“Adelia. Kamu dari mana saja?”
Langkah yang empunya nama terhenti di ruang tamu, ketika mendengar suara yang sudah sangat dia kenal. Itu adalah suara sang ayah yang entah kenapa hari ini belum tidur juga, padahal hari sudah lewat tengah malam.
“Dari klub,” jawab Adel dengan kebohongan.
Dia memang pulang malam, tapi itu karena duduk semalaman di kafe dengan Delano. Kebetulan lelaki yang dia temani itu, enggan pergi ke klub dan katanya yang ingin Delano ceritakan lebih baik didengar dalam suasana tenang.
“Klub?” tanya Aditya yang kini berdiri dan berjalan mendekati sang putri.
“Ya. Ada masalah dengan itu?” Perempuan muda itu tidak segan untuk menantang. Dia sudah tidak mau menjadi anak penurut lagi.
“Kamu masih mau bertanya?” Aditya sudah mulai terlihat marah dengan kedua alis terangkat naik.
“Tentu saja aku bertanya karena bagiku tidak ada masalah.” Adelia mengedikkan kedua bahunya dengan santai. “Namanya juga anak muda.”
Sang papa tiba-tiba saja mengangkat sebelah tangannya. Niatannya sudah jelas adalah untuk memukul sang putri, tapi melihat Adelia berjengit dia membatalkan niatan itu.
“Karena ini kali pertamamu berbuat salah, kali ini Papa akan maafkan. Tapi tidak ada lain kali lagi,” geram Aditya menahan amarahnya dengan mengepalkan tangan.
“Apa kau tidak punya mulut untuk menjawab?” tanya lelaki paruh baya itu, ketika sang putri tak kunjung bereaksi.
Tapi bukannya menjawab, Adelia malah langsung berlari untuk naik ke lantai dua. Tempat kamar dan tempat berlindungnya berada. Bagi perempuan sembilan belas tahun itu, hanya kamarnyalah teman paling aman di dunia. Setidaknya, sampai beberapa detik yang lalu.
“Apa yang kau lakukan di sini?” pekik Adelia ketika mendapati ada orang lain di dalam kamarnya dan itu adalah Bella.
“Oh, Adel. Kebetulan sekali kau sudah pulang. Aku boleh minta baju ini tidak?” Perempuan dengan rambut sebahu itu menunjukkan sebuah gaun.
Gaunnya memang terlihat sederhana. Hanya gaun tanpa lengan dengan potongan rok yang tidak beraturan, tapi itu adalah kesayangan Adel. Itu adalah gaun pemberian mendiang sang ibu.
“Kembalikan gaun itu ke tempatnya.” Kali ini Adelia tidak sungkan untuk membentak.
“Kalau tidak boleh minta, boleh aku pinjam gak?” Tanpa tahu malu, Bella kembali bertanya dengan tatapan memelas.
“Sekali tidak, tetap tidak. Apa kau tuli? Kembalikan gaunku.”
Adelia sudah melangkah untuk merebut gaut miliknya itu, tapi Bella menghindar. Entah apa yang dipikirkan perempuan berambut sebahu itu, tapi dia memeluk gaun milik orang dengan erat.
“Ada apa ribut-ribut?” Tiba-tiba saja, Aditya muncul di belakang putrinya.
“Daddy.” Melihat kekasihnya muncul, Bella langsung berlari mendekat. “Aku mau meminta gaun Adelia yang ini, tapi dia gak mau kasih.”
“Itu gaun hadiah ulang tahun dari mamaku,” hardik Adel tidak akan mau menyerahkan miliknya yang berharga.
“Itu hanya gaun, Del. Berikan saja dan kau bisa membeli yang baru.” Bukannya membela sang putri, Aditya malah membela selingkuhannya.
“Apa Papa tuli? Itu hadiah dari mama.”
“Berikan pada Bella dan kau bisa membeli yang baru,” jawab sang papa tanpa belas kasihan.
Belum cukup sampai di situ. Lelaki paruh baya itu malah merangkul Bella di depan mata sang putri, bahkan mengecup kening perempuan itu dengan lembut, sebelum menutup pintu kamar. Hal yang sudah lama tidak dilakukan lelaki itu pada putrinya.
Tidak ingin tempat berlindungnya dimasuki lagi, Adelia dengan cepat mengunci kamarnya. Perempuan muda itu juga membuang kunci ke sembarang arah, tidak peduli kalau nanti tidak bisa ditemukan.
“Dasar perempuan ****** sialan.” Adelia menggeram marah. Inginnya sih berteriak, tapi nanti dia bisa didatangi sang papa lagi.
“Padahal dia sudah punya papa, tapi kenapa harus menggangguku lagi?” tanya Adelia sembari menahan tangisnya.
“Mana lemariku dibuat berantakan.” Perempuan berambut cokelat itu mendesah dan mendekati lemari besarnya itu.
Isi lemarinya benar-benar acak-acakan. Bahkan dia bisa melihat ada bekas robekan kain di sana. Jelas ada yang rusak.
“Sialan.” Adelia menggenggam kain bekas robekan itu dan berlutut di lantai. “Kenapa nasibku sial sekali?” isaknya pelan.
Adelia ingin menangis sejadi-jadinya, ketika ponselnya berdering. Tulisan Om Daddy terlihat dengan jelas di sana, membuat perempuan itu segera mengangkatnya.
“Halo, Non Adel?” tanya suara bariton itu di seberang sana. “Sudah sampai rumah?”
“Daddy.” Adelia langsung terisak, begitu mendengar suara merdu itu.
“Loh? Kenapa menangis, Non?” Delano langsung tersentak mendengarnya.
“Papa jahat. Dia biarin selingkuhannya merampas gaunku. Padahal itu hadiah ulang tahun terakhir dari mama.”
“Mungkin mereka tidak tahu.” Delano mengatakan itu dengan nada ragu-ragu.
“Aku udah bilang, tapi papa tetap bela dia. Papa juga kecup kening dia di depanku, padahal aku gak pernah.”
Delano meringis mendengar curhatan perempuan yang baru dia kenali itu. Hari sudah sangat malam, tapi dia tak tega menjeda sesi curhat panjang itu.
Sangat panjang sampai menghabiskan waktu satu jam dan membuat Delano mengantuk. Tapi walau mengantuk, lelaki itu tetap berusaha menanggapi Adelia.
“Daddy? Apa tidak mengantuk?” Tiba-tiba saja Adelia menanyakan hal itu.
“Non Adel sendiri apa tidak mengantuk?” Bukannya menjawab, Delano malah balik bertanya.
“Ih, Daddy. Kok panggil Non terus sih? Kita kan mau pura-pura pacaran loh. Daddy bukan jadi babuku.” Adelia memekik kesal.
“Lalu? Saya harus panggil apa?”
“Terserah. Mau Adel boleh, mau Baby juga boleh. Aku gak masalah dan ngomongnya santai saja.”
“Kalau begitu Adel saja ya.” Akhirnya Delano memutuskan.
Adelia tertawa pelan mendengar hal itu. Dia merasa senang karena kini punya tambahan teman baru yang menyenangkan dan bisa dijadikan tempat curhat. Padahal Delano juga masih bisa dibilang orang asing.
“Terima kasih loh, Dad,” ucap Adelia dengan perasaan lebih baik. “Padahal kita baru kenal, tapi Daddy sudah mau mendengar curhatanku.”
“Aku cuma membantu saja. Kebetulan mendengar hal yang mudah, dibanding kerja di kantor.”
Adelia tertawa mendengar hal itu. Padahal bukan sesuatu yang sangat lucu, tapi dia senang mendengarnya. Namun setelah itu, mereka berdua terdiam untuk beberapa saat.
“Sekali lagi makasih,” gumam Adelia dengan pelan.
“Sekali lagi sama-sama,” jawab Delano yang kembali mengundang tawa lawan bicaranya.
“Padahal kupikir rumah ini jadi menyeramkan dan tidak aman tanpa mama, tapi bertelepon dengan Daddy, semuanya jadi lebih baik.”
“Benar-benar tidak nyaman ya tinggal di rumah?” Delano bertanya karena merasa prihatin.
“Sejak aku tahu, sama sekali tidak nyaman. Bahkan dengan adanya papa pun, aku merasa tidak aman.”
Delano terdiam mendengar hal itu. Entah kenapa dia benar-benar merasa kasihan pada Adelia, sampai mengusulkan hal gila pada perempuan itu.
“Kamu bisa pindah kalau memang merasa tidak betah di rumah. Masih ada kamar kosong di tempat kosku.”
***To Be Continued***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments