Orang Asing

 “Wih, halo Non Adel.” Yang empunya nama disambut oleh Galih. “Hari ini main di sini ya?”

 

 “Gak, Om. Hari ini nginap.”

 

 “Hah?” Galih melotot kaget mendengarnya.

 

 Lelaki yang lebih pendek dan lebih berisi dari Delano itu, menatap rekannya untuk meminta penjelasan. Namun, yang dilakukan Delano hanya mendesah pelan saja.

 

 Padahal tadi dia sudah mencoba mengancam, tapi rupanya gagal. Bukannya takut, Adelia malah tidak peduli.

 

 “Waktu aku setengah telanjang saja Daddy gak ngapa-ngapain. Jadi  aku percaya kalau Daddy baik dan bakal bela aku kalau ada yang macam-macam, seperti tadi.”

 

 Itu yang tadi dikatakan oleh Adelia dan langsung membuat Delano menyerah. Yang dikatakan perempuan itu sama sekali tidak salah.

 

 “Lih, sini.” Yang empunya kamar melambai pada temannya.

 

 “Ini beneran, Bos?” Lelaki pendek itu berbisik pelan, sembari melirik ke tamu mereka.

 

 “Iya, makanya nanti malam aku tidur di kamarmu. Nanti biar Adelia yang tidur di kamarku.”

 

 “Yakin, Mas Bos? Nanti pak RT gak setuju lagu.”

 

 “Aku udah kasih tahu Pak Jamal dan dia setuju aja sih.” Delano mengedikkan bahu, ketika menyebut nama si pemilik kos.

 

 “Daddy, nanti aku tidur di mana?” Adelia tiba-tiba saja menginterupsi percakapan dua lelaki tadi, setelah melihat-lihat keseluruhan lantai tiga.

 

 Keseluruhan lantai itu disewa oleh Delano. Terdiri dari dua kamar dan satu kamar mandi luar, ruang tamu, dapur, tempat jemuran. Tempat jemuran adalah milik bersama, tapi ada tangga sendiri untuk bisa sampai ke sana.

 

 “Kamu bisa tidur di kamarku. Nanti aku tidur di kamar galih,” jawab Delano mendekat ke arah tamunya.

 

 “Kamar Daddy yang mana? Yang di depan ini atau yang di belakang situ.”

 

 “Yang di belakang.” Delano menjawab, sekaligus membuka pintu kamarnya dan memperlihatkan isi kamarnya.

 

 Kamar Delano terbilang bersih untuk ukuran lelaki. Sangat bersih malah, dengan perabotan standar bernuansa putih atau cream.

 

 “Syukurlah aku dapat kamar yang bersih dan rapi.” Adelia dengan cepat menghela nafas lega.

 

 “Hah? Memangnya kamarku sekotor apa?” Galih dengan cepat memeriksa kamarnya.

 

 “Gak kotor sih, tapi berantakan banget. Kesannya jadi bikin gak nyaman gitu.” Adelia mengaku dengan jujurnya dan membuat Delano tertawa.

 

 ***

 

 Hari sudah cukup malam ketika Delano keluar dari kamar. Entah kenapa, hari ini dia kesulitan untuk tidur, padahal biasanya tidak seperti itu.

 

 “Adelia?” Lelaki yang baru keluar dari kamar itu, cukup terkejut dengan kehadiran yang empunya nama di ruang tamu.

 

 “Kok ada di sini? Belum tidur?” tanya lelaki dengan potongan rambut cepak itu, hanya untuk basa-basi saja.

 

 “Iya. Mungkin karena bukan ranjangku.” Adelia mengatakan hal itu sembari tersenyum lebar.

 

 “Makanya saya bilang apa? Sebaiknya kamu pulang.” Delano ikut duduk di sofa yang berseberangan dengan tamunya.

 

 “Tapi di rumah lebih tidak nyaman dibanding di sini.” Perempuan dengan rambut bergelombang itu memberitahu, dengan tatapan mata yang menerawang.

 

 “Rasanya aku seperti orang asing di rumah. Lebih tidak nyaman dibanding menjadi orang asing, di tempat yang asing.”

 

 Delano tersenyum mirim mendengar filosofi itu. Rasanya terdengar sedih, tapi juga nyata. Dia tidak tahu apa yang dirasakan Adelia, tapi pastinya menyakitkan.

 

 “Bagaimana kalau kamu mencoba untuk berdamai? Maksudku, bukan kamu memaafkan mereka. Tapi cobalah untuk tidak peduli. Mungkin dengan begitu ku bisa hidup lebih nyaman.”

 

 Adelia segera menggeleng mendengar yang dikatakan lelaki di depannya. Bukannya dia tidak mau mencoba, tapi memang tidak bisa.

 

 “Aku pernah berpikiran seperti itu, tapi tidak berhasil.” Perempuan mungil dengan piyama Hello Kitty berwarna pink itu memberi tahu.

 

 “Setiap kali melihat wajah mereka berdua, aku teringat mamaku. Teringat ketika dia tiba-tiba saja sakit dan selalu mengatakan tidak suka pada papa dan Bella,” lanjut Adelia yang kini terlihat sedih.

 

 “Penyakit mama sebenarnya sudah agak lama, tapi pengkhianatan papa membuatnya lebih parah. Bagaimana mungkin aku bisa tenang kalau seperti itu?”

 

 Delano mengangguk mengerti. “Kalau seperti itu, mungkin memang sulit.”

 

 “Jadi apa aku salah?” Tiba-tiba  saja Adelia ingin tahu. “Apa aku berdosa pada papaku?”

 

 “Kamu tidak melakukan apa-apa yang jahat padanya kan?” Delano balas bertanya.

 

 “Kalau tidak, mungkin kamu tidak berdosa,” lanjut lelaki itu setelah teman bicaranya mengangguk. “Bagiku sedikit membantah bukanlah dosa besar.”

 

 “Daddy orangnya bijak banget ya.” Adelia tidak segan memuji. “Aku jadi penasaran dengan keluarga Daddy deh.”

 

 Delano hanya bisa tersenyum mendengar pujian itu. Rasanya memalukan juga mendengar ada yang memujinya secara langsung, apalagi oleh perempuan cantik.

 

 Tidak bisa dipungkiri, Adeli itu cantik. Dia imut, mungil dan lucu. Sayangnya, Delano merasa perempuan itu bukanlah tipenya .

 

 “Aku dari keluarga biasa saja.” Akhirnya Delano mulai bercerita. “Papa dan mamaku hanya karyawan dan yah, begitulah. Tidak ada yang spesial.”

 

 “Tapi setidaknya keluargamu tidak seberantakan keluargaku kan?” Adelia bertanya dengan serius.

 

 “Yah, memang tidak sih. Setidaknya ayahku tidak berselingkuh atau sejenisnya.” Delano jadi merasa tidak enak ketika harus mengatakan itu.

 

 “Orang tuamu juga pastinya direstui ketika menikah kan?” tanya Adelia yang membuat Delano mengernyit bingung.

 

 “Katanya, orang tuaku dulunya tidak direstui. Makanya aku tidak akrab dengan keluarga mereka. Aku anak yang tidak diakui keluarga besar.”

 

 Mendengar pengakuan itu, Delano jadi makin kasihan saja dengan perempuan di depannya. Sepertinya hidup Adelia sudah sulit sedari kecil.

 

 “Papaku hanya pegawai dan mama anak orang kaya. Itu yang membuat mereka tidak disetujui. Katanya papa tidak punya masa depan.”

 

 “Tapi sekarang tidak kan?”

 

 Adelia langsung menggeleng mendengar pertanyaan Delano. Sampai detik ini pun, sang papa masih saja menjadi pegawai.

 

 “Yang sukses berkarier itu mama. Perusahaan yang papa pegang sekarang itu perusahaan yang didirikan mama,” jelas Adelia dengan jujur, tanpa peduli kalau teman bicaranya adalah orang asing.

 

 Delano jadi makin tidak tahu harus mengatakan apa ketika mendengar itu. Mungkin memang sudah banyak istri yang lebih kaya pada zaman sekarang dan tidak masalah. Sayangnya itu tidak berlaku bagi orang tua Adelia.

 

 “Aku jadi tidak punya teman curhat karena tidak dekat dengan sepupu,” tambah Adelia makin terlihat sedih. “Makanya sekarang aku curhat sama Daddy.”

 

 “Gak takut nanti saya jadi ember bocor?” tanya Delano dengan serius.

 

 “Sama sekali tidak karena aku tahu Daddy itu orang baik.”

 

 Delano hanya bisa mendesah melihat senyuman perempuan yang duduk di depannya itu. Sekian kali dipuji dan dia tidak pernah terbiasa dengan hal itu.

 

 “Sudahlah.” Tidak mau mendengar pujian memalukan lagi, Delano memutuskan untuk bangkit dari duduknya. “Kurasa sebaiknya kita pergi tidur saja. Sudah malam.”

 

 Adelia langsung ikut berdiri. Dia yang sudah merasa lebih lega, berpikir akan tertidur dengan mudah.

 

 “Omong-omong, aku suka deh ngobrol sama Daddy dan aku juga suka baumu. Rasanya, aku bakal gampang jatuh conta sama Daddy.” Adelia mengatakan itu sebelum masuk kamar.

 

***To Be Continued***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!