Salah Terka

Dua hari kemudian ...

Fay menatap Widi tanpa suara. Perempuan yang merasa di atas angin itu hanya tersenyum sinis dipandangi istri kekasihnya.

Syarat kedua sebagai penebusan kesalahannya, Nero menyuruh istrinya minta maaf kepada Widi. Bagaimana pun menegur bisa dengan cara yang lebih lembut.

"Buruan Fay!" desak Nero mulai kehilangan kesabaran. Badannya terlalu letih, ingin segera tidur.

"Sorry ..." lirih diucapkannya kata maaf.

"Lebih keras!" bentak suaminya. Kesabarannya benar-benar sudah habis.

"Sorry." Fay melantangkan suaranya.

"Nggak mau!" sahut Widi ketus.

"Ayolah, kamu janji sama aku. Selesaikan urusan ini dengan cepat. Kamu kemarin bilang hanya ingin Fay mengucapkan maaf," bujuk Nero lembut. Bahu kekasihnya diusap pelan.

"Dia udah mancing aku telanjang, balasannya harus setimpal!" omel Widi tetap dengan intonasi tinggi.

"Sebutkan," pinta Nero.

"Cium kakiku, baru aku anggap impas."

Fay terperangah tak percaya. Melihat tampang licik perempuan itu, ia yakin kalau perbuatannya kemarin memang sengaja.

"Cepat lakukan atau terima hukuman lebih mengerikan dariku!" bentak Nero.

Mencium kaki wanita sialan itu atau dihajar habis-habisan oleh suaminya. Dua pilihan yang sama beratnya.

Badannya masih terasa ngilu, sementara besok ia harus bertemu dengan beberapa pelukis penting. Pilihan yang di ambil jangan beresiko pada fisik.

Perlahan ia mendekati Widi yang asyik duduk di samping suaminya. Dibiarkan kaki Widi mengarah ke wajahnya hingga telapak menyentuh bibirnya.

Gambar Ilustrasi

Bruk! Tubuh Fay terjungkal oleh tendangan kaki Widi. Ia jatuh ke belakang hingga terbaring. Semua nenek rabun juga tahu kalau Widi memang sengaja.

"Sorry, reflek. Soalnya geli." Ditatapnya wajah Nero dengan muka sok melas. "Kamu nggak marah kan, Sayank?"

Nero hanya mengangguk tanpa suara. Diajaknya naik ke atas meninggalkan Fay sendirian masih dalam posisi terbaring di lantai.

Pandangannya kosong. Energinya seolah habis bersamaan dengan harga dirinya yang dikuras habis. Perlahan air mata kembali menetes.

"Jahat kamu, Mas ..." rintih Fay pilu.

*****

"Semoga pameran kita nanti bisa berjalan sukses tanpa halangan apapun. Terima kasih untuk pertemuan hari ini, Saya tunggu karyanya," ujar Fay menutup meeting siang ini.

"Mbak, dipanggil Pak Arya. Aku izin balik lebih awal ya, Mbak. Mau temenin nyokap check up ke dokter," pamit Gea sekaligus memberitahu kalau ayahnya mencari dia.

"Oke." Tanpa mengulur waktu, dihampirinya ayahnya di ruang direktur.

"Fay, sini sebentar." Arya Bramantio melambaikan tangan begitu melihat anaknya memasuki ruangan. Ia ingin memberikan sesuatu pada suaminya.

"Lukisan ini buat apa, Pah?" Fay heran menerima lukisan ukuran A4 yang terbungkus kertas coklat.

"Berikan ini pada suamimu, antarkan langsung ke kantornya. Itu lukisan momen pernikahan kalian. Suruh pajang di ruang kerjanya," suruh Arya semangat.

"Papah bikin sendiri?"

"Tentu saja," jawab beliau yakin.

"Biar diantar kurir aja Pah. Fay masih banyak kerjaan soalnya be- "

"Kamu. Sekalian kenalkan dirimu pada seluruh orang di kantor kalau kamu istrinya Nero."

Di sinilah dia sekarang. Di depan gedung megah dengan tulisan "Adhitama Group". Jam istirahat banyak pegawai berlalu lalang keluar masuk kantor.

"Dimana ruangan Nero? Alrescho Nero Adhitama."

"Sudah buat janji?" perempuan cantik di meja resepsionis mengajukan pertanyaan formal layaknya kantor besar.

"Belum. Tapi, aku istrinya."

"Sebentar." Diraihnya gagang telpon di atas meja, "Seseorang mengaku istri Tuan Nero. Bolehkah dia ... Nona, siapa nama Anda?"

"Jesslyn Fay Edre," jawabnya ketus. Sungguh tidak sopan, bagaimana dia tidak tahu siapa istri atasannya.

"Jesslyn Fay Edre." Ekspresinya mendadak berubah usai menyebutkan nama Fay di telpon. Bergegas diantarnya sendiri istri atasannya itu menuju lantai di mana ruangan Nero berada.

"Maaf, Nyonya. Saya sempat tidak mengenali Anda." Dibungkukkannya badan meminta maaf selama keduanya di dalam lift.

"Lupakan saja, bukan salahmu sebab ini baru pertama kali aku ke sini," jawab Fay tersenyum ramah.

Begitu lift terbuka, hanya ada ruangan ukuran 6 kali 6 dengan meja sekretaris di sisi kanan dan ruang tamu mini di sisi kiri. Di tengahnya terdapat pintu besar bertuliskan "Ruang CEO".

"Nyonya ingin bertemu dengan Tuan Nero, beliau istrinya," ujarnya pada seorang perempuan yang sibuk mengerjakan laporan di meja sisi kanan.

"Selamat pagi, Nyonya Fay," sambutnya ramah. "Kebetulan Tuan Nero ada di dalam. Mari saya antar."

Perempuan bernama Maya itu berjalan menuju pintu, digerakkan tangannya dengan gerakan melambai di layar sensor sebelah kiri pintu. Benda persegi berwarna hitam itu terbuka ke dalam. Kantor yang canggih.

"Tuan, ada Nyonya Fay ingin bertemu Anda," ujarnya pada laki-laki yang tengah sibuk berdiskusi dengan seseorang yang tampak serius mencatat sesuatu di tablet yang ia genggam.

"Keluarlah, selesaikan pekerjaanmu," perintah laki-laki itu yang tak lain adalah Nero.

"Papah memintaku datang ke sini untuk mengantar lukisan ini. Dia memaksaku harus mengantar sendiri, memastikan aku juga yang memajangnya di ruangan kamu, Mas," ujar Fay to the point.

Melihat ukuran lukisan yang diperlihatkan padanya, Nero hanya meminta Fay memajangnya di sisi kanan ruangan dekat dengan sofa tamu.

"Pasti papah sudah memberi tahu sebelumnya," batin Fay yakin sebab tidak ada pertanyaan atau penolakan sedikit pun dari suaminya.

"Lukisan itu indah sekali, Nyonya. Apakah Anda yang membuatnya?" tanya Resta tanpa segan menunjukkan rasa kagumnya.

"Ini karya papah," jawabnya bangga. Ia juga takjub dengan lukisan realis hasil karya papahnya. Potret pernikahan dirinya dan Nero dengan balutan pakaian pengantin serba putih.

"Kembalilah ke meja kerjamu, selesaikan segera tugas yang baru saja kuberikan," perintah Nero pada Resta.

"Baik, Tuan," ujarnya sebelum melangkah keluar ruangan. Kini tinggal mereka berdua saja di dalam ruang kerja itu.

"Ada lagi yang kau perlukan?" Suara dingin Nero menggema ke seluruh ruangan. Fay hanya menggeleng, bergegas akan keluar ruangan tapi ditahan.

"Makan siang di sini saja. Duduklah di sofa sana, kubereskan sebentar berkas ini. Kita makan bersama."

Heran dan sedikit terkejut tentunya. Fay menuruti perintah suaminya tanpa bicara. Ia tersenyum simpul, ini pengalaman pertama mereka makan siang bersama.

*****

Fay berjalan ringan masuk ke rumah. Hatinya sedang senang. Siang tadi ia melewatkan makan siang cukup menyenangkan bersama Nero. Suaminya bersikap baik sekali padanya.

"Semoga sisi baiknya terus bertahan seperti ini," gumam Fay penuh harap. Dibukanya pintu rumah. Sepi seolah tidak ada siapapun.

Seluruh ruangan tampak gelap. Badan lelah karena melukis membuatnya ingin segera mandi. Fay berpikir mungkin Nero masih di kantor.

Fay berjalan santai menuju lantai 2. Mendekati kamar miliknya, sayup-sayup terdengar suara. Asalnya dari kamar utama. Semakin dekat semakin jelas.

Dari kamar utama terdengar ada yang mendesah. Suara er*tis yang sangat Fay kenal. Memastikan pendengarannya, ia intip dari celah pintu yang tidak tertutup sempurna.

Nero tengah bergoyang di atas tubuh Widi. Keduanya telanjang bulat di atas ranjang. Rambut perempuan itu tampak berantakan. Wajahnya sayu. Keduanya pasti telah lama bermain.

Pelan-pelan ditinggalkannya kamar itu. Bergegas ia masuk kamarnya. Melepas baju dan berendam di bak mandi.

"Harusnya aku ingat, statusku masih istri kontrakan." Teringat sesuatu, ditepuknya jidat kepala sangat keras. "Bodoh! Dia bersikap ramah pasti karena di ruang kerjanya ada CCTV."

Hatinya perih, menyadari sikap manis itu hanya bagian dari skenario agar tidak ketahuan. Sedetik kemudian, ia mendapat ide.

"Tunggu, kalau aku ingin makan siang bersamanya, kantor akan jadi tempat yang tepat." Fay tersenyum. Hatinya benar-benar berharap mendapat kesempatan untuk bisa mengenal lebih dekat sang suami.

Drrt... Drrt... Drrt... Ada pesan masuk dari Albie.

📲 Pesan dari Albie untuk Fay -> Bagaimana progres lukisannya, ada kesulitan? Kalau berkenan aku ingin mengundang makan siang bersama. Anggap saja pengganti undangan makan yang tertunda.

Diketiknya beberapa kalimat sebelum akhirnya ia tekan tombol kirim. Ditolaknya secara halus ajakan itu. Besok dia sudah punya rencana lain.

Di kejauhan, Albie tersenyum membaca balasan pesan untuknya. Pesan itu menolak halus ajakan makan siang sebab ada kesibukan lain.

"Perempuan yang menarik." Albie tersenyum membaca pesan itu. Diletakkannya HP di atas meja kecil. Tentu setelah mengetikkan satu pesan lagi.

📲 Pesan dari Albie untuk Fay -> Baiklah, semoga next time kita bisa makan siang bersama. Semoga harimu lancar, Nona JF.

Fay tersenyum membaca pesan itu. Diketiknya balasan terima kasih dan juga mendoakan semoga harinya lancar juga.

"Suamiku saja tidak seramah Albie," gumam Fay sedih.

Terpopuler

Comments

Richie

Richie

weww

2023-07-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!