“DADDY.”
Melihat kekasih bayarannya dipukul, Adelia langsung menjerit. Dia bahkan langsung mencoba membantu Delano yang tertindih motornya sendiri, padahal jelas perempuan mungil itu tidak bisa mengangkat beban berat seperti motor.
“JANGAN BERAN-BERANI MEMBANTUNYA.” Aditya yang marah, kini membentak putrinya. Bahkan menarik Adelia menjauh.
“Lepasin Adel.” Tentu saja Adelia akan memberontak.
“Kamu sebaiknya pergi dari sini, sebelum aku benar-benar bunuh kamu.” Aditya tidak peduli pada putrinya yang memberontak dan lebih fokus pada Delano. “Jangan pernah bertemu putriku lagi.”
“Papa jangan seenaknya.”
Tiba-tiba saja kekuatan Adelia bertambah. Dia bisa mendorong lelaki yang sedari tadi mencengkramnya, sampai cengkraman itu terlepas sendiri. Setelahnya, Adel kembali menghampiri Delano yang sudah berdiri, sambil memegangi motornya.
“Adelia. Kamu berani lawan papa?”
“Harusnya aku yang tanya sama, Papa. Kenapa pukulin orang tiba-tiba?”
“Ngapain laki-laki ini bawa kamu keluar malam-malam, kalau bukan untuk hal aneh.” Aditya tak segan menunjuk lelaki yang dia serang tadi.
Sesungguhnya, Adelia masih ingin menghardik. Sayang sekali, Delano menahan perempuan itu dengan memegang pergelangan tangannya.
“Masuk ke dalam sekarang juga.” Melihat adanya kesempatan, Aditya segera memberi perintah.
“Masuk saja,” gumam Delano yang masih bisa didengar semua orang. “Saya gak apa-apa.”
Beberapa kali terdengar Adelia membuang nafas dengan kasar. Perempuan mungil itu jelas sedang marah, tapi menahan diri demi Delano.
“Kabari aku kalau sudah sampai di rumah.” Akhirnya, hanya itu yang dikatakan Adelia sebelum masuk ke rumah.
Tentu saja Delano mengangguk sebagai jawaban, tapi hanya itu saja. Lelaki itu tidak melakukan hal lain lagi, selain melihat Adelia masuk. Aditya menyusul setelahnya dengan wajah sangat marah.
“Semoga dia tidak apa-apa,” gumam Delano lirih.
***
“Adelia.” Aditya mengejar langkah cepat putrinya.
Sayang sekali, yang empunya nama enggan menyahut atau berhenti. Adelia malah makin mempercepat langkah, untuk menaiki tangga menuju lantai dua.
Gagal menarik sang putri, terpaksa Aditya sedikit menggunakan kekerasan. Dia menaiki dua anak tangga sekaligus dan kembali menarik tangan putrinya, kali ini lebih kasar dari yang tadi.
“Lepas.” Adelia masih melawan.
“Tidak akan, sampai kamu jawab Papa. Di mana kamu kenal cowok itu? Pasti di klub kan?” sang papa menghardik.
“Iya, lalu kenapa? Mau bilang dia cowok gak bener?” Makin dihardik, Adelia makin melawan.
“Sebelum bilang gitu, Papa coba tengok dulu selingkuhan Papa,” lanjut perempuan berambut cokelat panjang itu penuh amarah. “Tidak ada perempuan baik yang mau dengan suami orang.”
“Berhenti menjelekkan Bella atau Pap usir kamu dari rumah ini.” Karena putrinya tidak mau mendengar, Aditya terpaksa mengancam.
“Oh, jadi sekarang Papa lebih pilih selingkuhan toh?” Adelia mengangguk pelan. “Oke. Aku bakal pergi. Papa tenang saja.”
“Adelia.” Aditya memanggil putrinya, ketika perempuan itu berbalik ke kamar dan membanting pintu.
Merasa kalau dirinya keterlaluan, sang papa mengetuk pintu kamar. Berusaha membujuk putrinya untuk membuka pintu dan tidak ngambek. Sayangnya, Adelia tidak mau mendengar.
Perempuan itu malah sibuk mengepak barang-barangnya ke dalam koper. Kali ini, Adelia benar-benar berniat untuk minggat dari rumah.
“Kamu mau ke mana?” Aditya menatap horor, dua koper besar yang dibawa putrinya.
“Ke mana saja, yang penting tidak di rumah ini,” jawab perempuan dengan rambut panjang bergelombang itu, sembari berusaha membawa dua koper sekaligus.
Koper yang dibawa Adelia tentu saja berat, tapi dia berusaha membawanya sendiri. Sayang sekali, hal itu hanya berlangsung sebentar saja.
“Adel, Papa minta maaf.” Aditya memegang salah satu koper putrinya.
“Minta maaf pada mamaku. Kalau dia memaafkan, baru aku akan berpikir.” Adelia pada akhirnya membawa satu koper dulu turun, kemudian membawa satu lagi.
“Ini sudah malam, Nak.” Merasa bersalah, Aditya mulai melunak. “Kalau mau pergi menginap, besok saja Papa antar ke rumah nenekmu.”
“Aku tidak akan mau menunggu besok. Lebih baik mati dari pada harus satu rumah dengan orang-orang tidak tahu diri seperti kalian.”
Adelia tidak peduli lagi dosa menghina orang tua. Dia bahkan tak mau melihat Bella yang berdiri dengan wajah memelas di bawah tangga. Dengan memakai mobilnya sendiri, Adelia memilih pergi.
***
“Waduh. Itu kaki kenapa, Mas Bos?” Galih langsung berkomentar, ketika melihat Delano pincang.
“Gak sengaja kena knalpot motor,” jawab Delano seadanya saja.
“Loh, kok bisa?”
Delano tidak menjawab. Dia hanya duduk sembari melihat sedikit luka bakar di betis bawahnya. Sungguh sial sekali dia tertindih bagian knalpot.
“Ternyata Pak Aditya masih lumayan kuat juga ya,” gumam lelaki yang terluka itu lirih.
“Gak mau ke dokter saja?” ringis Galih melihat luka itu. “Celananya sampai bolong gitu loh.”
“Gak usah lah. Nanti juga sembuh sendiri.”
“Lah, kalau begitu aku bisa dimarahi bu bos dong. Lusa kan disuruh pulang.” Galih segera protes.
“Pulang gimana maksudnya?” Delano jelas saja bingung.
Galih tidak menjawab. Dia hanya memperlihatkan ponselnya yang berisi pesan. Itu membuat Delano mendesis pelan.
“Cutiku sudah habis.” Pada akhirnya, hanya itu yang dikatakan lelaki yang terluka itu.
“Emang bu bos mau dengar alasan gitu?” Galih jelas saja akan mencibir. “Kalau mau bohong, mending telepon sendiri saja sana.”
Delano mendesah mendengar kalimat rekan, sekaligus asistennya itu. Kalau Galih sudah bilang seperti itu, artinya sang mama sudah ngotot.
Inginnya sih Delano langsung menelepon mamanya, tapi ponselnya duluan berdering dengan nama Adelia terpampang di sana. Karena merasa penasaran, Delano langsung mengangkatnya.
“Adel gak apa-apa?” Delano langsung menanyakan hal itu.
“Harusnya aku yang nanya, Dad. Yang habis dipukulin papa dan tertimpa motor kan kamu,” balas Adelia terdengar cemas.
“Saya gak apa-apa kok. Kamu tidak usah khawatir.”
“Pokoknya, sekarang aku lagi di jalan ke kos. Tungguin ya, aku mau nginap lagi.”
“Hah? Nginap gimana maksudnya?” Delano baru bertanya, tapi sambungan teleponnya sudah terputus.
Tentu saja Delano akan menelepon kembali, tapi ponselnya kembali berdering. Nama yang tertulis di sana, membuatnya mendesis kesal.
“Ya, Ma. Ada apa?” Mau tidak mau, Delano mengangkat teleponnya.
“Kamu jadi pulang lusa kan? Kita makan siang bersama.” Si penelepon bertanya.
“Gak bisa dong, Ma. Itu kan hari kerja dan alamat rumah Mama juga jauh.”
“Kamu kan bisa izin atau cuti,” hardik sang mama terdengar kesal. “Mama gak mau tahu ya. Kamu harus datang bawa pavar kamu.”
“Delano belum punya pacar.”
“Jangan bohong, Del. Mama tahu kalau sekarang kamu punya pacar, jadi lebih baik kamu bawa dia datang atau Mama seret kamu pulang sekarang juga.”
“Tapi Ma .... Halo?” Delano baru mau menjelaskan, tapi teleponnya sudah terputus.
“Sialan.” Pertama kalinya dalam beberapa lama, Delano mengumpat. “Adelia tidak boleh tahu.”
***To Be Continued***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments