Menggoda

 “Kamu sungguh ingin menginap?” Delano melotot melihat tas ransel yang dibawa oleh perempuan mungil di depannya.

 

 “Ya, iyalah. Om ini gimana sih?” Adelia memutar bola matanya dengan gemas. “Kan Om yang ajak.”

 

 “Iya. Memang saya yang ajak, tapi ... aku tidak benar-benar serius.” Suara lelaki tinggi dengan seragam OB itu, makin lama makin lirih.

 

 Kemarin Delano memang menawarkan karena merasa kasihan pada perempuan di depannya. Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau Adelia akan benar-benar menerima tawaran itu.

 

 Biar bagaimana, mereka lawan jenis dan baru saling kenal. Secara logika, Adelia harusnya akan menolak.

 

 “Jadi gimana nih, Om?” Adelia mulai terlihat kesal. “Jadi nginap gak? Aku sudah minta izin loh.”

 

 “Sungguh sudah izin?” Delano menaikkan sebelah alisnya, merasa sangsi dengan apa yang dikatakan oleh perempuan muda di depannya.

 

 “Aku gak bohong, Om. Tadi pagi beneran sudah izin sama papa.” Adelia mengatakan itu dalam desisan kesal. “Mau kutelepon kan?”

 

 “Tidak perlu.” Si office boy dengan cepat menggeleng. “Tapi tolong berhenti panggil saya, Om. Bukankah kita sudah sepakat untuk hal itu?”

 

 “Ah, iya juga ya. Maaf lupa.” Mahasiswa cantik itu hanya memberikan senyuman lebarnya sebagai permintaan maaf. Sudah cukup, tapi membuat Delano pusing.

 

 “Ya, udah. Kamu tunggu sebentar ya. Kerjaan saya sudah selesai, tapi harus nunggu absen dulu.” Pada akhirnya, Delano memilih untuk mengalah.

 

 “Masih lama kah, Dad? Aku sudah lapar nih.” Kali ini Adelia terlihat sangat cemberut. Dia yang tidak sarapan, tentu saja akan merasa kelaparan.

 

 “Kamu mau makan makanan lima gak? Kebetulan tadi saya ada dibelikan makanan, tapi bawa bekal juga. Mungkin kamu bisa makan itu dulu kalau mau.”

 

 Adelia menggigit bibir bawahnya. Jujur saja, dia tidak pernah membeli makanan di pinggir jalan. Alasannya karena perempuan itu merasa agak jijik.

 

 Selain tempatnya yang meragukan, bahan yang digunakan juga meragukan. Adelia yang menjaga penampilan, tentu tidak akan sembarangan memakan sesuatu yang tidak jelas.

 

 “Emang ada makanan apa?” tanya mahasiswi cantik itu ragu-ragu.

 

 “Cuma nasi uduk dengan lauk tahu, tempe, telur dan sedikit mi.”

 

 Adelia tidak langsung menjawab. Dia perlu berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk dengan tidak yakin. “Gak apa-apa deh. Dari pada nunggu lagi.”

 

 “Tapi kalau makan bareng teman-teman aku gak masalah? Pantry ada di basement tapi. Soalnya kamu gak boleh naik ke atas.”

 

 Keragu-raguan makin terlihat jelas di wajah Adelia. Itu membuat Delano memberi saran yang lain.

 

 “Kalau mau makan duluan di tempat lain gak apa-apa kok. Saya bisa makan bekal.”

 

 “Eh, gak mau.” Adelia dengan cepat menolak. “Aku gak bisa makan sendirian. Harus ditemani, tapi maunya sama Daddy saja.”

 

 “Jadi?”

 

 “Ya udah deh. Aku ikut Daddy saja.” Pada akhirnya Adelia memilih untuk mengalah pada rasa laparnya.

 

 Tanpa perlu diajak, perempuan bertubuh mungil itu mengikuti si office boy. Tadi mereka berdiri di lobi dan kini berjalan turun ke basement.

 

 Tempat itu jelas lebih sepi dari biasanya, tapi masih sama panas dan berdebunya. Itu yang membuat Adelia sempat meragu, apalagi banyak orang yang tidak dia kenali.

 

 “Wih, ada cewek cantik nih.” Seseorang langsung menggoda, begitu melihat Adelia.

 

 “Jangan ganggu dia.” Tentu saja Delano langsung menegur. “Dia sama aku.”

 

 “Maaf. Numpang  sebentar ya.” Demi kesopanan, Adelia masih menyapa. Padahal dia sudah ingin memukul lelaki yang tadi menggodanya.

 

 “Numpang lama-lama juga gak masalah kok.” Lelaki lain menyahut.

 

 “Hei.” Lagi-lagi, Delano langsung menghardik. “Sudah kubilang jangan ganggu dia. Dia bersama denganku.”

 

 “Jangan pelit dong, No. Kalau ada yang bening kan bisa dibagi. Siapa tahu ada diskon.”

 

 “Kita keluar saja.” Delano langsung menarik perempuan yang dia bawa untuk keluar.

 

 “Pelit.” Delano masih bisa mendengar ejekan itu saat keluar dan masuk lagi setelahnya.

 

 Lelaki tiga puluh tiga tahun itu bukan inhin bertengkar, tapi mengambil makanannya yang tertinggal di dalam. Sekalian saja dia melotot pada teman-temannya yang punya pikiran kotor itu. Setelah itu, dia menggandeng Adelia kembali ke lobi.

 

 “Maaf, tapi apa kamu bawa mobil?” tanya Delano sambil berjalan dan tanpa melepas pegangan tangannya.

 

 “Bawa sih, tapi kenapa bertanya? Lagian  ini tangannya mau dipegang terus?”

 

 “Sorry.” Mendengar yang dikatakan si mahasiswi cantik, Delano refleks melepas tangannya dan meminta maaf.

 

 “Jadi kenapa tanya-tanya soal mobil?” Adelia kembali bertanya, disertai debgan senyum tipis.

 

 “Makan di mobil saja gimana? Soalnya  kalau di pantry, sepertinya bakal ribut.” Delano tentu akan memberitahu alasannya.

 

 Adelia yang kelaparan dengan segera mengiyakan. Baginya yang penting bisa makan dulu, yang lain bisa dipikir belakangan.

 

 “Tapi ini gimana makannya?” Perempuan  yang empunya mobil langsung protes. “Bungkusnya pakai kertas dan gak ada sendok.”

 

 “Makan pakai tangan saja. Dialas pakai tangan juga biar gak tumpah. Nanti bisa cuci tangan di dalam.” Delano yang sedang membuka kotak bekal memberitahu.

 

 “Aku gak pernah makan pakai tangan, Dad. Lagian ini tanganku kecil begini, mana bisa menampung bungkusan sebesar ini.”

 

 “Ya udah. Ini penutup kotak bekalku dijadikan alas dan pakai saja sendokku. Masih bersih kok.” Si office boy tak keberatan sedikit membantu.

 

 “Gak mau ah. Mending aku makan bekal Daddy saja. Itu lebih enak ada dagingnya.”

 

 Delano mendesah mendengar itu, tapi pada akhirnya tetap mengalah. Dia rela menukar ayam suir pedasnya, dengan sebungkus nasi uduk. Namun, rupanya Adelia belum puas.

 

 “Cobaiin dikit ya.” Tanpa permisi, sendok yang digunakan Adel sudah mengangkut sedikit bagian dari nasi uduk.

 

 Inginnya Delano mengamuk, tapi lawannya adalah perempuan. Alhasil dia diam saja, sampai Adelia tiba-tiba berhenti makan.

 

 “Loh udah?” Baru lima menit berlalu dan perempuan yang empunya mobil sudah berhenti makan.

 

 “Iya udah. Aku udah kenyang banget.”

 

 “Perasaan baru beberapa suap.” Delano memeriksa kotak bekalnya dan benar saja, isinya masih sangat banyak. Rasanya satu per empat pun tidak habis.

 

 “Aku emang makannya dikit, Dad. Biar gak gendut.” Penjelasan Adelia itu membuat Delano geleng-geleng kepala.

 

 “Jangan karena mau langsing makannya sedikit. Nanti malah jadi gak sehat dan gak punya tenaga buat menegur orang-orang nakal.” Lelaki dengan seragam OB itu, mengunyah sambil menasihati.

 

 “Emang kalau menegur orang perlu pakai tenaga? Kan cuma ngomong saja.” Kening  Adelia berkerut mendengar nasihat itu.

 

 “Kalau yang gangguin cuma ngomong seperti yang tadi mungkin gak masalah. Kalau sudah melecehkan? Lain lagi ceritanya.” Delano mengatakan itu, setelah selesai makan.

 

 “Kamu itu terlalu polos, sampai mau nginap tanpa mikir-mikir dulu. Biar gimana, saya kan laki-laki,” lanjut lelaki itu, setelah kembali dari mencuci tangan.

 

 “Memangnya Daddy kenapa?” Adelia malah bertanya.

 

 “Kalau aku menyerangmu bagaimana?” Delano balas bertanya.

 

 “Memangnya kita akan sekamar?” Perempuan berambut cokelat itu terlihat bingung. “Kalau sekamar rasanya tidak masalah. Kali lalu pun, Daddy kan gak buat apa-apa.”

 

 Delano mendesah mendengar hal itu. Dia tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan dan memutuskan untuk praktik saja. Siapa tahu Adelia bisa langsung sadar.

 

 Si office boy bergerak dengan cepat. Dia memegang kedua pergelangan tangan Adelia dan menahannya di atas kepala perempuan itu. Tentu saja Delano juga memojokkan yang empunya mobil ke pintu.

 

 “Sekarang, apa yang akan kau lakukan?” tanya Delano berbisik tepat di telinga Adelia.

 

***To Be Continued***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!