Mata-Mata

"Mas. Bangun, Mas. Nanti telat kerja. "

 

 "Apaan sih, Lih? Aku masih mau tidur nih." bukannya bangun, Delano makin mengeratkan pelukannya pada bantal guling.

 

 "Masalahnya ini sudah hampir jam tujuh pagi, Bos. Kalau tidak pergi sekarang, nanti telat loh." Lelaki yang tadi memanggil Delano, kembali mengingatkan.

 

 Mendengar kata jam tujuh pagi, lelaki dengan potongan rambut cepak itu langsung terlonjak bangun. Dia menatap ke arah teman sekamar yaitu dengan tatapan horor.

 

 "Aduh, Galih! Kenapa baru dibangunkan sekarang?" Yang empunya kamar, langsung bergerak cepat untuk pergi ke kamar mandi.

 

 "Si Bos ini gimana sih?" Lelaki bernama Galih Itu berdecak pelan. “Kan saya sudah bangunkan dari tadi, tapi situ yang nggak mau bangun."

 

 "Ya, harusnya kalau kamu lebih berusaha lagi dong." Delano meneriakkan kalimat itu dari dalam kamar mandi.

 

 Galih yang sudah rapi dengan pakaian rumah, hanya bisa geleng-geleng kepala saja mendengarnya, tanpa bisa protes lebih jauh lagi. Bisa-bisa kalau dia protes sama, lelaki yang lebih muda dari Delano itu tidak mendapatkan gaji.

 

 "Lih, antar aku ke kantor dong. Motorku ketinggalan di sana." Setelah keluar dari kamar mandi, Delano yang sudah lengkap dengan seragam memberi perintah.

 

 "Loh? Kok mandinya cepat amat. Pakai sabun nggak sih?" Galih tidak segan mengejek.

 

 "Pakailah, tapi mandinya kilat. Yang penting gak bau." Delano menghembuskan nafas setelah mengatakan hal itu, mengecek apakah mulutnya bau naga atau tidak.

 

 "Curiga nggak gosok gigi. Pasti hanya kumur-kumur aja kan?" Galih kembali mengejek, tapi kali ini dia melakukannya sambil mengambil kunci motor.

 

 Delano tidak banyak bicara lagi. Dia harus bergegas kalau tidak ingin terlambat ke kantor karena jam masuk office boy itu lebih pagi. Mereka harus mengurus beberapa hal, sebelum para pegawai yang lain tiba.

 

 Niatnya sih begitu, tapi siapa sangka ada halangan lain. Delano bisa melihat mobil yang kemarin dia tumpangi, parkir canti di depan kos.

 

 "Om." Adelia langsung menyapa. "Kok lama banget sih? Dari tadi kutelepon dan chat, tapi tidak dibalas."

 

 "Maaf, tapi boleh nanti saja ngobrolnya? Saya sudah terlambat ke kantor." Delano berniat mengacuhkan dengan naik ke atas boncengan motor.

 

 "Eh, Om." Sayangnya, Adelia menarik lengan lelaki itu. "Mau ke mana?"

 

 "Maaf, Non. Delano sudah terlambat ngantor, jadi nanti saja ya ngobrolnya. Saya juga sudah telat nih." Kali ini, Galih yang berbicara.

 

 "Jam masuk kantor kan jam delapan lewat lima belas. Belum terlambat kalau kita

ngobrol sepuluh menit saja." Adelia masih tidak mau mengalah. Dia bahkan menghalangi motor Galih.

 

 "Tapi saya OB, Non. Jam masuk saya tuh jam setengah delapan. Sekarang sudah jam tujuh lewat. Kalau tidak berangkat sekarang, pasti terlambat." Delano kini mulai panik.

 

 "Aku antar naik mobil."

 

 "Kalau gitu bisa terjebak macet."

 

 Kedua orang itu pada akhirnya saling adu tatap karena tidak ada yang mau mengalah. Namun, pada akhirnya Adelialah yang memilih untuk mengalah. Itu pun karena dia punya ide.

 

 "Gimana kalau Om bonceng aku saja?" Adelia menanyakan itu dengan senyum lebar.

 

 "Lah, lantas saya naik apa?" Galih melotot mendengarnya.

 

 "Om yang ini naik ojek saja ya. Entar aku bayarin." Perempuan yang hari ini menggunakan rok dengan panjang selutut itu, dengan cepat mengeluarkan selembar uang berwarna merah.

 

 "Oke deh." Galih yang sejatinya masih muda, langsung menyambar selembar uang itu dan turun dari motor begitu saja.

 

 "Eh, No. Ini stang motornya dipegangin dong."

 

 "Gila kali, Lih." Delano jelas saja akan protes.

 

 "Udah, Om. Maju sana." Adelia yang sudah mengambil tas ranselnya yang sangat penuh, segera memukul lelaki yang duduk di motor itu. "Maju dikit biar aku bisa naik."

 

 Mau tidak mau, akhirnya Delano bergeser menjadi pengemudi dan membiarkan Adelia duduk menyamping di belakangnya. Masa bodoh kalau nanti mereka dilihat ayah perempuan itu. Yang penting Delano tidak terlambat dan gajinya tidak dipotong.

 

 "Om." Setelah motor berjalan, Adelia berteriak. "Aku sudah buat perjanjian, tinggal dilihat nih."

 

 "Saya kan gak mungkin lihat sambil bawa motor." Delano tentu saja balas berteriak karena suara bising di jalan raya.

 

 "Iya. Nanti kalau sudah di kantor, jangan lupa lihat ya. Aku ada kirim lewat chat," balas Adelia dengan senyum senang.

 

 "Tapi Non kuliah di mana? Gak ada kelas pagi?" Tiba-tiba saja, Delano bertanya.

 

 "Emang kenapa?"

 

 "Non Adel gak pakai helm, jadi mending saya antar dulu deh. Dari pada nanti ditilang, malah makin ruwet masalahnya." Lelaki dengan seragam yang ditutupi jaket itu membalas.

 

 "Loh? Bukannya nanti bisa terlambat?"

 

 "Iya, sih. Tapi mending terlambat dari pada harus bayar tilang. Lebih mahal."

 

 Adelia tertawa mendengar alasan yang baginya tidak masuk akal itu. Pasalnya, kampus yang akan mereka tuju, sedikit labih jauh dari kantor Delano. Mana arahnya berbeda juga.

 

 Tapi kali ini Adelia lebih memilih untuk menurut. Rasannya, sudah lama sekali sejak dia naik motor. Dia ingin menikmati hal ini.

 

 "Eh, loh? Kok berhenti sih?" Perempuan dengan rok itu tercengang, ketika lelaki yang memboncengnya menepi.

 

 "Bisa turun sebentar gak, Non?"

 

 Walau bingung dengan pertanyaan itu, Adelia tetap turun dari moto. Delano menyusul dan langsung melepas jaketnya.

 

 "Tadi ada yang liatin," ucap lelaki itu, sembari mengikat jaketnya, untuk menutupi bagian depan rok sang penumpang.

 

 "Idih. Om baik banget sih?" Bukannya berterima kasih, Adelia malah mengejek.

 

 "Tapi saya mau minta tolong." Rupanya Delano tidak melakukan itu dengan gratis.

 

 "Emang mau apa?" tanya Adelia agak kesal juga karena lelaki itu tidak tulus. "Mau dibelikan motor baru?"

 

 "Tolong berhenti panggil Om," jawab Delano yang kemudian kembali naik ke motor lagi. "Saya memang sudah tua, tapi belum setua itu."

 

 "Lantas panggil apa?" Perempuan yang terlihat aneh dengan jaket di bagian depan itu, ikut naik lagi ke atas motor.

 

 "Apa saja asal jangan Om."

 

 "Kalau Daddy saja gimana?"

 

 Delano tidak langsung menjawab. Dia terlihat berpikir untuk sesaat, sebelum akhirnya mengangguk. "Itu lebih baik dibanding Om, walau saya bukan bapaknya Non Adel."

 

 Adelia kembali tertawa mendengar jawaban yang kelewat jujur itu. Rasanya dia sudah memilih partner balas dendam yang sesuai kali ini. Delano sepertinya orang yang menyenangkan.

 

 "Makasih ya, Dad." Adelia tentu saja akan mengatakan itu, setelah mereka sampai di depan gerbang kampus.

 

 "Yakin mau di sini saja? Gak mau sampai ke dalam?" tanya Delano yang terlihat tidak nyaman menurunkan penumpangnya di sana.

 

 "Gak apa-apa. Itung-itung, aku bisa olahraga sedikit. Udah lama gak olahraga soalnya."

 

 "Ya sudah. Kalau begitu, saya pergi ya. Sudah telat." Pada akhirnya, Delano langsung pamit.

 

 "Jangan lupa baca chat." Adelia masih sempat meneriakkan hal itu, sebelum lelaki yang mengantarnya benar-benar menghilang. Dia tidak sadar kalau ada yang mengamati mereka dari jauh.

 

***To Be Continued***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!