NovelToon NovelToon

Bukan Sugar Baby (Mommy)

Sleep With Me

 “KENAPA KALIAN SETEGA INI?”

 Suara teriakan itu begitu keras. Rasanya mampu membuat seisi restoran mendengarnya, walau teriakan itu berasal dari ruang VIP. 

 “Adel, kecilkan suaramu. Orang-orang bisa mendengarnya.”

 “Kenapa?” tanya perempuan mungil bernama Adel ini. “Takut kalau orang-orang tahu kalau Papa ternyata selingkuh dan menyebabkan mama kepikiran, sampai sakit dan meninggal.”

 “ADEL.” Pria akhir empat puluhan yang dipanggil papa itu pada akhirnya berteriak untuk menegur putri semata wayangnya.

 “Kamu itu temanku, Tin. Kamu sahabatku sejak kita SMP, tapi kamu tega ngambil papaku dari mamaku?” Kali ini Adel beralih pada perempuan muda yang duduk di sebelah sang papa.

 “Maafin aku, Del. Kami hanya khilaf.”

 “Khilaf? Jangan membuatku tertawa. Tidak ada yang namanya khilaf ketika kalian berdua sampai selingkuh bertahun-tahun, bahkan sampai punya anak.” 

 “Adel. Sopanlah sedikit. Dia nanti akan jadi ibu sambungmu.” Sang papa kini berusaha membujuk dengan cara lebih lembut. “Anak itu pun akan jadi adikmu.”

 

 “Luar biasa sekali.” Adelia Lesmana, kini tertawa. “Ini bahkan belum sebulan sejak kematian mama dan kalian sudah membicarakan pernikahan? Jangan-jangan kalian sengaja ya membunuh mamaku?”

 Tanpa bisa dicegah lagi, sang papa berdiri dan melayangkan tangannya begitu saja, pada pipi Adel. Bahkan dia sendiri pun sampai terkejut setelah itu semua terjadi.

 “Adel. Kamu tidak apa-apa, Nak?”

 Sang papa yang langsung menyesal, menghampiri putrinya. Sayang sekali, Adelia tidak mau menerima pertolongan apa pun. Dia bahkan tak segan menepis tangan sang ayah dengan kasar.

 “Aku tidak sudi menerima pelacur ini dan anak haram itu,” desis Adelia penuh kemarahan. “Papa harus camkan ini. Kalau kalian sampai menikah, aku bersumpah akan membuat kalian malu.”

 Setelah mengungkapkan semua itu, Adelia segera mengambil tas tangan yang dibawanya dan berlari keluar. Perempuan muda yang bahkan belum dua puluh itu, memilih untuk menulikan telinga dari teriakan sang papa.

 Bahkan setelah duduk di atas mobilnya pun, Adelia masih sangat marah dan rasanya ingin memukul sesuatu. Kemudi mobil yang menjadi pelampiasan, disertai dengan teriakan penuh makian.

 “Dasar ****** sialan. Bisa-bisanya aku tidak sadar kalau dia main sama papaku sendiri.” Adelia meneriakkan itu, sambil melihat ke kaca spion.

 “Coba lihat. Papa bahkan tidak mengejarku dan lebih memilih untuk bersama ****** itu.” Mulut Adel yang jarang memaki, hari ini memaki dengan sangat lancar.

 Mata Adelia kemudian menatap ke dashboard mobilnya. Dia tak sengaja melihat kartu nama klub malam yang ditinggalkan salah satu temannya dan mengambil benda itu dengan kasar.

 “Heaven ya,” bisik Adelia dengan tatapan fokus pada kartu nama itu. “Baiklah. Sebentar lagi aku dua puluh tahun, harusnya tidak masalah kalau aku ke sana.”

 *** 

 “DELANO.”

 “Ya, Pak.” Lelaki yang bernama Delano itu segera menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Terdengar samar, tapi masih bisa dia dengar.

 “Coba antarkan ini ke meja sebelah sana dan tolong berhenti memanggilku, Pak. Kau bahkan lebih tua dariku.” 

 “He... he... he... Tapi kau kan bisa dibilang atasanku di sini,” jawab Delano dengan senyum lebar.

 “Atasan gundulmu. Aku hanya bartender di sini dan kau juga hanya pegawai pengganti. Lagi pula, jangan terlalu merendah.”

 Tak ada lagi yang dikatakan Delano. Dia hanya bisa pamit untuk segera mengantarkan dua botol minuman untuk tamu klub bernama Heaven itu.

 Suasana klub itu terlihat sangat ramai, walau besok masih hari kerja. Tampaknya, orang-orang tidak peduli kalau mereka akan terlambat ke kantor besok. Yang penting adalah bersenang-senang.

 “Permisi. Pesan Pinot Noir?” Lelaki yang tampak seperti baru berumur akhir dua puluhan itu, bertanya pada seorang perempuan yang duduk sendiri di sofa.

 “YA.” Perempuan berambut cokelat panjang itu berteriak dengan lantang. “Aku memesan dua botol.”

 “Kamu yakin pesan dua botol? Apakah nanti temannya akan datang atau mereka sedang ke toilet?” Delano agak ragu menyerahkan dua botol wine itu karena melihat perempuan di depannya sudah mabuk. 

 “Aku tidak punya teman lagi. Dia dengan kurang ajarnya mengambil papa dari mama,” jawab perempuan dengan rok mini dan crop top yang dilapisi jaket senada dengan warna roknya.

 Sungguh, Delano sangat ragu memberikan pesanan perempuan tadi. Namun, dia tidak bisa melakukan apa-apa, terutama karena dia sudah ada panggilan lain lagi.

 “Nona.” Delano memanggil perempuan mabuk itu. “Setelah ini, tolong telepon seseorang dan minta dijemput ya.”

 “Aku tidak mau,” hardik perempuan itu dengan raut marah yang justru terlihat imut. “Sebelum aku menemukan seseorang untuk kutiduri, aku tidak mau pergi.”

 “Hei.” Delano segera melihat ke kiri dan kanan, meyakinkan dirinya tidak ada yang mendengar omongan perempuan itu. “Tolong jangan katakan hal seperti itu, di tempat seperti ini.”

 “Kenapa?” tanya perempuan itu dengan bibir mencebik. “Itu memang tujuanku datang ke sini.”

 “Hei, anak pengganti.” Seseorang menyapa Delano. “Jangan terus berdiri di sini, bantu di sana juga.”

 “Ya, aku akan segera ke sana.” Mau tidak mau, Delano harus pergi. Namun, dia sempat mengingatkan perempuan muda itu sebelum pergi.

 “Hei cantik.” Sayangnya, sebelum Delano benar-benar beranjak, seorang lelaki mendatangi perempuan tadi.

 “Siapa namamu?”

 “Adelia Lesmana,” jawab perempuan itu dengan mudahnya. “Kakak sendiri sudah umur berapa?”

 “Belum tiga puluh kok. Mau kan main bareng kakak?”

 “Aih, gak mau.” Adek dengan cepat menggeleng. “Terlalu muda.”

 “Oh, salah ingat. Rupanya aku sudah tiga puluh lima.” Lelaki tadi dengan cepat meralat, rupanya otaknya masih bekerja walau terlihat mabuk.

 “Kalau begitu....”

 “Maaf.” Sebelum Adelia menyelesaikan kalimatnya, Delano segera menarik perempuan itu. “Dia bersama saya.”

 Beruntung lelaki tadi sudah sedikit manuk dan ruangan agak gelap. Lelaki itu tidak menyadari Delano yang memakai seragam pelayan klub malam ternama itu. Terutama karena tubuh Adelia, menutupi sebagian dirinya.

 “Kakak ini kenapa sih?” tanya Adelia segera berbalik dan memukul dada penolongnya. “Kenapa Om tadi diusir?”

 “Sebaiknya kamu telepon orang rumah ya.” Delano masih membujuk. “Suruh jemput.”

 “Gak mau. Adel kan udah bilang gak bakal pulang kalau belum ketemu om-om,” jawabnya dengan wajah cemberut.

 “Astaga! Anak ini kenapa sih?” batin lelaki berseragam itu tidak habis pikir.

 “Kamu umur berapa?” Tiba-tiba saja Adelia bertanya.

 “Tiga puluh tiga.” Delano menjawab dengan refleks.

 “Lumayan.” Adelia mengangguk setuju. “Ganteng juga.”

 “Om mau sama aku kan?” tanya Adelia terlihat cukup antusias. “Nanti aku yang bayarin semuanya kok.”

 “Hah?”

 “Ck. Apa perlu aku yang mulai duluan?” Adelia bergumam seorang diri dan tanpa aba-aba, perempuan itu berjinjit.

 Adelia meraih kerah kemeja lelaki tinggi di depannya, memaksa Delano untuk membungkuk. Dia kemudian menempelkan bibir mungilnya, pada bibir Delano. Membuat lelaki itu terkejut setengah mati.

 “Om, tidur sama aku ya. Please.”

 

***To Be Continued***

Mengadu

 “Aduh kepalaku.” Adel menggumamkan kalimat itu, sambil memegang kepalanya.

 

 “Sepertinya semalam aku kebanyakan minum deh. Dasar sialan.” Perempuan mungil itu tak henti menggerutu.

 

 Merasa masih perlu beristirahat lebih lama, Adelia Lesmana berguling ke samping. Dia yang merasa kedinginan, lantas menarik selimutnya lebih rapat lagi. Saat itulah dia menyadari sesuatu.

 

 Dengan gerakan super cepat, perempuan dengan rambut kecokelatan itu bangun dari posisi tidurnya. Dia tidak melepas tangan dari selimut karena merasakan keanehan.

 

 “OMG,” pekik perempuan mungil itu, ketika menemukan dirinya tanpa sehelai benang pun. “Aku beneran tidur sama om-om?”

 

 Adelia memegang kepalanya dengan sebelah tangan. Berusaha untuk mengingat apa saja yang terjadi semalam, tapi yang dia ingat hanyalah bertemu dengan dua orang lelaki. Salah satunya, membawa Adel ke kamar. Itu saja.

 

 “Oke, Adelia.” Perempuan bertubuh mungil itu menarik napas dalam-dalam. “Karena untuk saat ini kau tidak bisa mengingat apa pun, bagaimana kalau pulang saja dulu.”

 

 “Benar.” Adel mengangguk yakin, setelah diam beberapa menit. “Pulang saja dulu karena hari ini ada jadwal kuliah, lagi pula sekarang sudah jam ....”

 

 “DEMI TUHAN.” Adelia langsung berteriak ketika melihat jam pintar yang masih tersemat di pergelangan tangannya. “Ini sudah jam sembilan?”

 

 Dengan gerakan tergesa, Adelia segera bangun dan mencari pakaiannya. “Aduh! Bajuku ke mana sih?”

 

 Perempuan yang masih menggunakan selimut untuk menutupi tubuhnya, bisa menemukan pakaian dalamnya. Sayang, pakaian yang lain tidak ditemukan. Hanya ada sebuah kemeja putih yang tergeletak di atas nakas.

 

 “Aku pinjam dulu ya.” Mau tidak mau, Adel mengambil kemeja putih kebesaran itu dan memakainya dengan ikat pinggang yang juga dia temukan di atas nakas.

 

 “Oh, My God.” Adel kembali mengeluh ketika membuka dompet dan nyaris tidak menemukan uang di sana.

 

 “Aku kasih segini saja dulu, gak apa-apa kali ya.” Adel meletakkan uang lembaran berwarna merah sebanyak lima lembar di atas nakas.

 

 “Kasih nomor telepon saja deh, kali aja kurang,” gumam perempuan itu, sembari mencatat nomor ponselnya pada kertas catatan hotel, sebelum akhirnya berlalu pergi.

 

 Ketika Adelia masuk ke dalam lift untuk turun, lift yang ada di sebelahnya terbuka. Dari sana, keluarlah Delano yang menenteng sebuah kantong dan kemudian berjalan santai ke dalam kamar yang baru Adelia tinggalkan.

 

 “Loh, mbaknya sudah pergi?” Lelaki itu bergumam pelan, sembari menatap ke sekelilingnya.

 

 “Kok malah ada uang di sini?” Delano memungut uang, beserta dengan catatan yang ditinggalkan.

 

 “Maaf, Om. Aku gak ingat siapa, Om dan apa yang terjadi kemarin. Tapi kuharap, uang itu cukup untuk mengganti waktu, Om. Kalau kurang, boleh kirim WA ke nomorku. Sekalian bajuku juga dibawakan kalau bisa Untuk baju Om aku pinjam dulu, nanti sekalian dikembalikan.”

 

 Itulah isi pesannya yang membuat Delano mendesah pelan, sambil menatap kantongan yang dia pegang.

 

 ***

 

 “Makasih ya, Pak.” Adelia meneriakkan kalimat itu, ketika satpam rumah membantunya membuka dan menutup pintu pagar, agar mobilnya bisa masuk.

 

 “Adelia.” Panggilan itu terdengar, ketika yang empunya nama baru saja menutup pintu mobil. “Kamu dari mana saja? Kenapa semalam tidak pulang?”

 

 “Ngapain kamu di sini?” Adel, langsung bertanya dengan nada tidak suka. Yang menyambutnya adalah si pengkhianat yang telah berselingkuh dengan ayahnya.

 

 “Aku sudah mulai tinggal di sini,” jawab sang mantan sahabat dengan ringisan pelan. “Mungkin akan sulit untukmu, tapi bertahanlah.”

 

 “Bertahan?” hardik Adelia dengan raut wajah kesal. “Ini adalah rumahku, jelas saja aku yang akan bertahan di sini dan kau yang akan angkat kaki.”

 

 “Tapi aku gak mungkin pergi, Del. Aku lagi hamil anak papamu dan ....”

 

 “Persetan dengan anak haram itu.” Adelia memotong kalimat perempuan di depannya.

 

 “Adel, jangan seperti itu. Biar bagaimana, bayi ini juga adikmu.” Sang mantan sahabat, mengejar Adelia yang sudah beranjak masuk ke rumah. “Aku tahu aku salah, tapi anak ini tidak bersalah.

 

 “Aku tidak mau peduli tentangmu atau tentang anak itu. Mau dia bersalah atau tidak, kalian tidak diterima di rumahku.” Adel tentu saja akan menghardik balik.

 

 “Tapi papamu yang memintaku tinggal di sini.”

 

 “Tempat kalian bukan di sini, jadi kuharap kau bisa segera pergi dan aku akan mengatakan ini pada papa. Satu minggu adalah waktumu, Bella. Berterima kasihlah karena aku masih mau menampungmu, walau sebentar.”

 

 Setelah mengatakan itu semua, Adelia bergegas masuk ke kamarnya. Bahkan suara bantingan pintu kamar yang ada di lantai dua itu terdengar keras sampai ke bawah.

 

 “Menyebalkan sekali.” Perempuan yang dipanggil Bel tadi menggerutu. “Kenapa dia sulit sekali dikendalikan sih? Padahal aku kan akan jadi mama tirinya. Lagian, kenapa dia hanya pakai kemeja putih?”

 

 Bella menatap pintu kamar calon putri sambung yang seumuran dengannya itu, sampai muncul ide gila di kepalanya. “Jangan-jangan, itu baju lelaki.”

 

 “Apa dia menginap dengan lelaki?” gumam Bella terlihat begitu antusias. “Aku harus melaporkan ini pada daddy.”

 

 Perempuan yang sedang hamil muda itu, dengan cepat merogoh kantong celananya. Dia mengambil ponsel untuk menelepon lelaki paruh baya yang dia panggil daddy itu.

 

 “Daddy,” panggil Bella dengan sangat manja.

 

 “Kenapa, Sayang?”

 

 “Daddy tahu gak kalau si Adelia barusan pulang jam segini?”

 

 “Oh, akhirnya dia pulang juga.” Di seberang sana, papa Adelia terlihat begitu marah. Dia sampai perlu melonggarkan dasi, bahkan berdiri dari kursi kerjanya.

 

 “Iya dan parahnya, Adel pulang gak pakai baju dia yang kemarin.” Bella terus mengompori.

 

 “Maksudnya?”

 

 “Bajunya yang kemarin gak tahu ke mana. Tadi dia hanya pakai kemeja putih kebesaran dan ikat pinggang. Sepertinya sih punya lelaki.”

 

 Yang didengar Bella selanjutnya adalah suara keras yang membuatnya terlonjak. Sepertinya sang daddy habis memukul sesuatu saking marahnya.

 

 “Daddy jangan marah dong. Bella gak suka.” Tiba-tiba saja perempuan itu merajuk dengan manja. “Lagi pula, wajar kalau Adelia tiba-tiba memberontak. Dia pasti melakukan itu karena aku.”

 

 “Dengar, Bella.” Suara daddy terdengar lebih lembut. “Jangan pernah menyalahkan dirimu. Adelia seperti itu bukan karenamu. Dia seperti itu karena itu memang tabiatnya. Kamu tidak perlu sedih.”

 

 “Tapi nanti jangan hukum dia ya. Aku takut kalau Adel jadi makin benci padaku.”

 

 “Kalau dia salah, dia harus dihukum. Daddy jamin kalau dia tidak akan pernah bisa marah padamu.”

 

 Mendengar itu, Bella tersenyum puas. Setidaknya untuk saat ini, dia masih di atas angin. Dia pun akhirnya memutuskan panggilan, setelah lawan bicaranya mengatakan akan pergi rapat.

 

 “Hei, kau.” Sang daddy memanggil salah satu office boy yang baru saja lewat di depan ruangannya.

 

 “Ya, Pak.” Seorang lelaki tinghi datang menghampiri.

 

 “Siapa namamu?”

 

 “Nama saya Delano, Pak.”

 

 “Namanya bagus, tapi kok jadi office boy sih?Tolong buatkan aku kopi ya.”

 

 Delano tak mengatakan apa-apa dan hanya mengangguk saja. Namun, ada yang mengganggu pikirannya.

 

 “Rasanya aku kemarin aku bertemu bapak yang tadi, tapi di mana ya?” gumam lelaki dengan seragam office boy itu.

 

***To Be Continued***

Penawaran

 [+628xxxxxxxxxx: Selamat siang, Mbak. Saya Delano. Saya tadi dapat nomor teleponnya di Heaven. Ini saya mau mengembalikan baju dan uangnya.]

 

 “Ini orang kenapa sih?” gumam Adel menatap layar ponselnya. “Apa ini modus baru penipuan?”

 

 “Apanya yang penipuan?” Seorang perempuan berambut pendek, tiba-tiba saja memukul pundak Adelia.

 

 “Aduh! Bisa pelan-pelan sedikit gak sih, Pop? Sakit tahu.” Adel langsung menepis tangan teman kuliahnya itu.

 

 “Kayak gak tahu aja, Del. Dia ini kan namanya aja yang cewek, tapi tenaganya itu cowok.” Seorang lelaki kemayu kini ikut datang menghampiri.

 

 Perempuan berambut pendek itu, tentu saja langsung kesal dengan apa yang dikatakan sahabat kemayunya itu. Alhasil, dia memukuli teman kemayunya itu.

 

 Jelas saja itu membuat Adel tertawa. Dia selalu suka dengan kelucuan dua orang temannya itu, walau mereka belum berteman lama.

 

 “Apa yang kau lihat di ponsel?” Si rambut pendek kembali bertanya.

 

 “Om-om yang kemarin malam menemaniku, kirim chat,” jawab Adel tidak peduli dengan apa yang mungkin teman-temannya katakan.

 

 “Hah? Om-om?” Si kemayu memeking kaget dan itu membuat si tomboy langsung memukul mulut lelaki kemayu itu.

 

 “Bisa jangan keras-keras gak sih?” desis perempuan berambut pendek itu.

 

 “Aku gak masalah kalau kalian bicara keras-keras.” Adelia mengedikkan bahu. “Lagi pula, aku berniat agar semua orang tahu dan membuat papaku malu.”

 

 Tentu saja dua orang teman Adel itu jadi bingung sendiri. Memang banyak yang jadi sugar baby, tapi mereka semua menyembunyikan fakta itu. Lagi pula, Adelia itu orang kaya. Untuk apa pula dia dipelihara sama om-om.

 

 Tak ingin kedua temannya penasaran lebih lama, Adelia pun menceritakan semuanya. Kebetulan mereka juga mengenal Bella, jadi rasanya tidak masalah.

 

 “Dasar perempuan gila. Gatel banget sih jadi orang.”

 

 “Kalau aku jadi kau, sudah pasti aku akan mencekiknya sampai mati. Minimal gugurin tuh kandungannya.”

 

 Dua orang itu, berkomentar secara bergantian. Itu lagi-lagi, membuat Adelia tertawa lepas. Untung saja sekarang masih belum jam masuk kelas.

 

 “Terus, si Om ini bagaimana?” Lelaki kemayu yang duduk di sebelah Adelia bertanya, sambil menunjuk ke ponsel.

 

 “Nanti aku mau suruh dia ke rumah saja. Sekalian bikin papa marah dan cari tahu apa dia bisa dimanfaatkan atau tidak,” ucap perempuan dengan rambut kecokelatan itu dengan serius.

 

 “Kau juga sama gilanya.”

 

 “Biarin.” Adel memberikan senyuman, pada si tomboy yang duduk di depannya.

 

 ***

 

 [Miss Heaven: Aku akan kirim lokasinya. Nanti kau bisa datang jam delapan malam, tidak boleh kurang dari itu.]

 

 Delano menatap ponselnya. Dia sudah menerima lokasinya dan bahkan sudah berada di depan rumah yang dimaksud. Delano juga sudah mengirim pesan, tapi belum juga dibalas.

 

 “Maaf, Mas. Cari siapa ya?” Seorang satpam akhirnya keluar, setelah melihat Delano lama di depan.

 

 “Anu, Pak. Saya nyari yang punya rumah ini.” Delano hanya bisa mengatakan seperti itu karena memang tidak mengetahui nama yang empunya rumah.

 

 “Kalau bapak sih belum pulang. Kalau Non Adel atau Non Bella sih ada di rumah.” Pak satpam memberi tahu.

 

 Lelaki tinggi dengan rambut cepak itu tidak mengenali dua nama perempuan yang disebut. Itu membuatnya menggaruk kepala dengan bingung, sampai akhirnya terdengar suara derap langkah dari balik pagar.

 

 “Cari siapa ya, Mas?” Giliran Bella yang keluar dan bertanya.

 

 Perempuan dengan rambut sebahu itu, kebetulan sedang mengintip dari jendela kamarnya yang menghadap ke jalanan. Di sana, dia bisa melihat pak satpam bicara dengan seseorang dan sudah cukup lama.

 

 “Itu, No .... Eh, maksud saya Nyonya Bella. Mas ini nyari yang punya rumah katanya.” Si satpam jadi gelagapan karena sempat salah ucap, bahkan sampai dipelototi.

 

 “Mbaknya yang atas nama Bella ya?” Delano menanyakan itu dengan senyum lebar. “Kalau begitu saya cari yang namanya Adel.”

 

 “Orangnya agak kecil, terus rambutnya bergelombang gitu,” lanjut Delano masih dengan senyumannya.

 

 Jujur saja, Bella sama sekali tidak suka ada seorang lelaki yang mencari Adelia. Apalagi yang datang itu, adalah lelaki tampan yang masih cukup muda. Dirinya saja harus mencari om-om, masa Adel bisa langsung mendapat lelaki muda tampan?

 

 “Memangnya ada masalah apa dengan Adel?” tanya Bella dengan ketus. “Dia lagi gak ada.”

 

 “Loh, tadi pak satpamnya bilang ada di rumah. Terus ini saya juga disuruh datang jam segini.” Delano tidak keberatan memperlihatkan isi chatnya dengan Adel.

 

 Baru juga Bella ingin melihat isi room chat itu, tiba-tiba saja ada tangan yang merebut ponsel Delano. Tentu saja orang itu adalah Adelia yang baru saja sampai dengan menggunakan pakaian rumahannya.

 

 “Ngapain sih kamu ikut campur urusan orang?” tanya Adel dengan ketus.

 

 “Aduh, Adel! Jangan bikin kaget gitu dong.” Bella pura-pura terkejut. “Lagi pula, ini masnya yang kasih lihat isi chat kalian. Bukan aku yang minta.”

 

 “Aku sudah ada di sini, jadi silakan masuk kembali. Kami mau ngobrol berdua,” tegas Adelia, masih mencoba untuk menahan diri.

 

 Baru juga Bella mau menjawab, tapi suara klakson terdengar. Sebuah mobil sedan berwarna hitamlah pelakunya. Itu adalah mobil papanya Adelia yang baru saja pulang dari kantor.

 

 “Kenapa pada di luar?” Pria paruh baya itu pada akhirnya keluar dari mobil dan memberikan kunci pada satpam. “Kalau ada tamu, ngobrolnya di dalam dong.

 

 “Malam, Pak.” Delano refleks menyapa dengan bungkukan sopan. “Bapak tinggal di sini ya?”

 

 Papa Adelia tidak langsung menjawab dan membuat dua perempuan di depannya jadi bingung. Sepertinya lelaki itu perlu berpikir sesaat untuk mengingat, siapa lelaki muda di depannya itu.

 

 “Kamu bukannya OB yang di kantor ya?”

 

  “Benar, Pak. Saya yang namanya Delano.”

 

 Adel melirik dua orang lelaki yang tengah bicara itu. Jujur saja, ini adalah kejutan bagi Adelia. Dia berpikir kemarin sudah tidur dengan om-om kaya, tapi rupanya hanya office boy? Yang benar saja.

 

 “Tunggu dulu. Kamu office boy di kantor papaku?” tanya Adel untuk memastikan saja. “Sudah berapa lama?”

 

 “Iya, Non. Belum setahun sih.” Delano tentu saja akan menjawab dengan sopan karena yang bertanya adalah anak direktur.

 

 “Kebetulan sekali. Ada yang mau kubicarakan dengan kamu.” Tiba-tiba saja, Adel punya ide yang cemerlang. “Ikut aku.”

 

 Tanpa meminta izin, Adel langsung menarik tangan lelaki yang bahkan lebih tinggi dari papanya itu. Mereka tidak pergi jauh. Hanya di teras saja dan Adel hanya perlu waktu sebentar untuk bicara berdua.

 

 “Aku langsung saja ya, Om.” Adel langsung berbicara, tanpa membiarkan Delano mengatakan sepatah kata pun. “Mau jadi sugar babyku?”

 

 “Hah?”

 

 “Oh, salah maaf.” Adel menepuk keningnya. “Aduh! Gimana ngomongnya ya? Pokoknya kita menjalin hubungan. Kau jadi pacarku dan aku akan membayarmu. Bagaimana?”

 

***To Be Continued***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!