Perjuangan memang tak pernah mengkhianati hasil. Sore itu Fay dan semua tim merayakan kesuksesan pameran mereka. Albie juga turut serta di sana. Arya sangat bangga dengan hasil kerja keras putrinya.
"Hebat, Fay. Saya tunggu pameran selanjutnya," ujar Albie tersenyum senang.
"Sama-sama Albie. Thanks untuk kepercayaannya. Konsep yang kamu ajukan sangat menarik. Membuat pameran ini lebih sukses. Thanks a lot," ucap Fay tulus.
Keduanya duduk berdua menikmati jamuan pesta. Arya tampak sibuk dengan koleganya, sementara Gea juga sibuk dengan tim yang lain. Sore ini menjadi pesta santai yang sangat menyenangkan bagi semuanya.
"Hi, son! Papa pikir kamu tidak datang. Fay bilang kamu terlalu sibuk." Suara Arya menyapa seseorang membuat Fay penasaran siapa yang dipanggil 'son' oleh ayahnya.
Menyadari siapa yang disapa ayahnya, Fay spontan tersedak dari minuman yang hendak ia telan. Pria itu ternyata Nero, suaminya.
"Kamu kenapa?" tanya Albie khawatir. Menyadari arah pandang Fay terus tertuju pada pintu, ia pun ikut menoleh. Seketika ia kesal saat tahu Nero yang datang.
Arya pasti senang melihat kehadiran sang menantu kesayangan. Dipanggilnya Fay untuk menyambut suaminya.
"Fay, temani suamimu!" Arya melambaikan tangan meminta Fay mendekat.
"Aku ke sana dulu, ya." Fay menepuk bahu Albie pelan dan beranjak mendekati ayah dan suaminya.
"Temani suamimu." Arya pun melenggang meninggalkan Nero dan Fay yang tampak kaku.
"Mas bukannya sibuk, ngapain ke sini?" selidik Fay curiga.
"Papa nyuruh ke sini," jawabnya.
"Silakan ..." Fay tidak jadi meneruskan ucapannya ketika menyadari ada sesuatu yang berbeda dari tampilan Nero. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.
"Silakan apa?" Nero balik bertanya karena Fay tak juga meneruskan kalimatnya. Ia malah sibuk menatap wajahnya. Pria itu merasa risih.
"Mas nggak sakit, kan? Pucat banget," komentar Fay. Disentuhnya dahi dengan punggung telapak tangan kanan. "Panas. Pulang, gih! Istirahat!"
"Kamu ngusir?" Nero melotot tidak senang. Ia melirik sekilas ke arah Albie yang sedari tadi mengamati Fay dari jauh. "Mentang-mentang lagi asyik pacaran."
"Apaan sih!" protes Fay tidak senang. Ia melirik sekilas Albie yang langsung terlihat sibuk bercakap dengan asistennya. "Kami cuma berteman. Mas pulang aja, minta dirawat Widi sono!" usir Fay sekali lagi.
"Widi belum pulang. Saya mau kamu ikut pulang."
Fay menggeleng mendengar permintaan Nero. "Hari ini aku mau nginep di galeri. Nyelesein laporan keuangan pameran."
"Saya juga akan menginap di sini!"
"Nggak bi- " perkataan Fay dipotong oleh ayahnya yang tiba-tiba muncul dari belakang.
"Bagus ide kamu, Son. Ikut nginep sekalian aja, biar ratu workaholic ini nggak betah, terus ikut kamu pulang," potong Arya tiba-tiba.
"Papa kok gitu sih! Mas Nero lagi sakit, jadi ..."
"Jadi Fay sebagai istri harus menemani suaminya pulang dan merawat sampai sembuh." Ucapan tegas Arya membuat Fay bungkam.
Nero tersenyum senang, ia pun menggandeng tangan Fay, mengajaknya pulang. Mau tidak mau ia mengikuti langkah suaminya keluar galeri, pulang ke rumah.
"Kamu yang nyetir!" Nero memberikan kunci mobil begitu mereka sampai di depan mobil miliknya.
"Iya," jawab Fay singkat menerima kunci mobil itu. Ia sangat malas berdebat. Lagipula, kondisi Nero memang sedang tidak fit. Jangan sampai terjadi apa-apa karena susah fokus saat nyetir di jalan.
Sepanjang perjalanan Nero hanya diam menutup mata. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Fay melakukan mobil dengan kecepatan sedang. "Segitunya banget hanya karena jauh dari Widi," gumam Fay lirih.
"Fay!" Tiba-tiba Nero memegang lengan kiri Fay dan memanggilnya. Sontak membuat Fay terkejut, untung mobil dalam posisi berhenti di lampu merah.
"Fay, jangan beri tahu Widi kalau saya sakit," ujar Nero tanpa memperdulikan reaksi Fay yang barusan terkejut karena ulahnya.
"Ngapain juga aku beritahu dia, yang ada ntar aku diomelin dan dituduh bikin Mas sakit. Males banget urusan sama Widi," kata Fay sok santai.
"Bagus kalau gitu, saya nggak mau dia khawatir." Nero tersenyum simpul.
"Lagian kok bisa sampai sakit?" tanya Fay sembari kembali melajukan mobil begitu lampu lalu lintas berubah hijau.
"Nggak tahu, kebanyakan lembur kayaknya. Ditambah lagi nggak dikasih makan sama istri," sindir Nero tiba-tiba. Beberapa hari terakhir Fay memang tidak memasak makanan.
"Kamu bisa beli makanan di luar, Mas. Lagian aku udah bilang nggak sempat masak karena jadwal persiapan pameran yang padet banget," tutur Fay menjelaskan alasannya.
"Makanan di luar nggak enak," komentar Nero ngasal.
Beberapa menit kemudian mobil berhenti di garasi. Fay menoleh ke arah Nero yang tertidur. Wajahnya semakin pucat, dahinya juga keluar keringat.
"Mas," panggil Fay pelan. Nero tidak beri respon. Fay menepuk pelan pipi Nero. Menyadari tidak ada respon, ia yakin kalau suaminya pingsan.
"Mampus gue!" Fay menepuk jidatnya. Ia bergegas keluar mobil dan memanggil satpam di depan.
Susah payah Fay dan satpam gotong royong membopong tubuh Nero yang lumayan berat. Perlahan keduanya bisa membaringkan Nero di atas tempat tidur.
Tindakan pertolongan pertama langsung Fay berikan. Mulai dari melepas sepatu dan melonggarkan pakaian Nero sampai memberikan kompres pada badan suaminya.
"Cepat sembuh, Mas. Jangan bikin khawatir," bisik Fay pelan tepat di telinga Nero.
"Saya dimana?" Lima menit kemudian Nero sadar. Ia tampak kebingungan mendapati dirinya berbaring di kamar yang cukup asing buatnya.
"Ini kamar aku, Mas. Tadi kamu pingsan. Salah sendiri kamar utama pake dikunci segala. Jadinya aku bawa kamu ke sini." Fay menjelaskan agar Nero tidak salah paham.
Nero berusaha bangun, tapi ia terjatuh lagi sebab kepalanya benar-benar pusing. "Di sini dulu aja. Sebentar lagi dokter juga sampai."
Pria itu pun menurut saja sebab ia juga masih kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya.
"Nona Fay, dokternya udah tiba," ujar satpam dari luar kamar. Fay meminta satpam membawa masuk dokter yang akan memeriksa Nero.
"Suruh masuk, Pak!" perintah Fay.
Dokter segera masuk dan melakukan pemeriksaan. Setelahnya ia meninggalkan obat dan memberi pesan agar Nero istirahat total selama tiga hari.
"Terima kasih, Dok," ucap Nero usai mendapat perawatan.
"Sama-sama, saya permisi Tuan Nero." Dokter itu undur diri diantar Fay hingga depan rumah.
"Terima kasih, Dok," ucap Fay saat dokter masuk ke mobil. Begitu mobil keluar halaman, ia menghela nafas panjang. "Bakal ada tugas tambahan, nih. Ngasuh bayi besar."
Fay melangkah masuk ke dalam rumah.
*****
Selama tiga hari Fay terpaksa tinggal di rumah. Ia selesaikan semua laporan keuangan pameran di rumah. Nero yang terbaring sakit harus dirawat. Fay tidak mungkin tega meninggalkannya.
Pagi dan sore Fay membantu Nero membasuh badan pake handuk yang dibasahi air, sebab badannya terlalu lemah untuk berjalan ke kamar mandi.
Sarapan, makan siang, dan makan malam juga Fay suapi. Ia benar-benar membagi waktunya antara merawat Nero dan menyelesaikan pekerjaannya.
"Kenyang, Fay," ujar Nero meminta Fay berhenti menyuapinya.
"Sesuap lagi, Mas. Biar cepat sembuh," pinta Fay.
Nero menuruti dengan membiarkan satu suapan masuk ke dalam mulutnya. Fay menyodorkan gelas berisi air putih, lalu obat dari dokter yang harus ia minum.
"Balik istirahat, gih. Aku mau lanjut kerjain laporan keuangan pameran," ujar Fay beranjak pergi.
"Fay." Nero menahan tangan Fay agar tidak beranjak pergi. Ditatapnya kedua mata perempuan yang menyandang status sebagai istrinya.
"Kenapa, Mas?" tanya Fay yang heran karena Nero tak kunjung melanjutkan ucapannya.
"Makasih," ujar Nero.
Fay hanya mengangguk dan beranjak membawa nampan makanan Nero keluar kamar.
"Kirain mau ngomong apaan," batin Fay sedikit kecewa karena hanya ucapan terima kasih yang terlontar dari bibir Nero.
"Ada perempuan kayak kamu Fay, padahal jelas-jelas pernikahan kita hanya status, perlakuan saya juga tidak pernah baik, tapi kamu masih mau merawat," komentar Nero begitu Fay keluar kamar.
"Sorry, Fay. Setelah ini, saya janji nggak akan kasar sama kamu," ujar Nero lagi sebelum akhirnya ia tutup mata dan tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments