Cari Gara-Gara

"Maaf, Pak." Hanya itu yang bisa dikatakan Delano pada atasannya.

 "Ini sudah lewat jam delapan pagi, Delano. Bahkan sudah hampir jam sembilan dan kau baru datang?" Seorang lelaki dengan rambut dipotong nyaris botak bertanya.

 "Sekali lagi maaf, Pak. Tadi saya ada sedikit urusan pribadi dan ada masalah dengan motor saya." Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Delano, tanpa menyebut nama Adelia.

 "Untuk hari ini, kau masih akan selamat. Tapi lain kali, tidak ada lagi toleransi jika kamu terlambat selama ini."

 Tidak ada lagi yang bisa dikatakan Delano selain ini mengangguk mengiyakan. Dia memang sudah bersalah karena mendahulukan kepentingan Adelia, dibandingkan pekerjaannya. Namun itu lebih baik.

 Bagi Delano, akan lebih baik kalau dia terlambat sedikit dibandingkan harus berurusan dengan Aditya. Ayah dari perempuan yang tadi dia antar itu adalah Bos di perusahaan tempat dia menjadi office boy. Dia bisa dipecat kalau lelaki itu mengetahui Adelia punya hubungan aneh dengannya.

 "Tumben terlambat." Wulan pada Delano, ketika mendapatkan kesempatan.

 "Tadi motor pinjamannya bermasalah, aku juga telat bangun dan ada sedikit urusan." Delano tentu harus menjawab dengan hal serupa dengan yang dia katakan pada kepala bagiannya.

 "Urusan apa sih yang lebih penting dari kerja? Gak sayang itu gajinya dipotong karena telat. Lumayan loh, goban."

 "Mau diapa lagi." Delano hanya bisa mengedikkan bahu. "Salahku juga."

 "Jangan-jangan, kamu ada urusan dengan perempuan yang kemarin ya?" Wulan bertanya dengan nada penasaran. "Siapa sih dia?"

 "Kenalan."

 "Dari kemarin bilangnya kenalan mulu. Kreatif dikit kenapa sih?" Seorang rekan yang lain bertanya.

 "Kamu tahu dari mana lagi, Dod?" Delano menggeleng pelan mendengar rekan lelakinya itu.

 "Biasalah, si Wulan curhat. Katanya kamu didatang cewek cantik kemarin sore."

 Wulan segera menyenggol lelaki yang tadi dipanggil Dod itu. Itu adalah rahasia di antara mereka dan seharusnya tidak diberitahu pada orang lain.

 "Ya memang untuk saat ini dia hanya kenalan." Pada akhirnya, Delano mengatakan hal itu.

 "Terus nanti bakal bisa lebih jadi kenalan gitu?" Perempuan dengan rambut bob yang sedang memegang sapu di depan Delano itu, mencibir pelan.

 "Siapa yang tahu kan?" Delano kembali mengedikkan bahu. "Masa depan kan tidak ada yang tahu."

 ***

 "Kulihat tadi kau naik ojek ke kampus, tumben amat."

 "Tumben amat sih, Non. Biasanya anti panas-panasan."

 Dua orang sahabat Adel, bergantian mengejek perempuan itu, ketika mereka sudah duduk cantik di kantin. Namun, yang diejek sama sekali tidak tersinggung. Dia malah tersenyum.

 "Tadi itu calon sugar daddy-ku. Ganteng gak, Cel?" Adel menanyakan itu dengan kedua alis yang dinaik turunkan.

 "Idih. Masa ada sugar daddy dekil gitu? Mana naik motor butut lagi."

 "Serius nih, Cel?" Poppy si tomboy melotot. "Wah, gak bener nih. Masa kau cari sugar daddy yang kere sih?"

 "Lebih tepatnya sih, aku yang jadi sugar mommy. Kan aku yang bakal biayai dia, tapi kalau manghil dia baby, rasanya aneh aja." Adel menjelaskan dengan lebih detail.

 "Memangnya umur berapa?" Lelaki kemayu yang dipanggil Cel tadi bertanya.

 "Udah lebih tiga puluh, Celia yang cantik." Perempuan berambut panjang kecokelatan itu menjawab.

 "Woi." Poppy memukul pelan lengan temannya. "Jangan keseringan panggil dia dengan nama ceweknya, entar dia bisa berubah jadi cewek beneran."

 "Lah, emang kenapa? Celia lebih bagus dari Marcel," jawab yang empunya nama dengan gaya yang sombong.

 Adelia hanya bisa tertawa mendengar semua hal itu. Hari-harinya bersama dengan kedua teman kuliahnya itu, terasa jauh lebih menyenangkan dibanding sast dengan Bella.

 Baru mengingat nama itu saja sudah membuat Adelia sebal setengah mati. Apalagi ketika dia mengingat saat ayahnya dan Bella mengaku.

 "Tapi ini serius nih, Del? Kau bakalan pelihara om-om? Bukan kau yang dipelihara?" Marcel bertanya dengan raut wajah serius.

 "Iya. Aku serius." Yang ditanyai langsung mengangguk setuju.

 "Terus, kalau dia tiba-tiba saja minta jatah gimana? Lelaki kan otaknya hanya soal ************." Kali ini Poppy yang bertanya.

 "Gak mungkin lah." Adelia segera mengibaskan tangan di udara. "Orang aku yang bayar dia, jadi dia harus nurutin aku dong."

 "Tapi dia kan bisa maksa, Del. Kita tuh cuma takut kalau kau itu dimanfaatkan. Sudah dapat duit, dia malah maksa buat ***-***."

 Adelia tercenung sesaat mendengar teman kemayunya. Yang dikatakan lelaki itu benar adanya dan risiko itu selalu ada. Sayangnya, keputusan Adelia sudah bulat.

 "Kalau dia emang mau minta jatah, kurasa bakal aku kasih." Akhirnya Adelia mengatakan itu, setelah berpikir beberapa saat. "Asal gak sering aja."

 "Eh, gila." Poppy langsung berteriak. "Kalau sampai hamil gimana?"

 "Kalau Bella bisa hamil di luar nikah, kenapa aku engga?"

 Jawaban Adelia itu membuat kedua temannya hanya bisa geleng-geleng kepala. Pikiran perempuan berambut cokelat itu memang berbeda dalam hal negatif.

 Sakit hati sih wajar, tapi kalau sampai seekstrim itu. Rasanya sudah tidak wajar lagi.

 "Lama-lama kau bisa jadi seperti Bella."

 "Nah, itu bener." Poppy langsung menyetujui apa yang dikatakan Marcel. "Siapa tahu si om ini sudah punya pasangan dan malah kau gak sengaja jadi pelakor?"

 Adelia tidak langsung menjawab. Dia terlebih dahulu berpikir. Cukup lama, sampai akhirnya perempuan itu mengangguk ragu.

 "Kurasa tidak masalah. Kalau Bella dan papa bisa selingkuh, maka aku akan melakukan hal yang sama. Aku akan membuat papa malu dengan cara yang sama."

 "Dasar perempuan gila." Poppy tidak segan untuk mengumpati temannya.

 "Mereka yang membuat mamaku jadi sakit dan meninggal, jadi kenapa aku tidak bisa membuat papa kepikiran dan sakit?" Adelia menjawab layaknya seirang psikopat.

 "Neng, gak perlu ke psikiater?" Marcel bertanya dengan serius.

 "Gak perlu, Cel. Aku masih waras kok." Adelia tersenyum lebar ketika mengatakan hal itu. "Setidaknya aku punya alasan untuk melakukan ini."

 "Alasannya untuk balas dendam pada papamu kan? Lalu pembalasab untuk Bella itu apa?" Marcel kembali bertanya. "Yang jadi penjahat sebenarnya kan dia."

 Kalimat sang sahabat, membuat Adelia tercenung. Yang dikatakan Marcel memang benar adany dan jujur saja, Adel belum berpikir sampai ke sana.

 Kalau seperti ini, Adelia bisa saja mempermalukan diri sendiri kan? Bella bisa saja mengejeknya perempuan bucin yang diperdaya lelaki.

 "Kalau menurut kalian berdua? Balas dendam terbaik untuk Bella itu apa ya?" Pada akhirnya, Adelia bertanya.

 "Coba kau tanya sendiri saja pada orangnya. Kebetulan dia datang." Poppy mengedikkan dagu, ke arah pintu masuk kantin. Adel dan Marcel pun segera memandang ke arah yang ditunjuk.

 "Mau apa lagi sih perempuan gatal itu datang ke sini? Cari gara-gara ya?" desis Adel penuh kemarahan.

***To Be Continued***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!