirnya baktinya harus berpindah kepada calon suami yang tak lain adalah putra Anton.

"Syukurlah, Bapak senang mendapatkan jawaban ini!" Anton tersenyum lebar seraya mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Tapi, calon suamimu memiliki kekurangan. Apa tidak akan menjadi masalah bagimu?"

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

BARU HADIR & MAMPIR, SLM KENAL DARI PONTIANAL..🙏🏻🥰

2023-12-12

0

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

YG LIKE LUMAYANLH, SERATUS LBH, SYANG YG VOTE CMA 6 ORG...

2023-12-12

2

Andi Fitri

Andi Fitri

sabar yuan mgkin di awal2 kmu merasa kecewa dgn sifat suamimu tpi akan indah pada waktunya...

2023-09-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!