Calon Mertua

 “Maaf, Tante.” Belum juga lima menit dipelototi oleh mamanya Delano, Adelia sudah merasa kegerahan. “Apa ada yang aneh dari penampilan saya?”

 Mereka semua sudah duduk di dalam restoran ayam siap saji. Di meja pun sudah ada kentang goreng, nuget dan minuman. Tapi belum ada yang menyentuh itu semua.

 “Tidak ada yang aneh, tapi terlalu muda.” Perempuan paruh baya itu menjawab dengan cepat. “Umur berapa sih, Dek?”

 “Sembilan belas,” jawab Adelia tanpa perlu berpikir.

 “Sembilan belas dan tiga puluh tiga.” Perempuan paruh baya itu menggeleng. “Empat belas tahun itu terlalu jauh.”

 “Ma.” Delano langsung menegur mamanya. “Tidak sopan ngomong gitu, sebelum berkenalan.”

 Mendengar itu, Adelia dengan cepat mengukurkan tangan. Niatnya tentu saja berkenalan, tapi perempuan yang duduk di depannya hanya menatap uluran tangan itu.

 Baru setelah ditegur putranya, perempuan paruh baya dengan penampilan sederhana itu ikut mengukurkan tangan. Itu pun terlihat enggan.

 “Sejak kapan pacarannya?”

 “Baru, Tante. Mungkin sebulan. Bener gak sih, Dad?” Adelia menoleh pada lelaki di sebelahnya.

 “Iya. Kurang lebih sebulan.” Delano mengangguk, mengikuti permainan perempuan muda di sebelahnya, walau kenyataan tak seperti itu.

 Sejatinya, dua orang itu berkenalan kurang dari sebulan lalu. Jelas saja apa yang dikatakan Adelia adalah dusta, tapi Delano mengiyakan saja.

 “Kamu panggil anakku dengan sebutan apa?”

 “Dad,” jawab Adelia, lagi-lagi tanpa berpikir. “Dad dari Daddy.”

 Mama Delano melirik anaknya dengan sebelah alis terangkat. Seumur hidup, dia belum pernah mendengar putranya mendapat panggilan semanja itu.

 “Tante Monic tidak usah khawatir.” Tiba-tiba saja Adelia berbicara. “Walau saya masih muda, tapi saya tidak doyan selingkuh kok.”

 Perempuan paruh baya bernama Monic itu makin mengerutkan kening mendengar apa yang dikatakan Adelia barusan. Hal yang bagus, tapi rasanya aneh saja ketika mendengar hal itu.

 “Bisa masak tidak?” Monic akhirnya menanyakan hal lain.

 “Tidak bisa, Tan. Tapi sekarang kan sudah banyak promo untuk beli online,” jawab Adelia tanpa ragu.

 “Kalau begitu, setidaknya kau bisa menyetrika kan?” Monic kembali bertanya.

 “Ada laundry yang bisa melakukan itu semua.”

 “Ma.” Tidak tahan dengan tanya jawab itu, Delano kembali menegur. “Tolong berhenti.”

 “Adelia itu pacar aku, Ma. Bukan pembantu rumah tangga,” lanjut lelaki dengan rambut cepak itu berusaha selembut mungkin.

 “Tapi kalau kalian menikah kan dia minimal harus tahu sesuatu,” hardik Monic tidak bisa mengerti dengan dua orang di depannya.

 “Kalau semuanya dibeli atau menggunakan jasa, mau keluar uang berapa banyak?” Perempuan pertengahan lima puluh itu melanjutkan.

 “Hah? Menikah?” Adelia tentu saja terkejut mendengar hal itu.

 Demi apa pun, sampai detik ini Adelia belum pernah memikirkan yang namanya menikah. Dia tentu pernah melihat dan memimpikan pernikahan seperti apa yang dia inginkan, tapi itu hanya sekedar mimpi. Adeli tentu saja belum  berniat serius.

 “Tapi saya baru sembilan belas.” Hanya itu yang bisa dikatakan Adelia saking syoknya.

 “Ya, tapi Delano sudah tiga puluh tiga. Dia sudah sangat tua untuk menikah.”

 “Aku belum setua itu, Ma.” Tentu saja lelaki yang dibicarakan akan membantah dengan cepat.

 Mendengar anaknya membantah, Monic melotot. Dia adalah sangat menyayangi sang putra semata wayang, bahkan bersedia untuk bersandiwara. Tapi kalau niatan pacaran Delano untuk main-main, dia tidak mau terima.

 “Tante ngerti kalau kamu masih muda.” Kini Monic menatap serius pada perempuan muda di depannya.

 “Delano sudah cukup tua dan dia butuh istri yang bisa membantunya, bukan sebaliknya. Maaf, jika harus membuat hatimu sakit. Tapi tolong dimengerti.”

 Adelia tidak berkata apa-apa mendengar yang dikatakan Monic. Dia tentu bisa mengerti kekhawatiran wanita paruh baya itu, tapi kenapa malah dirinya yang dicecar? Adelia sama sekali tidak mengerti.

 “Saya ngerti kalau Tante khawatir, tapi kok ngomongnya ke saya?” Perempuan muda itu tidak segan untuk mengungkap isi kepalanya.

 “Kamu kan pacarnya Delano.” Monic jadi bingung mendengar pertanyaan itu.

 “Iya. Saya memang pacarnya Delano, tapi seperti yang tadi saya bilang, saya masih muda. Belum ada pikiran untuk menikah,” balas Adelia juga ikut bingung. “Kami berkomitmen untuk pacaran, bukan untuk bertunangan, apalagi menikah.”

 Delano nyaris saja menggeram mendengar hal itu. Kalau seperti ini, pada akhirnya nanti dia yang kena getahnya. Sudah pasti lelaki itu akan dimarahi dan mungkin akan mulai dijodohkan lagi.

 “Apa karena Delano terlihat miskin?” Tiba-tiba saja Monic bertanya dengan nada serius.

 “Maaf?” Adelia dan Delano mengucapkan itu bersamaan.

 “Kamu orang kaya dan Delano terlihat terlalu miskin di matamu. Itu yang membuatmu tidak mau menikahi putraku kan?” tanya Monic terlihat tidak suka dengan hal yang baru saja dia sebutkan.

 “Tentu saja bukan karena itu.” Adelia dengan cepat menggeleng. “Kalau saya seperti itu, saya gak akan pacaran dengan Daddy Delano.”

 “Tapi bisa saja kau memanfaatkannya entah untuk apa kan?”

 Pertanyaan itu membuat Adelia membuka mulutnya. Andai kata bisa, mungkin rahang perempuan itu sudah terjatuh sampai ke atas meja. Bagaimana mungkin Monic bisa menebak dengan sangat tepat?

 “Adelia tidak seperti itu.” Tanpa bisa diduga, Delano membela. “Dia perempuan yang baik.”

 Kini, giliran Monic yang membuka mulut dengan lebar. Sungguh, dia tidak habis pikir kenapa putranya malah bisa membela Adelia.

 “Mam tidak tahu apa yang terjadi, tapi kamu sepertinya sudah jadi bucin.”

 “Aku normal,” bantah Delano dengan cepat.

 “Di mata, Mama.” Monic merapikan duduknya, bahkan sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kau terlihat bucin karena pacar barumu ini terlihat cantik.”

 “Terima kasih atas pujiannya.” Adelia refleks membalas, setelah itu menyesal ketika melihat ekspresi Monic.

 Jujur saja, Monic mulai kesal dengan perempuan di depannya itu. Selain terlalu muda, Adelia juga sedikit narsis. Untung anaknya cukup sopan dan cantik.

 “Deno, Mama mau bicara berdua denganmu.” Pada akhirnya, perempuan paruh baya itu meminta privasi.

 “Kalau begitu, saya akan pindah ke sana.” Mau tidak mau, Adelia yang harus pindah.

 “Maaf ya.” Merasa tidak enak hati, Delano meminta maaf.

 Adelia hanya bisa tersenyum, sebelum pindah tempat duduk. Delano begitu baik dan membuat Adelia sedikit nyaman dengannya. Sayang, perempuan itu belum berniat menikah.

 “Kamu sungguh berpacaran dengan gadis manja seperti itu?” tanya Monic pada putranya.

 “Dia menjadi manja karena asuhan orang tua yang salah,” jawab Delano dengan alasan yang cukup masuk akal. “Lagi pula, aku gak bisa pisah dengan dia. Setidaknya untuk sekarang.”

 Kening Monic berkerut mendengar itu. Kalimat sang putra agak ambigu, tapi dia tahu kalau ada sesuatu yang membuat Delano mau pacaran dengan Adelia.

 “Satu bulan.” Pada akhirnya, Monic kembali berbicara setelah berpikir cukup lama.

 “Mama akan biarkan kamu pacaran dengannya selama satu bulan,” lanjut perempuan paruh baya itu.

 “Paling lama dua bulan dan setelah itu, kamu harus mengikuti apa yang Mama bilang.” Monic menambahkan, ketika melihat putranya akan protes.

 “Tapi, Ma ....”

 “Mama sudah sampai mengikuti sandiwara tidak masuk akalmu, Deno. Mama tidak mau lebih dari ini lagi, apa pun alasannya.” Monic memotong kalimat sang putra.

 

***To Be Continued***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!