Bukan Sugar Baby (Mommy)
“KENAPA KALIAN SETEGA INI?”
Suara teriakan itu begitu keras. Rasanya mampu membuat seisi restoran mendengarnya, walau teriakan itu berasal dari ruang VIP.
“Adel, kecilkan suaramu. Orang-orang bisa mendengarnya.”
“Kenapa?” tanya perempuan mungil bernama Adel ini. “Takut kalau orang-orang tahu kalau Papa ternyata selingkuh dan menyebabkan mama kepikiran, sampai sakit dan meninggal.”
“ADEL.” Pria akhir empat puluhan yang dipanggil papa itu pada akhirnya berteriak untuk menegur putri semata wayangnya.
“Kamu itu temanku, Tin. Kamu sahabatku sejak kita SMP, tapi kamu tega ngambil papaku dari mamaku?” Kali ini Adel beralih pada perempuan muda yang duduk di sebelah sang papa.
“Maafin aku, Del. Kami hanya khilaf.”
“Khilaf? Jangan membuatku tertawa. Tidak ada yang namanya khilaf ketika kalian berdua sampai selingkuh bertahun-tahun, bahkan sampai punya anak.”
“Adel. Sopanlah sedikit. Dia nanti akan jadi ibu sambungmu.” Sang papa kini berusaha membujuk dengan cara lebih lembut. “Anak itu pun akan jadi adikmu.”
“Luar biasa sekali.” Adelia Lesmana, kini tertawa. “Ini bahkan belum sebulan sejak kematian mama dan kalian sudah membicarakan pernikahan? Jangan-jangan kalian sengaja ya membunuh mamaku?”
Tanpa bisa dicegah lagi, sang papa berdiri dan melayangkan tangannya begitu saja, pada pipi Adel. Bahkan dia sendiri pun sampai terkejut setelah itu semua terjadi.
“Adel. Kamu tidak apa-apa, Nak?”
Sang papa yang langsung menyesal, menghampiri putrinya. Sayang sekali, Adelia tidak mau menerima pertolongan apa pun. Dia bahkan tak segan menepis tangan sang ayah dengan kasar.
“Aku tidak sudi menerima pelacur ini dan anak haram itu,” desis Adelia penuh kemarahan. “Papa harus camkan ini. Kalau kalian sampai menikah, aku bersumpah akan membuat kalian malu.”
Setelah mengungkapkan semua itu, Adelia segera mengambil tas tangan yang dibawanya dan berlari keluar. Perempuan muda yang bahkan belum dua puluh itu, memilih untuk menulikan telinga dari teriakan sang papa.
Bahkan setelah duduk di atas mobilnya pun, Adelia masih sangat marah dan rasanya ingin memukul sesuatu. Kemudi mobil yang menjadi pelampiasan, disertai dengan teriakan penuh makian.
“Dasar ****** sialan. Bisa-bisanya aku tidak sadar kalau dia main sama papaku sendiri.” Adelia meneriakkan itu, sambil melihat ke kaca spion.
“Coba lihat. Papa bahkan tidak mengejarku dan lebih memilih untuk bersama ****** itu.” Mulut Adel yang jarang memaki, hari ini memaki dengan sangat lancar.
Mata Adelia kemudian menatap ke dashboard mobilnya. Dia tak sengaja melihat kartu nama klub malam yang ditinggalkan salah satu temannya dan mengambil benda itu dengan kasar.
“Heaven ya,” bisik Adelia dengan tatapan fokus pada kartu nama itu. “Baiklah. Sebentar lagi aku dua puluh tahun, harusnya tidak masalah kalau aku ke sana.”
***
“DELANO.”
“Ya, Pak.” Lelaki yang bernama Delano itu segera menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Terdengar samar, tapi masih bisa dia dengar.
“Coba antarkan ini ke meja sebelah sana dan tolong berhenti memanggilku, Pak. Kau bahkan lebih tua dariku.”
“He... he... he... Tapi kau kan bisa dibilang atasanku di sini,” jawab Delano dengan senyum lebar.
“Atasan gundulmu. Aku hanya bartender di sini dan kau juga hanya pegawai pengganti. Lagi pula, jangan terlalu merendah.”
Tak ada lagi yang dikatakan Delano. Dia hanya bisa pamit untuk segera mengantarkan dua botol minuman untuk tamu klub bernama Heaven itu.
Suasana klub itu terlihat sangat ramai, walau besok masih hari kerja. Tampaknya, orang-orang tidak peduli kalau mereka akan terlambat ke kantor besok. Yang penting adalah bersenang-senang.
“Permisi. Pesan Pinot Noir?” Lelaki yang tampak seperti baru berumur akhir dua puluhan itu, bertanya pada seorang perempuan yang duduk sendiri di sofa.
“YA.” Perempuan berambut cokelat panjang itu berteriak dengan lantang. “Aku memesan dua botol.”
“Kamu yakin pesan dua botol? Apakah nanti temannya akan datang atau mereka sedang ke toilet?” Delano agak ragu menyerahkan dua botol wine itu karena melihat perempuan di depannya sudah mabuk.
“Aku tidak punya teman lagi. Dia dengan kurang ajarnya mengambil papa dari mama,” jawab perempuan dengan rok mini dan crop top yang dilapisi jaket senada dengan warna roknya.
Sungguh, Delano sangat ragu memberikan pesanan perempuan tadi. Namun, dia tidak bisa melakukan apa-apa, terutama karena dia sudah ada panggilan lain lagi.
“Nona.” Delano memanggil perempuan mabuk itu. “Setelah ini, tolong telepon seseorang dan minta dijemput ya.”
“Aku tidak mau,” hardik perempuan itu dengan raut marah yang justru terlihat imut. “Sebelum aku menemukan seseorang untuk kutiduri, aku tidak mau pergi.”
“Hei.” Delano segera melihat ke kiri dan kanan, meyakinkan dirinya tidak ada yang mendengar omongan perempuan itu. “Tolong jangan katakan hal seperti itu, di tempat seperti ini.”
“Kenapa?” tanya perempuan itu dengan bibir mencebik. “Itu memang tujuanku datang ke sini.”
“Hei, anak pengganti.” Seseorang menyapa Delano. “Jangan terus berdiri di sini, bantu di sana juga.”
“Ya, aku akan segera ke sana.” Mau tidak mau, Delano harus pergi. Namun, dia sempat mengingatkan perempuan muda itu sebelum pergi.
“Hei cantik.” Sayangnya, sebelum Delano benar-benar beranjak, seorang lelaki mendatangi perempuan tadi.
“Siapa namamu?”
“Adelia Lesmana,” jawab perempuan itu dengan mudahnya. “Kakak sendiri sudah umur berapa?”
“Belum tiga puluh kok. Mau kan main bareng kakak?”
“Aih, gak mau.” Adek dengan cepat menggeleng. “Terlalu muda.”
“Oh, salah ingat. Rupanya aku sudah tiga puluh lima.” Lelaki tadi dengan cepat meralat, rupanya otaknya masih bekerja walau terlihat mabuk.
“Kalau begitu....”
“Maaf.” Sebelum Adelia menyelesaikan kalimatnya, Delano segera menarik perempuan itu. “Dia bersama saya.”
Beruntung lelaki tadi sudah sedikit manuk dan ruangan agak gelap. Lelaki itu tidak menyadari Delano yang memakai seragam pelayan klub malam ternama itu. Terutama karena tubuh Adelia, menutupi sebagian dirinya.
“Kakak ini kenapa sih?” tanya Adelia segera berbalik dan memukul dada penolongnya. “Kenapa Om tadi diusir?”
“Sebaiknya kamu telepon orang rumah ya.” Delano masih membujuk. “Suruh jemput.”
“Gak mau. Adel kan udah bilang gak bakal pulang kalau belum ketemu om-om,” jawabnya dengan wajah cemberut.
“Astaga! Anak ini kenapa sih?” batin lelaki berseragam itu tidak habis pikir.
“Kamu umur berapa?” Tiba-tiba saja Adelia bertanya.
“Tiga puluh tiga.” Delano menjawab dengan refleks.
“Lumayan.” Adelia mengangguk setuju. “Ganteng juga.”
“Om mau sama aku kan?” tanya Adelia terlihat cukup antusias. “Nanti aku yang bayarin semuanya kok.”
“Hah?”
“Ck. Apa perlu aku yang mulai duluan?” Adelia bergumam seorang diri dan tanpa aba-aba, perempuan itu berjinjit.
Adelia meraih kerah kemeja lelaki tinggi di depannya, memaksa Delano untuk membungkuk. Dia kemudian menempelkan bibir mungilnya, pada bibir Delano. Membuat lelaki itu terkejut setengah mati.
“Om, tidur sama aku ya. Please.”
***To Be Continued***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments