Kami Ingin Cucu

Tiga bulan berlalu. Sejak kekerasan di ranjang usai pesta kemarin, kehidupan kembali berjalan seperti biasanya. Widi tetap sering menginap dan bercumbu panas dengan Nero.

Fay juga masih sering bertemu dengan Albie. Entah di galeri, bertemu di pameran lukisan atau sengaja membuat janji untuk makan siang bersama.

Berkali-kali Nero kerap menghajarnya saat ketahuan membuat janji bertemu dengan Albie. Sayangnya Fay tidak peduli meski berujung pada tangisan kesakitan.

Bagi Fay menjaga pertemanan jauh lebih penting daripada menuruti suami yang hanya memiliki masa kontrak dua tahun.

Tok Tok Tok! Gea muncul dari balik pintu. Tanpa masuk ia memberitahu kalau suaminya menunggu di depan galeri.

"Mbak, di tunggu Mas Nero. Katanya mau diajak makan siang. Sekarang orangnya nunggu di bawah."

Belum sempat bertanya lagi, Gea keburu pergi. Sepertinya ia sedang terburu-buru.

"Tumben dia ke sini." Fay keheranan dengan apa yang dikatakan Gea barusan. Diraihnya tas kecil berisi dompet dan make up.

Benar saja di bawah Nero tengah duduk di sofa dengan pakaian formal kantor warna abu-abu. Wajah topengnya terlihat jelas di mata Fay.

"Ayo kita makan siang, hari ini papa ingin kita lunch bareng di resto dekat sini," ujar Nero tersenyum sok ramah.

Fay hanya mengangguk dan bergegas mengajak suaminya pergi. Tak lupa ia memberitahu Gea yang kebetulan ada di meja resepsionis.

Selama di mobil, Nero kembali menampakkan wajah aslinya. Ekspresi jutek dan tidak menyenangkan untuk dilihat.

"Ingat! Jangan sampai kamu ngomong yang aneh-aneh. Awas kalau kamu keceplosan, bisa hancur nanti."

"Aku paling jago tutup mulut, Mas. Jadi, nggak usah ngancam segala."

*****

Siang itu Fay dan Nero makan bersama kedua ayah mereka di resto pilihan ayah Fay. Restoran Jepang yang terkenal lezat di Jakarta.

Keempatnya makan dengan tenang, sesekali ayah mereka memancing obrolan seputar kerjaan dan juga beberapa topik ringan lainnya.

Fay sebisa mungkin tidak bertanya dan cukup menjawab jika dilempar pertanyaan. Hal itu juga dilakukan oleh Nero.

Tiba di sesi menu penutup, Danu mengeluarkan statement yang sebenarnya menjadi alasan utama makan siang ini diadakan.

"Kalian berdua tidak ingin menjalani program kehamilan?" tanya Danu kepada anak dan menantunya.

Fay dan Nero langsung terbatuk bersamaan. Lekas-lekas keduanya meminum beberapa teguk air agar batuk segera berhenti.

"Kami masih muda, Pa. Saya rasa tidak perlu menjalani program semacam itu. Saya yakin kami subur," jawab Nero diplomatis.

"Nero, kami ingin cucu kembar. Dua putra sekaligus." Danu mengacungkan dua jarinya ke udara.

"Kita tidak ada keturunan kembar, Pa. Bagaimana mungkin?"

Danu tersenyum memandang anak sulungnya. "Sekarang kamu tahu apa alasan Papa menyarankan kalian menjalani program kehamilan, kan?"

Bibir Fay bungkam, dilirik ayahnya yang hanya diam menikmati kopi miliknya. Bisa-bisanya tenang seperti itu.

"Pah ..." bisik Fay. Arya yang baru menyadari kepanikan putranya langsung tersenyum.

"Nero, kamu tenang saja. Keluarga Bramantio ada yang kembar. Nenek dari ibunya Fay itu kembar. Jadi, peluangnya masih ada," sambung Arya Bramantio tenang sembari menatap balik putrinya.

"Tugas kalian tinggal mendaftar di klinik kandungan milik teman Papa," lanjut Danu semangat. Disodorkannya kartu nama di hadapan Nero.

"Beri kami cucu secepatnya."

"Akan kami usahakan," Nero mengambil kartu nama itu, disimpannya ke dalam saku jas. Ia mengajak Fay undur diri dengan alasan jam makan siang akan segera berakhir. Keduanya harus segera kembali bekerja.

"Kamu serius ingin anak kembar?" tanya Arya sepeninggal kedua anaknya.

"Tidak juga. Ide program kehamilan ini untuk membuat mereka lebih dekat. Diberi cucu atau tidak, bukan hal penting. Setidaknya, Nero menghabiskan sisa hidupnya bersama perempuan yang tepat."

*****

"Besok kamu urus ini!" Nero menyodorkan kartu nama yang tadi ia dapat dari ayahnya.

"Sendiri?"

Nero mengangguk, tangan kanannya sibuk menyetir dengan satu tangan.

"Nggak mungkin, Mas. Mana ada konsultasi program kehamilan cuman salah satu? Harus dua-duanya."

"Saya sibuk."

"Nggak usah sekalian! Aku juga sibuk. Mas bilang aja sama orang tua kita kalau nggak ada waktu untuk urus hal beginian."

"Oke! Biar Resta yang atur jadwal konsultasi buat kita."

Dalam hati Fay tersenyum senang, berharap hubungan mereka akan membaik setelah program kehamilan ini.

"Semoga program kehamilan kita akan membuat hubungan rumah tangga menjadi lebih baik," batin Fay penuh harap.

*****

"Jangan sedih dong," bujuk Widi manja, "Semangat. Aku selalu ada buat kamu di sini."

Nero baru saja menceritakan semua kejadian saat makan siang tadi, terutama keinginan ayahnya tentang anak kembar.

Nero berharap selama pernikahan kontrak ini berjalan, ia tidak ingin ada satu pun anak terlahir dari rahim Fay.

"Aku hanya ingin anak dari kamu, Sayank..." bisik Nero penuh harap. Dielusnya pipi Widi mesra.

Keduanya duduk berdekatan di atas ranjang berbalut selimut. Mereka baru saja menyelesaikan pergumulan dengan tiga ronde.

"Aku juga," ujar Widi mesra, "Tenang. Jalani saja program kehamilan itu. Nanti diam-diam akan aku ganti vitamin penyubur kandungan dengan obat penunda kehamilan. Gimana?"

Menyadari niat kotor kekasihnya, Nero seketika berubah senang. "Smart girl."

"Satu lagi. Ada satu kebiasaan yang harus kamu ubah."

"Kebiasaan apa?" Nero mengernyit heran. Ia merasa tidak memiliki kebiasaan buruk yang perlu diubah.

"Jangan kebiasaan menggunakan emosi atau obat perangsang hanya sekedar tidur dengan istri kontrak kamu itu."

"Kamu tahu sendiri, aku tidak punya nafsu dengan perempuan itu." Nero menghela nafas kasar. "Butuh pancingan emosi atau pengaruh obat perangsang."

Widi hanya tersenyum menanggapi ucapan kekasihnya itu. Hatinya cukup pahit setiap kali ingat kalau sekarang tubuh Nero bukan miliknya seorang.

"Aku takut kalian kelepasan, Sayank. Di saat seperti itu, kalian pasti lepas kendali. Aku nggak rela kamu punya anak dari perempuan brengsek itu," rajuk Widi.

Nero terlihat bingung, demi menyenangkan pujaan hatinya, ia pun hanya mengangguk saja. Dipeluknya mesra sembari ia kecup lembut ujung kepala Widi.

"Janji, nggak akan aku ulangi," bisik Nero tepat di telinga.

"Lihat saja perempuan busuk, aku pastikan tidak akan pernah ada janin tumbuh di dalam rahim kamu," batin Widi yakin.

*****

"Melihat hasil tes yang Anda berdua, tingkat kesuburan dinyatakan sangat baik. Kualitas rahim calon ibu juga bagus. Berdasarkan riwayat keluarga perempuan yang memang ada keturunan kembar, Saya rasa program bayi kembar akan jauh lebih mudah diwujudkan."

Penjelasan dokter membuat Fay lega. Setidaknya keinginan kedua orang tua bisa ia kabulkan segera. Lain hal dengan Nero.

Laki-laki itu terlihat biasa saja. Ia terkesan ingin segera mengakhiri sesi konsultasi hari ini. Terlihat jelas ia jengah harus bolak-balik rumah sakit.

"Dua minggu lagi silakan kembali untuk melihat perkembangan hasil terapi. Jaga pola makan. Ciptakan pengalaman **** yang lebih menyenangkan bagi istri. Semakin pihak perempuan merasa nyaman, pembuahan semakin cepat berhasil."

"Baik, Dok," jawab Fay.

"Lakukan 1 sampai 4 kali berhubungan dalam seminggu, perbanyak sayur, dan jangan tegang. Relax saja."

"Ada lagi, Dok?" tanya Nero.

Dokter hanya menggeleng. Keduanya undur diri meninggalkan rumah sakit.

"Dokter pesan kalau Mas nggak boleh bikin suasana tegang." Fay membuka obrolan begitu keduanya ada di dalam perjalanan pulang. "Kalau mainnya seperti itu, gimana bisa hamil, Mas?"

"Saya nggak nafsu sama kamu, dari awal saya sudah kasih tahu. Saya tidak cinta sama kamu," gerutu Nero kesal.

Fay menelan salivanya, hatinya pahit mendengar kalimat barusan, "Aku tahu. Walau nggak pakai perasaan, setidaknya gunakan kemanusiaan kamu, Mas. Aku bukan binatang. Tubuhku pasti lebam semua setelah kamu hajar saat berhubungan badan."

Diliriknya tajam wajah Fay yang mulus. Make up wajahnya saja terlihat sempurna. Jelas Nero tidak percaya.

Fay menyingsingkan lengannya, "Lihat lebam ini. Wajah aku cuman tertutup make up, Mas. Kamu nggak takut kalau misalnya dokter mencari tahu sebenarnya luka lebam aku karena murni jatuh atau digampar."

"Kamu ngancam?" Nero mulai terpancing emosi.

"Aku hanya ingin kita tetap di jalur skenario kontrak kita dengan aman, Mas." Fay mencoba menenangkan suaminya.

"Tadi aku cuman bilang kebentur soalnya terlalu tengang saat melakukan hubungan intim, jadi tenang saja. Aku pandai menutup mulut."

Nero ingat dengan permintaan Widi, dalam hati ia baru menyadari kalau caranya selama ini memang tidak manusiawi. Jangan sampai tubuh wanita di sebelahnya ini babak belur. Bisa berantakan semua renancanya.

"Walau tidak berniat membuat dia hamil, setidaknya jangan tinggalkan trauma **** karena sikap kasarku selama ini," batin Nero. "Aku harus ubah caraku."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!