Calon Potensial

 “Hei, ngapain melamun?” Wulan langsung menegur Delano yang melamun di koridor kantor.

 

 “Sorry.” Yang ditegur langsung meringis. “Lagi banyak pikiran.”

 

 “Kenapa? Cewek yang dekat denganmu itu minta beli barang macam-macam?” Perempuan itu langsung mencibir.

 

 “Adelia tidak seperti itu.” Jelas saja Delano akan membantah. “Dia itu kaya. Kalau ada yang ingin dia beli, Adelia bisa membelinya sendiri.”

 

 Wulan langsung mendengus kesal mendengar hal itu. Dia masih ingin mengejek lagi, tapi tidak bisa. Ada yang harus dia kerjakan. Perempuan itu pada akhirnya meninggalkan Delano yang kembali melamun.

 

 Lelaki itu kembali mengingat apa yang terjadi pada hari Sabtu lalu, ketika Adelia menginap. Lebih tepatnya, pada kalimat perempuan itu sebelum pergi tidur.

 

 “Memangnya ada perempuan yang jatuh cinta dengan orang yang baru dikenal?” gumam Delano pelan.

 

 “Pastinya ada.” Dodi yang kebetulan lewat dan mendengar, menjawab. “Jatuh cinta pada pandangan pertama saja ada.”

 

 “Apaan sih.” Bukannya berterima kasih karena sudah dijawab, Delano malah merasa kesal.

 

 “Eh, ini serius loh.” Dodi langsung protes.

 

 ***

 

 “Mungkin gak sih kita jatuh cinta pada orang yang barusan di kenal?” Tiba-tiba saja Adelia menanyakan itu pada dua sahabatnya.

 

 “Jangan bilang kamu jatuh cinta sama daddy-mu itu.” Si kemayu menebak sangat akurat.

 

 “Sepertinya begitu,” jawab Adelia dengan senyum malu-malu.

 

 “Yang benar saja.” Poppy langsung memekik. “Perasaan baru beberapa ahri kenalan dan kau sudah jatuh cinta?”

 

 Adelia mengedikkan bahunya dengan santai. “Mau bagaimana lagi? Soalnya daddy baik banget dan sepertinya bisa banget jadi tempat bersandar.”

 

 Mendengar yang dikatakan sang sahabat Marcel langsung menjentikkan jarinya. Lelaki kemayu itu, sepertinya baru menyadari sesuatu.

 

 “Kamu itu abis kecewa dengan papamu. Sejak punya Bella, papamu juga jadi kurang perhatian padamu. Itu yang bikin kamu merasa nyaman dengan lelaki yang lebih tua.”

 

 Adelia memiringkan kepalanya ketika mendengar hal itu. Apalagi ketika Poppy juga mengiyakan. Dia makin berpikir keras untuk mencerna apa yang dikatakan sang sahabat.

 

 “Tapi daddy-ku benar-benar orang baik.” Pada akhirnya, Adelia membantah dengan bibir mencebik. “Aku merasa nyaman, tapi bukan karena papa.”

 

 “Jangan langsung disimpulkan.” Si timboy yang menasihati. “Lebih baik kamu pikirkan dulu soal perasaanmu itu. Jangan asal bilang jatuh cinta.”

 

 “Lagi pula, dari pada daddy-mu, ada kandidat yang lebih baik.” Poppy mengatakan itu, sambil melirik ke satu arah.

 

 Adelia dan Marcel tentu saja mengikuti arah lirikan itu. Mereka sedang ada di kantin dan seseorang kebetulan baru saja datang.

 

 “Pak Aris?” tanya Adelia dengan sebelah alis terangkat. “Apanya yang kandidat lebih baik.”

 

 “Setuju.” Marcel langsung mengangguk. “Dia juga sama tidak baiknya.”

 

 “Hei, dia jelas lebih baik dari segala sisi.” Poppy jelas akan menegur.

 

 “Daddy lebih ganteng,” balas Adelia tidak mau kalah.

 

 “Kalau soal tampang, mereka memang bersaing.” Poppy pun tak mau kalah. “Pakai kacamata aja si Pak Aris itu ganteng, apalagi enggak. Lagian, dari sisi pekerjaan dan keuangan dia pasti lebih baik. Dia juga lebih muda.”

 

 Adelia langsung cemberut mendengar kalimat temannya. Untuk yang satu itu, dia tidak bisa berkata-kata karena memang benar adanya. Walau Aris tidak kaya, tapi gaji dosen swasta jelas lebih baik dari office boy.

 

 “Masalahnya, aku tidak tertarik dengan dia. Lagi pula, sifatnya itu loh.” Adelia dengan cepat menampik, disertai anggukan kepala Marcel.

 

 “Sifat siapa yang kalian bicarakan?”

 

 Mendengar suara berat familier di dekat mereka, tiga sahabat itu langsung terlonjak. Mereka mendongak dan menemukan orang yang mereka bicaraka ada di sebelah meja mereka.

 

 “Eh, Pak Aris.” Marcel langsung menyapa dengan senyum lebar.

 

 “Bukannya kalian sudah tidak ada kuliah? Kenapa tidak pulang dan malah nongkrong di kantin?” tanya dosen muda tampan itu.

 

 “Anu, Pak. Lagi temenin Adelia nunggu jemputan.” Popoy yang menjawab.

 

 “Kuliah sudah selesai hampir dua jam lalu dan jemputanmu belum datang?” tanya Aris dengan kening berkerut. “Ini kantin saja sudah mau tutup.”

 

 “Iya, Pak. Soalnya yang jemput lagi kerja. Nunggu dia pulang dulu.” Mau tidak nau, Adelia terpaksa jujur.

 

 “Lalu kenapa harus ditunggu? Kamu kan bisa pulang sendiri.” Kali ini si dosen mengerutkan kening karena bingung. “Ini sudah hampir jam enam petang loh.”

 

 “Udah janji, Pak. Gak enak dibatalin.” Adelia mengatakan itu dengan senyum miris.

 

 “Dari pada nunggu gitu, biar saya antar saja. Sekalian kalian berdua juga saya antar.” Lelaki muda berkacamata dengan profesi dosen itu, memberikan tawaran.

 

 “Adelia saja, Pak. Kebetulan saya rumahnya searah dengan Marcel, jadi kami boncengan.” Poppy dengan cepat menolak.

 

 “Ya udah. Kamu saya antar.”

 

 “Eh, tapi ....”

 

 Niatnya Adelia ingin ikut dengan kedua sahabatnya saja, tapi mereka bergerak cepat. Lebih tepatnya, Poppy dengan cepat menarik Marcel untuk pergi. Sengaja meninggalkan Adelia berdua dengan Aris.

 

 “Mau pulang atau tidak?” Aris bertanya dengan nada pelan.

 

 “Makasih sebelumnya, Pak.” Dengan sangat terpaksa, Adelia mengiyakan. “Tapi  saya izin telepon beri tahu jemputan saya ya.”

 

 “Sambil jalan saja.” Setelah mengatakan itu, Aris melangkah pergi duluan.

 

 Mau tidak mau, Adelia dengan cepat membereskan barang-barangnya. Dia yang merasa tidak enak menolak, terpaksa mengikuti langkah panjang si dosen dengan tergesa-gesa.

 

 Untung saja lelaki jangkung dengan kaca mata itu sadar dan memelankan langkah. Setidaknya, itu bisa membuat Adelia lebih santai.

 

 “Kalau pacar kamu gak bisa jemput harusnya langsung pulang sendiri. Jangan bergantung padanya.” Tiba-tiba saja, Aris memberi tahu.

 

 “Daddy gak bilang gak bisa kok, Pak. Lagian, saya yang minta jemput,” jawab Adelia dengan jujur.

 

 “Kenapa harus minta jemput kalau bisa bawa mobil sendiri? Lagian, kenapa dipanggil daddy?”

 

 “Saya pengen naik motor, tapi gak tahu cara bawanya. Lalu, saya panggil dia dengan sebutan daddy karena ingin saja,” jawab Adelia jujur.

 

 “Apa dia jauh lebih tua?” Aris kembali bertanya.

 

 “Dia suda tiga puluhan.”

 

 Langkah Aris terhenti, ketika mendengar angka yang disebut perempuan mungil di sebelahnya. Dia menoleh dan mengerutkan kening karena tak menyangka Adelia mau bersama dengan orang yang jauh lebih tua.

 

 “Umurnya emang udah tua, tapi dia masih kelihatan muda kok. Ganteng dan baik lagi,“ jelas Adelia tanpa diminta.

 

 Setelah mendengar itu, Aris tidak menjawab lagi. Lelaki berkaca mata itu, terus melangkah sampai ke area parkiran.

 

 Mobil milik Aris bukan mobil baru, tapi masih sangat terawat. Jujur saja, itu membuat Adelia kagum ketika melihatnya. Sayang sekali, perempuan itu tidak berkesempatan untuk menumpang.

 

 “Adelia?” Suara lembut itu terdengar, ketika yang empunya nama membuka pintu mobil.

 

 “Daddy.” Adelia dengan cepat berlari meninggalkan Aris dan menghampiri Delano.

 

 “Maaf lama.” Delano menyerahkan helm. “Aku sudah keluar kantor lebih cepat, tapi jalanan macet sekali.”

 

 “Gak apa-apa kok. Tadi kebetulan abis tukar pikiran dengan dosen.” Adelia tak segan menunjuk lelaki yang tadi mau memberinya tumpangan.

 

 Delano pun melihat Aris dan mengangguk pelan sebagai salam. Adelia juga melambai untuk pamit, sebelum naik ke atas motor dan Aris terpaksa membalas dengan senyuman.

 

 “Apa aku terlambat lagi ya?” gumam Aris dengan sangat pelan.

 

***To Be Continued***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!