Frontal

 “Hai, semua. Kebetulan banget bisa ketemu di sini.” Bella melambai dengan ceria.

 Perempuan itu memang mengenal semua teman Adelia yang tidak terlalu banyak itu. Sayangnya, kini tidak ada yang terlihat suka dengan perempuan itu.

 “Mau ngapain sih ke sinis?” Marcel yang paling pertama mencibir. “Di sini kampus. Bukan tempat buat godaiin om-om.”

 “Iya. Aku tahu ini kampus.” Bella menjawab, sembari menahan geraman. “Aku ke sini untuk melihat-lihat kampus masa depan, sekalian mau nebeng pulang dengan Adel.”

 “Sorry?” Mendengar kalimat musuhnya, Adel tentu saja mendelik. “Kampus masa depan?”

 “Iya.” Bella mengangguk antusias. “Daddy Aditya sudah menjanjikan itu. Katanya tidak masalah kuliah walau hamil atau setelah melahirkan.”

 Adelia mengepalkan tangannya mendengar semua itu. Padahal dulu sang ayah sempat melarang dirinya kuliah dab langsung mengambil alih perusahaan saja.

 Memang bukan hal yang aneh, tapi Adelia  ingin sekolah. Dia ingin minimal punya gelar sarjana, sebelum mulai bekerja. Lalu sekarang, tiba-tiba sang ayah ingin menyekolahkan Bella?

 “Aku bisa nebeng pulang kan, Del?” Bella bertanya karena tadi tidak mendapat jawaban.

 “Gak bisa,” jawab Adelia dengan tegas.

 “Loh, kok gitu?” Bella mulai terlihat cemberut. “Aku kan gak bisa bawa mobil.”

 “Pesan taksi online, Neng.” Kali ini, Poppy yang berbicara dengan ketus. “Lagian, hari ini Adel gak pakai mobil. Dia diantar pacarnya.”

 Di bawah meja, Adel segera menendang kaki sahabatnya. Dia memang berniat menggunakan Delano, tapi belum mau mengungkapnya sekarang. Lagi pula, tadi Adelia keluar rumah dengan mobil.

 “Tadi kan Adelia keluar rumah pakai mobil.” Rupanya, Bella juga menyadari hal itu. “Terus mobilnya sekarang ke mana?”

 “Pacarku yang pakai,” balas Adel, terpaksa berbohong. “Ada masalah dengan itu?”

 “Kok pacarmu yang pakai sih? Memangnya dia tidak ada kendaraan?” Bella lagi yang berbicara. Dia sepertinya tidak senang dengan fakta itu.

 “Mobil itu punyaku.” Kini, Adelia tak segan menghardik. “Mau kupinjamkan pada siapa pun itu urusanku.”

 “Mobilnya mungkin atas namamu, tapi uangnya kan dari papamu. Setidaknya hargai pemberian orang tua.”

 “Lalu apa kalian berdua menghargai mamaku?” Adelia tiba-tiba saja menjadi marah dan langsung berdiri dari duduknya.

 “Kau mengambil papaku, ketika mama masih sehat. Ketika mama sudah gak ada, kalian langsung mau menggantikan posisinya begitu saja. Sebelum mengajari tentang menghargai, sebaiknya kau pelajari dulu sendiri.”

 Setelah berceloteh panjang lebar, Adelia bergegas meninggalkan kantin. Dia bahkan menabrak bahu Bella dan meninggalkan makanan yang sudah dia pesan. Dua sahabatnya yang lain pun melakukan hal yang sama.

 Sementara itu Bella terlihat sedikit panik. Pasalnya, beberapa orang mulai melihat dirinya karena suara Adelia cukup keras. Dari pada malu, Bella pada akhirnya segera pergi juga.

 ***

 “Ini beneran perjanjian gak sih?” Delano bergumam pelan, selepas lembur. Dia sedang membaca draft kontrak dari Adelia.

 “Kencan, skinship seperlunya, dibayar berdasarkan kepuasan pelanggan.” Delano membaca inti dari perjanjian itu.

 “No. Boleh anterin aku pulang gak?” Tiba-tiba saja Wulan yang ikut lembur bertanya.

 “Maaf, tapi aku gak bisa.” Si office boy ganteng langsung menolak. “Aku ada urusan lain.”

 “Yah. Padahal kan motorku rusak dan tinggal kita berdua di kantor.”

 “Maaf, tapi betulan gak bisa. Soalnya aku harus mengembalikan barang punya orang dan itu barang mahal, jadi harus segera.” Delano meringis ketika mengatakan itu.

 Walau tidak rela, pada akhirnya Wulan mengiyakan. Sebagai gantinya, Delano mengantarkan perempuan itu untuk mengambil angkot.

 Niat awalnya seperti itu, tapi itu pun terancam batal. Semua karena Delano bisa melihat Adelia yang baru saja turun dari sebuah mobil dan melambai ke arahnya.

 “Daddy.” Perempuan muda berambut panjang itu tak segan untuk memanggil, bahkan langsung menggandeng lengan. “Kenapa hari ini lama pulang sih? Lembur ya?”

 “Non sendiri ngapain?” tanya lelaki yang tengah diapit oleh dua orang perempuan itu dengan canggung.

 “Aku tadi habis dari kos dan kata om yang satu bilang kalau Daddy belum pulang. Makanya aku ke sini, soalnya aku mau ditemani.”

 “Heh. Kenapa panggil Delano Daddy sih?” Merasa kesal dengan panggilan itu, Wulan yang melabrak. “Dia bukan bapakmu.”

 Adelia sendiri terlihat tidak terlalu peduli dengan teguran itu, tapi dia melirik Wulan dari atas sampai bawah. Jelas sekali terlihat kalau perempuan itu hanya seorang office girl biasa dan mungkin naksir dengan Delano. Atau mungkin pacar?

 “Dia siapa?” tanya Adelia dalam bisikan. “Pacar, calon istri atau malah sudah jadi istri?”

 Delano nyaris saja tersedak liurnya sendiri ketika mendengar pertanyaan itu. Rasanya belum pernah ada yang bertanya langsung seperti itu padanya, apalagi di depan orang yang dicurigai.

 Memang Adelia bertanya sambil berbisik, tapi suaranya masih bisa didengar Wulan. Tidak jelas, tapi dengan mudah ditebak.

 “Dia teman kerjaku,” jawab Delano berusaha tampak biasa saja.

 “Oh, cuma teman toh.” Adelia langsung mengangguk mengerti, tapi Wulan malah nyolot.

 “Memangnya kenapa kalau cuma teman? Gak boleh aku tahu kenapa kamu panggil Daddy? Kamu tuh udah besar tahu, gak malu apa panggil dengan panggilan manja gitu. Apalagi Delano bukan bapakmu.”

 “Itu kan urusanku,” jawab Adelia mulai merasa kesal. “Kenapa Tante yang sewot sih?”

 “Siapa yang kamu panggil tante?” Wulan langsung menghardik mendengar hal itu. Demi apa pun, dia baru tiga puluh empat tahun.

 “Maaf, tapi kurasa kami harus pergi.” Sebelum perang terjadi, Delano segera menengahi.

 Lelaki itu dengan cepat meminta maaf karena tidak bisa menepati janji dan segera mendorong Adelia pergi. Itu pun Wulan masih terlihat sangat marah, tapi tidak bisa berbuat banyak juga.

 “Non, boleh lain kali jangan sefrontal itu?” tanya Delano ketika mereka sudah duduk dalam mobil yang dikemudikan Adelia.

 “Emang aku frontal ya tadi? Aku merasa gak sih.” Kalimat lelaki di sebelahnya, membuat Adelia melotot.

 Yang perempuan itu katakan adalah kebenaran. Dia sama sekali tidak berniat untuk mengatakan sesuatu yang mungkin bisa bikin sakit hati, walau tadi sempat emosi.

 “Sebenarnya tadi itu sedikit frontal,” balas Delano dengan ringisan pelan. Dia agak gemas juga dengan kepolosan perempuan di sebelahnya.

 Untung saja Adelia adalah anak yang mudah mengerti. Perempuan itu mengangguk dan berjanji untuk lebih bisa menahan diri ke depannya. Adelia juga meminta untuk diingatkan kalau dia sudah kelewatan.

 Itu membuat Delano lega, tapi hanya sesaat saja. Baru juga berjanji, tapi perempuan itu sudah menanyakan sesuatu yang membuat Delano benar-benar tersedak air liurnya sendiri.

 “Tempo hari waktu kita bertemu di Heaven, kita tidur bareng kan? Itu gimana sih rasanya? Soalnya aku gak ingat dan kalau boleh apa bisa diulang? Aku juga pengen tahu gimana rasanya making love.”

 

***To Be Continued***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!