Bogem Mentah

 “Ini punya siapa?” Delano mengerutkan kening, ketika dia sampai ke rumah dan menemukan motor baru yang diberi pita.

 “Pak. Siapa yang ulang tahun? Kok ada sepeda motor baru di depan. Mana pakai pita lagi.” Delano menertawakan hal itu karena baginya sangat lucu. 

 “Lah, itu kan punyamu.” Bapak kos yang kebetulan duduk di teras, memberitahu.

 “Hah? Punya saya?” Jelas saja Delano akan terkejut. “Kok bisa?”

 “Ya, mana kutahu. Orang yang kirim bilang untuk Delano Widjaja kok.” Si bapak kos memperlihatkan tanda terimanya. “Pacarmu kali yang kirim." 

 Mendengar kata pacar disebut, Delano jadi teringat. Dua hari yang lalu, Adelia memang sempat mengatakan ingin memberi hadiah. Tadinya Delano pikir hadiah yang dimaksud hanya sekedar sesuatu yang receh seperti pakaian. Siapa yang sangka kalau yang datang malah motor seharga puluhan juta.

 “Galih.”

 “Eh, buset.” Yang empunya nama terlonjak. “Mas Bos kenapa sih teriak-teriak?”

 “Itu motor di depan dari Adelia ya?”

 “Iya,” jawab Galih dengan cepat. “Emang kenapa?”

 “Kenapa diterima?” Lelaki yang baru pulang itu langsung menggeram marah.

 “Masalahnya, kalau ditolak kan kasihan tukang antarnya. Udah capek-capek diturnin dari pick-up masa dibalikin lagi.” 

 Mendengar hal itu, Delano makin kesal saja. Rasanya, dia harus membuat perjanjian yang benar-benar jelas dengan Adelia. Lebih tepatnya, baru mau membuat karena perjanjian yang kemarin bahkan belum dia lihat sama sekali. Alhasil, Delano meminta untuk bertemu.

“Tumben Daddy minta ketemu malam-malam gini? Mana sampai dijemput ke rumah lagi?” Adelia menyambut lelaki dengan motor itu dengan senyum lebar. 

 “Kamu bisa keluar gak?”

 Adelia tidak menjawab. Perempuan muda yang sudah menggunakan pakaian rumah itu, langsung naik ke atas motor Delano. Dia tidak peduli kalau Bella sedang mengintip atau nanti papanya marah. Makin sering tidak berada di rumah, membuat Adelia makin senang.

 “Ini gak bakal dimarahin kan? Kamu belum izin soalnya.” Sang office boy bertanya terlebih dulu, sebelum melajukan motornya.

 “Gak bakal. Orang aku sudah gak dianggap di rumah,” jawab Adel sedikit melebih-lebihkan. 

 “Kalau begitu, pakai ini dulu.” Delano lupa membawa helm tambahan, tapi dia melepas helm miliknya untuk diberikan pada sang penumpang.

 “Lantas Daddy?”

 “Aku gak apa-apa kok. Sekalian ini kamu pakai jaketku saja.” Kini lelaki itu malah memberikan jaketnya. “Baju kamu tipis.”

 “Emang baju Daddy gak tipis?” Adelia mencibir, tapi tetap mengambil apa yang disodorkan lelaki di depannya itu. 

 Delano tidak lagi menjawab dan hanya tertawa saja, sebelum menyalakan motornya. “Jangan lupa pegangan.” Hanya itu yang sempat dia katakan. 

 Adelia pun dengan santai, langsung memeluk tubuh jangkung di depannya. Kedua lengan ramping perempuan itu, benar-benar melingkari pinggang Delano. Membuat lelaki itu sempat tertegun untuk sejenak.

 “Omong-omong. Kamu ada kirim motor ke tempat kos?” Akhirnya Delano menanyakan apa yang sejak tadi dia ingin tanyakan.

 “Oh, sudah sampai ya? Gimana suka gak motornya?”

 “Bagus sih, tapi untuk apa beli motor?”

 “Itu kan hadiah, Daddy. Cuma pengen ngasih aja kok. Kan yang sugar mommy-nya aku.”

 “Tapi menurutku itu berlebihan,” balas Delano tentu dengan suara yang lebih keras.

 “Iyakah?” Adelia pun membalas dengan teriakan. “Perasaan itu sudah termasuk biasa aja deh. Kadang kan ada yang sampai dibelikan mobil atau rumah.”

 “Tapi saya tidak perlu yang seperti itu, jadi mungkin ke depannya tidak perlu lagi.” Delano memberitahukan dengan tegas.

 “Artinya bukan sugar dating lagi dong.” Si penumpang tampak cemberut.

 “Masih kok, tapi mungkin harus diatur dengan jelas di dalam perjanjian. Kita kan belum buat, makanya saya ajak keluar untuk itu. Biar masalahnya cepat selesai.”

 Bibir Adelia membentuk huruf o tanda baru paham. Dia tidak keberatan sama sekali dan bahkan bersedia untuk singgah di warung kopi sederhana, untuk berdiskusi.

 Adelia memang kurang familier dengan yang namanya warung kopi alias warkop, tapi karena tempatnya bersih, dia tidak keberatan sama sekali. Untung saja, makanan yang ada di sana masih bisa dimakan oleh perempuan itu.

 “Ini sudah malam dan makanannya tidak sehat, tapi kok aku gak bisa berhenti mengunyah sih?”  

 Perempuan mungil itu, tidak henti-hentinya mengambil sepotong gorengan dan mencocolnya pada sambal. Itu membuat Delano tertawa pelan. Gorengan dan micin memang sangat susah untuk ditolak, apalagi sambalnya enak. 

 “Jadi bagaimana soal kontraknya?” Delano mulai berbicara, sambil ikuti-ikutan mengunyah. 

 “Aku sama kok dengan sebelumnya. No making love. Berciuman gak masalah, tapi jangan lama-lama. Kayaknya itu saja deh.” Adelia mencoba mengingat isi kontrak yang pernah dia buat.

 “Bisa tolong jangan bicara vulgar dengan suara keras di tempat umum?” desis Delano dengan suara pelan.

 Untung saja tadi lelaki itu tidak sedang mengunyah atau minum. Kalau tidak, dia pasti akan tersedak.  

 “Daddy mau gimana?”

 “Jangan memberikan hadiah berlebihan.” Delano menjawab dengan tegas. “Kalau boleh, jangan terlalu sering ke kantor.” 

 “Kenapa? Takut ketahuan papaku ya?” Adelia yang bertanya, tapi dia sendiri yang menjawab.

 Delano tidak menjawab dan hanya mengangguk saja. Yang dikatakan Adelia memang benar. Rasanya dia tidak ingin hubungan aneh ini, ketahuan oleh Aditya Lesmana.  

 “Kenapa?” Adelia yang penasaran pun bertanya.  

 “Karena aneh saja.” Delano mengedikkan bahu. “Masa office boy sepertiku jalan dengan anak direktur. Nanti orang bilang apa.”

 “Padahal tujuanku memang untuk bikin malu papa.” Adel mencebik kesal.

 “Gak baik gitu loh, Del. Biar jahat, tapi dia kan papamu juga.”

 “Papa durhaka. Lebih pentingin selingkuhan dan anak hasil zinah, ketimbang anak istri sah.”

 Delano bisa melihat dengan jelas kesedihan di wajah perempuan mungil di depannya. Itu membuat lidahnya kelu. Tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata mutiara. 

 Tangan lelaki yang masih berseragam office boy itu terangkat naik. Walau tak bisa berkata-kata, tapi dia masih bisa menghibur dengan mengelus pelan kepala Adelia, membuat perempuan muda itu tertegun.

 “Kalau mau curhat, saya bisa jadi pendengar yang baik.”

 “Aku tahu,” bisik Adelia membalas lelaki di depannya dengan senyuman.  

 “Sekarang kurasa kita harus pulang.” Tiba-tiba saja Delano bangkit dari kursinya. “Kamu sudah cukup lama keluar,  hari makin malam dan urusan kita sudah selesai."

 “Padahal aku nginap di klub saja gak dicari.” Adelia mencibir dan mengundang tawa lelaki di depannya.  

 Niat Delano memang baik, tapi pada kenyataannya tidak semua menganggapnya baik. Seperti yang terjadi saat lelaki itu mengantar Adelia pulang.

 Dari jauh pun, Delano bisa melihat ayah perempuan yang dia bonceng menunggu di depan pagar dengan raut wajah marah. Si office boy ingin turun menyapa, sekalian menjelaskan. Sayang, dia malah mendapat bogem mentah, bahkan sebelum sempat bicara.

 “Dasar brengsek. Kau bawa ke mana putriku?” Itu yang diteriakkan Aditya.

 

***To Be Continued***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!