Putus

 “Apa mamamu tidak suka padaku?” Adelia tidak tahan untuk menanyakan hal itu pada Delano.

 Kebetulan saja, Mama Monic sudah pulang duluan. Perempuan pertengahan lima puluh itu, beralasan sudah punya janji lain dengan teman lama.

 “Tidak.” Delano menggeleng pelan. “Saya rasa dia hanya terkejut karena kita berbeda cukup jauh. Sangat jauh malah.”

 “Iya, sih. Cuma ... gimana ya?” Adelia jadi sedikit enggan mengungkapkan perasaannya.

 “Mama memang seperti itu,” balas si office boy, tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut lagi.

 “Dia orangnya suka menilai dari apa yang dilihatnya atau dia dengar pertama kali. She judge a book by its cover. Tapi kalau sudah saling kenal, mama tidak akan sejelek itu lagi.”

 Mendengar itu, Adelia sudah bisa sedikit lega. Tapi, perempuan muda itu sudah terlanjur stres. Dia butuh pelampiasan, agar nanti tidak menjadi gila.

 “Bagaimana kalau Daddy temani aku pergi shopping saja?” tanya Adelia tiba-tiba. “Mumpung Om libur dan kakinya sudah diobati.”

 “Kenapa tiba-tiba shopping?” tanya Delano bingung.

 “Karena aku ingin.” Hanya itu yang dikatakan oleh Adelia, sebelum menarik lengan teman kencannya itu.

 ***

 Tadinya Adelia berharap kalau dia akan senang ketika pergi berbelanja. Sayangnya, tidak bisa seperti itu. Di mal, dia malah bertemu dengan orang-orang yang tidak dia inginkan.

 “Adelia? Kok kamu bisa ada di mal? Gak kuliah? Sama siapa?”

 Pertanyaan bertubi-tubi itu dilontarkan oleh Bella. Perempuan yang paling tidak ingin Adel temui, tapi sepertinya hari itu dia sedang sial.

 “Ayo kita pergi saja.” Tidak ingin berinteraksi dengan pelakor itu, Adelia menarik lengan Delano.

 “Yakin tidak mau menyapa?” Entah baik hati atau apa, tapi Delano menahan rekan kencannya.

 “Jangan gila.” Adelia langsung mendesis mendengar itu. “Mana sudi aku menyapa dia.”

 “Aku bisa mendengarmu, Adel.” Bella mengatakan itu, tepat ketika Adelia selesai berbicara.

 “Aku memang berbicara untuk bisa kau dengar,” balas perempuan yang menggandeng Delano itu tanpa takut.

 Bella tidak langsung membalas. Dia terlebih dahulu menatap Delano dari atas sampai bawah, kemudian mendengus pelan. Dia jelas sedang menghina.

 “Aku tidak mengerti dengan pilihanmu.” Bella kembali melirik Delano dari atas sampai bawah. “Ganteng, tapi gembel.”

 “Hei, jangan menghina.” Adelia langsung merasa kesal mendengarnya.

 “Aku hanya mengatakan kenyataan.” Bella mengedikkan kedua bahunya dengan santai. “Coba tanya saja yang lain.”

 Kening Adelia mengerut ketika melihat perempuan yang merebut ayahnya itu melambai. Dia jadi refleks menoleh dan mendapati beberapa teman SMA balas melambai pada Bella.

 “Ini Adelia kan?” Salah seorang bertanya.

 “Hai.” Hanya itu yang bisa Adelia jawab karena dua orang lain yang baru datang itu, menatap Delano dengan cara yang sama dengan Bella.

 “Ini pacar kamu?” Salah satu dari dua orang itu bertanya.

 “Iya. Memang kenapa?” tanya Adelia sudah terlihat kesal.

 “Kok agak kumal ya?”

 Mendengar hal itu, wajah Adelia langsung memerah. Dia sama sekali tidak senang mendengar hal itu, walau yang dikatakan mungkin kenyataan.

 Pakaian yang dipakai Delano memang sudah agak kusam, tapi masih layak pakai. Kaos dan celana panjangnya pun sekilas terlihat seperti barang murah.

 “Mungkin terlihat sedikit kusam, tapi ini sama sekali tidak kumal.” Tanpa bisa diduga, Delano membalas.

 “Kusam dan kumal kan sama saja.” Bella kembali berbicara.

 “Itu dua hal yang berbeda,” balas Delano terlihat begitu tenang. “Kumal itu kotor, sementara kusam itu berhubungan dengan warna yang sudah tidak cerah lagi. “

 “Jangan sok tahu.” Salah seorang yang baru datang menghardik.

 “Silakan cek sendiri.” Delano malah mempersilakan orang-orang itu mengecek di ponsel.

 Ditantang seperti itu, tiga perempuan yang mengejek malah terdiam. Mereka saling melirik dan memberi kode mata, tapi pada akhirnya tidak ada yang mengecek.

 “Kenapa dicek?” tanya Adelia dengan senyum mengejek.

 Walau yang diperdebatkan hanya masalah bahasa, tapi Adelia terlihat senang. Dia sudah merasa sedikit di atas angin.

 “Saya rasa tidak ada lagi yang perlu kita lakukan di sini.” Delano pada akhirnya berbicara lagi. “Kamu ingin pergi berbelanja kan?”

 Adelia tidak menjawab. Dia langsung menggandeng tangan rekan kencannya dan menarik lelaki itu pergi. Adelia  tersenyum puas dengan wajah Bella dan antek-anteknya.

 “Mereka itu siapa?” Delano bertanya, ketika mereka sudah agak jauh.

 “Kami satu sekolah waktu SMA.” Adelia hanya mengatakan itu, enggan sekali menganggap mereka teman.

 Delano tidak banyak bicara. Dia hanya mengangguk, mengerti kenapa perempuan di sebelahnya enggan menyebut mereka teman. Para perempuan itu memang tidak pantas disebut teman.

 “Omong-omong, ukuran baju Daddy apa sih?” Tiba-tiba saja Adelia bertanya.

 “Ukuran L.” Delano pun menjawab dengan refleks.

 “Ukuran celana?”

 “Tiga enam.”

 “Oke. Kalau begitu ayo masuk ke sini.” Perempuan bertubuh mungil itu, langsung menarik rekan kencannya ke sebuah toko pakaian khusus pria.

 Delano bisa menduga apa yang diinginkan Adelia masuk ke toko itu, tapi dia masih membiarkannya. Terutama karena ini adalah toko pakaian yang setahunya berharga mahal.

 “Cobaiin yang ini deh, Dad.” Adelia mengulurkan kemeja lengan panjang berwarna hitam.

 “Untuk apa dicoba?” tanya Delano pura-pura bodoh.

 “Aku kan pengen belikan sesuatu untuk Daddy juga,” jawab Adelia dengan nada ceria. “Aku suka lihat cowok pakai kemeja hitam.”

 “Apa kamu malu jalan denganku?” Delano menanyakan hal itu, setelah mengambil kemeja yang diulurkan rekan kencannya itu.

 “Kok Daddy ngomong gitu sih?” Perempuan mungil dengan rambut cokelat itu langsung cemberut. “Aku cuma pengen beliin Daddy baju aja.”

 “Tapi kamu belikan saya baju, setelah mendengar omongan teman-teman kamu tadi,” balas Delano tidak tampak tersinggung sama sekali. “Itu artinya, kamu merasa ada yang salah dengan penampilan saya kan?”

 Mendengar pertanyaan itu, Adelia langsung terdiam. Dia merasa malu karena sudah ketahuan oleh lelaki yang jauh lebih tua darinya itu.

 Jujur saja, awalnya Adelia tidak peduli dengan penampilan Delano. Dia hanya memanfaatkan lelaki itu dan tidak peduli dengan hal lainnya. Tapi setelah Delano diejek, ada sedikit rasa malu yang muncul.

 “Saya gak akan menyalahkan kamu kalau memang seperti itu, itu hak kamu. Tapi perlu saya beri tahu, saya berpenampilan seperti ini karena saya ingin, bukan untuk dikasihani.”

 “Maksudku bukan begitu.” Adelia dengan cepat membantah. Dia sama sekali tidak berniat merendahkan Delano sampai seperti itu.

 “Tidak apa-apa.” Bukannya marah, Delano malah tersenyum. “Saya bisa mengerti, tapi ... kalau kehadiran saya mengganggu, bukankah lebih baik kalau kita berpisah saja?”

 Adelia langsung terhenyak mendengar pertanyaan itu. Dia sama sekali tidak pernah menyangka akan mendengar hal seperti itu dari seorang Delano.

 “Kalau kamu merasa tidak nyaman dengan saya, saya tidak masalah membatalkan kontrak kita. Saya juga tidak masalah mengembalikan barang yang sudah kamu berikan,” tambah Delano, untuk memperjelas semuanya.

***To Be Continued***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!