Bab 7

"Ko bisa kaya gini sih Bi?"

Vio terlihat sangat cemas melihat kondisi tanganku, tadi aku keluar rumah saat Mas Gian sudah berangkat kerja bersama Sarah.

Aku heran, kenapa dia sangat kasar padaku sedangkan kepada Sarah dia sangat lembut. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar di kepalaku adalah kenapa Mas Gian seperti menyesali perbuatannya? Dulu, kalaupun Mas Gian menyakitiku boro-boro bertanya sakit atau tidak, peduli pun enggak.

"Mau ke dokter aja engga Bi?"

Aku menggeleng. "Gak usah Vio, gini doang besok juga sembuh."

"Pisah aja sih Bi, kalau kaya gini terus, yakin sanggup?"

"Enggak juga, gak yakin sanggup. Tapi, kalau pisah emang Mas Gian gak bakal berubah ya?"

Vio mengusap wajahnya gusar. "Aduh Binar, dengan dia nikah lagi tanpa persetujuan lo, ya dia enggak ada niat bener dong? Apalagi berubah."

Benar juga, aku terlalu berharap suamiku bisa mencintaiku sama seperti dia mencintai Sarah. Tapi, rasanya itu tidak mungkin juga.

Terdengar notifikasi dari ponselku, pesan yang masuk cukup membuatku kaget sekaligus senang. "DI mana kamu? Tangannya sudah di obati? Aku minta maaf."

Aku segera membalasnya dengan, "lagi ketemu temenku Mas, tanganku udah di obati."

"Ko senyum - senyum gitu liat handphone ?"

"Mas Gian nanyain gua di mana Vi."

"Ah, pasti dia mau marahin lo aja tuh Bi, perkata lo keluar rumah loh."

Iya juga, Mas Gian selalu marah kalau aku ketemu temenku. Gak tahu alasan jelasnya kenapa, dia selalu menuduhku selingkuh. Padahal pada akhirnya dia sendiri yang ngelakuin itu, kan?

"Jangan lupa makan siang, mau aku kirim makanan ke tempatmu sekarang?" tanya Mas Gian. Terbilang cukup cepat, bahkan sangat cepat.

Segera ku balas pesan itu, "enggak usah Mas, aku di cafe kok."

Vio berdehem, dia tampak tidak suka melihatku senang membalas pesan Mas Gian. Vio tidak salah, dia hanya ingin aku mendapatkan sesuatu yang baik di dalam hidupku. Ya, di umurku yang sekarang sebenernya aku bisa banyak mendapatkan hal-hal baik selain menikah dengan lelaki kasar seperti Mas Gian.

Tapi, aku juga tidak menyesali pilihanku. Toh, walaupun Mas Gian seperti itu tapi aku sudah berhasil melaksanakan amanat terakhir Ayah. Aku tidak masalah mengorbankan masa mudaku untuk apa yang menurut Ayah baik, walaupun ternyata dugaan beliau salah.

"Udah apa Bi, jelek banget senyum sama orang kek suamimu itu," ucap Vio. Aku terkekeh.

"Iya... iya... ya udah, ini juga udah ko, jadi gimana?"

"Gimana apanya?"

"Kuliahmu itu loh Vi, gimana?"

Vio membenarkan posisi duduknya di posisi nyaman. "Kemarin judul skripsi ku di acc sama dosen, sekarang lagi mulai nyusun bab satu sih, tapi ini loh, aku bingung harus dimana ya penelitian nya," jelas Vio.

"Tentang apa emang?" tanyaku.

"Masyarakat gitu, interaksi, harus di desa gitu Bi, cuma males banget kalo sendiri."

"Ajak aku lah Vi," ucapku dengan semangat.

Vio memicingkan matanya sambil menghela nafas. "Keluar buat beli sayur doang tanganmu sampe lecet-lecet, apalagi nganter aku penelitian yang bisa ampe dua mingguan,"

"udah di bunuh kali Bin," lanjutnya membuatku terkekeh.

Iya juga, bener kata Vio. Tapi gimana ya reaksi Mas Gian kalau aku izin pergi bareng Vio?

"Sayang, besok aku mau nginep di rumah Ibu dulu ya?"

"Mau aku temenin engga Sar?"

"Engga usah Mas, Mas kan harus ngurus banyak kerjaan, nanti bakal repot kalo Mas ikut, kan Ibu lagi sakit."

Aku sibuk menonton tv di ruang keluarga, ku dengar percakapan Mas Gian dengan Sarah saat memasuki rumah. Jadi Sarah bakal ke rumah Ibunya tanpa Mas Gian, mungkin aku bakal sedikit ada waktu bareng suamiku ini.

"Eh ada Binar, enak banget ya di rumah doang, nyantai gitu idupnya," celetuk Sarah begitu masuk ke ruang keluarga.

Biar ku beri tahu, saat masuk ke rumah akan langsung di suguhkan dengan kursi untuk para tamu yang di sebut dengan ruang tamu. Setelah melewati ruang tamu, akan ada ruang keluarga tempat aku nonton tv karena Mas Gian hampir tidak pernah menonton tv jika di rumah.

Nah, Posisi kamar Mas Gian dan Sarah yang dulu jadi kamarku juga berada di sebrang ruang keluarga. Jadi, jika Mas Gian dan Sarah mau ke kamar mereka, pasti melewati ruang keluarga tempatku sekarang duduk.

"Kalo mau, ya tinggal diem aja di rumah Sar," ucapku cuek tanpa menoleh ke arahnya.

"Kerja Mbak, biar ga tergantung sama suami kamu yang bentar lagi bakal ninggalin kamu,"

"Mau makan apa nanti kalau udah pisah sama Mas Gian?" lanjutnya.

"Gak usah mikirin hidup orang, tau apa kamu?"

Sarah belum tahu saja kalau aku anak tunggal dari Ayah dan Ibuku, aku punya beberapa salon dan toko buku peninggalan Ayahku. Kalaupun Mas Gian tidak memberiku nafkah, aku bisa menghidupi diriku sendiri.

Sarah berjalan ke arahku. "Idup Mbak tuh terlalu enak, gak cocok sama mukanya."

"Sar, ke kamar sekarang," sahut Mas Gian, mungkin bermaksud untuk melerai kita berdua.

Aku hanya diam melihat Sarah masuk ke dalam kamarnya, ku lanjutkan lagi menonton sinetron yang aku sukai.

"Tangannya masih sakit?"

Aku menengok ke arah sumber suara. "Loh, aku kira Mas masuk ke kamar bareng istrinya."

"Kamu juga istriku," ucapnya.

Aku melongo, mendengar dia berkata seperti itu rasanya kaya mimpi saja. Dari kapan Mas Gian belajar kalimat-kalimat manis yang di ucapkan padaku secara sadar?

Aku berdehem, membenarkan posisi dudukku. "Gapapa Mas tanganku, udah di obatin ko."

"Bagus kalau gitu, gak usah masak dulu."

"Mas kenapa berubah? Sejak kapan Mas baik ke aku?" tanyaku keheranan

"Aku cuma gak mau ngasih kesan buruk yang banyak ke kamu saat nanti kita pisah, seenggaknya kamu tahu kalau aku juga bisa baik," jawabnya, ada keraguan di dalam kalimatnya.

"Oh iya, gak mungkin juga Mas baik ke aku ya?"

"Bukan gitu Bi," jawabnya lagi mencoba membuatku mengerti.

Lagi pula, seharusnya aku tahu. Mas Gian tidak pernah dan tidak akan pernah mencintaiku layaknya aku mencintainya. Mas Gian akan selamanya Mas Gian, dia tetap dirinya, yang mencintai Sarah. Hanya Sarah yang Mas Gian ingin, bukan aku.

Jadi, rasanya tidak pantas kalau aku merasa Mas Gian berubah apalagi berfikir kalau alasannya karena keinginan Mas Gian untuk memperbaiki hubungan rumah tangga kita. Ya, meski aku sudah tidak apa-apa kalau memang Mas Gian ingin beristri dua.

Tapi, itu tidak mungkin. Aku akan tetap keluar dari rumah ini, aku tetap akan jadi yang tersingkir dan sebatang kara. Mas Gian, andai dia tahu kalau aku sungguh-sungguh mencintainya tanpa alasan. Tanpa apapun, aku benar-benar menginginkan yang terbaik untuk rumah tangga kita.

"Ya udah Mas, lagian kita akan tetap cerai kan? Perilaku Mas ke aku enggak akan ada ngaruh apapun ke hubungan kita, jadi stop mencoba baik di depan aku—"

"—kamu tetap kamu Mas, selamanya kamu adalah suamiku yang kasar, tidak lebih dari itu."

Terpopuler

Comments

maya ummu ihsan

maya ummu ihsan

ini bucin apa gimana

2023-07-26

0

Sukliang

Sukliang

tu sadar suami anjing itu jahat
kok dak mau keluar aja dr rmh itu
minta visum doktet
ajukan cerai

2023-07-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!