Mengadu

 “Aduh kepalaku.” Adel menggumamkan kalimat itu, sambil memegang kepalanya.

 

 “Sepertinya semalam aku kebanyakan minum deh. Dasar sialan.” Perempuan mungil itu tak henti menggerutu.

 

 Merasa masih perlu beristirahat lebih lama, Adelia Lesmana berguling ke samping. Dia yang merasa kedinginan, lantas menarik selimutnya lebih rapat lagi. Saat itulah dia menyadari sesuatu.

 

 Dengan gerakan super cepat, perempuan dengan rambut kecokelatan itu bangun dari posisi tidurnya. Dia tidak melepas tangan dari selimut karena merasakan keanehan.

 

 “OMG,” pekik perempuan mungil itu, ketika menemukan dirinya tanpa sehelai benang pun. “Aku beneran tidur sama om-om?”

 

 Adelia memegang kepalanya dengan sebelah tangan. Berusaha untuk mengingat apa saja yang terjadi semalam, tapi yang dia ingat hanyalah bertemu dengan dua orang lelaki. Salah satunya, membawa Adel ke kamar. Itu saja.

 

 “Oke, Adelia.” Perempuan bertubuh mungil itu menarik napas dalam-dalam. “Karena untuk saat ini kau tidak bisa mengingat apa pun, bagaimana kalau pulang saja dulu.”

 

 “Benar.” Adel mengangguk yakin, setelah diam beberapa menit. “Pulang saja dulu karena hari ini ada jadwal kuliah, lagi pula sekarang sudah jam ....”

 

 “DEMI TUHAN.” Adelia langsung berteriak ketika melihat jam pintar yang masih tersemat di pergelangan tangannya. “Ini sudah jam sembilan?”

 

 Dengan gerakan tergesa, Adelia segera bangun dan mencari pakaiannya. “Aduh! Bajuku ke mana sih?”

 

 Perempuan yang masih menggunakan selimut untuk menutupi tubuhnya, bisa menemukan pakaian dalamnya. Sayang, pakaian yang lain tidak ditemukan. Hanya ada sebuah kemeja putih yang tergeletak di atas nakas.

 

 “Aku pinjam dulu ya.” Mau tidak mau, Adel mengambil kemeja putih kebesaran itu dan memakainya dengan ikat pinggang yang juga dia temukan di atas nakas.

 

 “Oh, My God.” Adel kembali mengeluh ketika membuka dompet dan nyaris tidak menemukan uang di sana.

 

 “Aku kasih segini saja dulu, gak apa-apa kali ya.” Adel meletakkan uang lembaran berwarna merah sebanyak lima lembar di atas nakas.

 

 “Kasih nomor telepon saja deh, kali aja kurang,” gumam perempuan itu, sembari mencatat nomor ponselnya pada kertas catatan hotel, sebelum akhirnya berlalu pergi.

 

 Ketika Adelia masuk ke dalam lift untuk turun, lift yang ada di sebelahnya terbuka. Dari sana, keluarlah Delano yang menenteng sebuah kantong dan kemudian berjalan santai ke dalam kamar yang baru Adelia tinggalkan.

 

 “Loh, mbaknya sudah pergi?” Lelaki itu bergumam pelan, sembari menatap ke sekelilingnya.

 

 “Kok malah ada uang di sini?” Delano memungut uang, beserta dengan catatan yang ditinggalkan.

 

 “Maaf, Om. Aku gak ingat siapa, Om dan apa yang terjadi kemarin. Tapi kuharap, uang itu cukup untuk mengganti waktu, Om. Kalau kurang, boleh kirim WA ke nomorku. Sekalian bajuku juga dibawakan kalau bisa Untuk baju Om aku pinjam dulu, nanti sekalian dikembalikan.”

 

 Itulah isi pesannya yang membuat Delano mendesah pelan, sambil menatap kantongan yang dia pegang.

 

 ***

 

 “Makasih ya, Pak.” Adelia meneriakkan kalimat itu, ketika satpam rumah membantunya membuka dan menutup pintu pagar, agar mobilnya bisa masuk.

 

 “Adelia.” Panggilan itu terdengar, ketika yang empunya nama baru saja menutup pintu mobil. “Kamu dari mana saja? Kenapa semalam tidak pulang?”

 

 “Ngapain kamu di sini?” Adel, langsung bertanya dengan nada tidak suka. Yang menyambutnya adalah si pengkhianat yang telah berselingkuh dengan ayahnya.

 

 “Aku sudah mulai tinggal di sini,” jawab sang mantan sahabat dengan ringisan pelan. “Mungkin akan sulit untukmu, tapi bertahanlah.”

 

 “Bertahan?” hardik Adelia dengan raut wajah kesal. “Ini adalah rumahku, jelas saja aku yang akan bertahan di sini dan kau yang akan angkat kaki.”

 

 “Tapi aku gak mungkin pergi, Del. Aku lagi hamil anak papamu dan ....”

 

 “Persetan dengan anak haram itu.” Adelia memotong kalimat perempuan di depannya.

 

 “Adel, jangan seperti itu. Biar bagaimana, bayi ini juga adikmu.” Sang mantan sahabat, mengejar Adelia yang sudah beranjak masuk ke rumah. “Aku tahu aku salah, tapi anak ini tidak bersalah.

 

 “Aku tidak mau peduli tentangmu atau tentang anak itu. Mau dia bersalah atau tidak, kalian tidak diterima di rumahku.” Adel tentu saja akan menghardik balik.

 

 “Tapi papamu yang memintaku tinggal di sini.”

 

 “Tempat kalian bukan di sini, jadi kuharap kau bisa segera pergi dan aku akan mengatakan ini pada papa. Satu minggu adalah waktumu, Bella. Berterima kasihlah karena aku masih mau menampungmu, walau sebentar.”

 

 Setelah mengatakan itu semua, Adelia bergegas masuk ke kamarnya. Bahkan suara bantingan pintu kamar yang ada di lantai dua itu terdengar keras sampai ke bawah.

 

 “Menyebalkan sekali.” Perempuan yang dipanggil Bel tadi menggerutu. “Kenapa dia sulit sekali dikendalikan sih? Padahal aku kan akan jadi mama tirinya. Lagian, kenapa dia hanya pakai kemeja putih?”

 

 Bella menatap pintu kamar calon putri sambung yang seumuran dengannya itu, sampai muncul ide gila di kepalanya. “Jangan-jangan, itu baju lelaki.”

 

 “Apa dia menginap dengan lelaki?” gumam Bella terlihat begitu antusias. “Aku harus melaporkan ini pada daddy.”

 

 Perempuan yang sedang hamil muda itu, dengan cepat merogoh kantong celananya. Dia mengambil ponsel untuk menelepon lelaki paruh baya yang dia panggil daddy itu.

 

 “Daddy,” panggil Bella dengan sangat manja.

 

 “Kenapa, Sayang?”

 

 “Daddy tahu gak kalau si Adelia barusan pulang jam segini?”

 

 “Oh, akhirnya dia pulang juga.” Di seberang sana, papa Adelia terlihat begitu marah. Dia sampai perlu melonggarkan dasi, bahkan berdiri dari kursi kerjanya.

 

 “Iya dan parahnya, Adel pulang gak pakai baju dia yang kemarin.” Bella terus mengompori.

 

 “Maksudnya?”

 

 “Bajunya yang kemarin gak tahu ke mana. Tadi dia hanya pakai kemeja putih kebesaran dan ikat pinggang. Sepertinya sih punya lelaki.”

 

 Yang didengar Bella selanjutnya adalah suara keras yang membuatnya terlonjak. Sepertinya sang daddy habis memukul sesuatu saking marahnya.

 

 “Daddy jangan marah dong. Bella gak suka.” Tiba-tiba saja perempuan itu merajuk dengan manja. “Lagi pula, wajar kalau Adelia tiba-tiba memberontak. Dia pasti melakukan itu karena aku.”

 

 “Dengar, Bella.” Suara daddy terdengar lebih lembut. “Jangan pernah menyalahkan dirimu. Adelia seperti itu bukan karenamu. Dia seperti itu karena itu memang tabiatnya. Kamu tidak perlu sedih.”

 

 “Tapi nanti jangan hukum dia ya. Aku takut kalau Adel jadi makin benci padaku.”

 

 “Kalau dia salah, dia harus dihukum. Daddy jamin kalau dia tidak akan pernah bisa marah padamu.”

 

 Mendengar itu, Bella tersenyum puas. Setidaknya untuk saat ini, dia masih di atas angin. Dia pun akhirnya memutuskan panggilan, setelah lawan bicaranya mengatakan akan pergi rapat.

 

 “Hei, kau.” Sang daddy memanggil salah satu office boy yang baru saja lewat di depan ruangannya.

 

 “Ya, Pak.” Seorang lelaki tinghi datang menghampiri.

 

 “Siapa namamu?”

 

 “Nama saya Delano, Pak.”

 

 “Namanya bagus, tapi kok jadi office boy sih?Tolong buatkan aku kopi ya.”

 

 Delano tak mengatakan apa-apa dan hanya mengangguk saja. Namun, ada yang mengganggu pikirannya.

 

 “Rasanya aku kemarin aku bertemu bapak yang tadi, tapi di mana ya?” gumam lelaki dengan seragam office boy itu.

 

***To Be Continued***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!