Talak Tiga Dari Suamiku
"KITA CERAI!"
"Mas! Mas sadar gak kalau itu termasuk talak buat aku? Ini yang kedua kalinya Mas!"
Aku tidak bisa lagi menahan tangisku, aku benar-benar menyesali perbuatan suamiku kali ini. Aku sedang belanja sayur di komplek depan. Salahnya, aku tidak membawa ponsel atau jam arloji untuk melihat pukul berapa saat itu.
Saat pulang ke rumah, begitu membuka pintu aku sudah di kejutkan dengan wajah seram suamiku. Dia membanting pintu pada tembok dengan sangat keras, rumah yang baru saja kita beli sudah ada beberapa yang rusak karena ulah Mas Gian.
Dia sering membanting pintu pada tembok yang membuat tembok itu retak, juga dengan gayung di kamar mandi, sudah lima kali aku menggantinya dengan yang baru.
"Dari mana saja kamu hah?"
Aku yang baru saja datang dengan satu kresek sayuran untuk makan malam, tidak bisa apa-apa selain menundukkan pandanganku.
Mas Gian menarik lengan kananku dengan sangat keras membuat kresek isi sayur itu sudah berantakan jatuh di lantai. "Oh, beli sayur? Beli sayur atau ketemu selingkuhan?"
Aku menggeleng. "Engga Mas!"
"Terus kenapa sengaja naro ponsel kamu di rumah? Kenapa engga di bawa? Takut selingkuhan mu tahu kalau kamu sudah punya suami?"
"MAS!" Aku geram sekali dengannya, selalu saja menuduhku dengan hal - hal yang tidak akan pernah aku lakukan seumur hidup.
Aku sangat menghormati suamiku, dan sudah berjanji pada almarhum Ayah untuk menjadi istri yang solehah. Tapi, suamiku tidak pernah memperlakukanku dengan lembut.
Sifatnya terlihat sejak hari kedua kita menikah, saat itu aku tidak sengaja mengangkat telepon dari rekannya karena Mas Gian sedang mandi. Saat selesai mandi, dia memarahiku habis-habisan, entah karena apa.
"Aku engga pernah selingkuh dari kamu Mas!"
"Terus belanja sayur tanpa seizin aku apa itu bukan selingkuh?"
"Mas, aku tau kamu bakal pulang sore ini jadi aku tadi belanja sayur tanpa bilang ke kamu karena aku mau ngasih kejutan makan malam buat kamu Mas," jelasku.
"Sekali lagi kamu keluar tanpa seizinku, demi Allah akan ku talak kamu!"
Mas Gian melepaskan pegangannya dari tanganku, ku lihat sudah ada garis merah di sana. Lengan Mas Gian terjiplak dengan jelas di pergelangan tanganku, aku tidak peduli dengan itu karena sudah terbiasa dengannya.
Ku rapihkan lagi sayuran yang jatuh di lantai, aku memasukkannya ke dalam kantung kresek dan membawanya ke dapur.
Aku tidak tahu apa yang di lakukan Mas Gian setelah memarahiku tadi, di sinilah aku sekarang, dapur. Meski masih terasa perih saat terkena air, tanganku masih bisa untuk sekedar memasak dua porsi. Untukku, dan Mas Gian.
Aku memasak sayur lodeh dan ikan goreng, ini makanan kesukaan Mas Gian. Kali ini aku yakin dia tidak akan menolak untuk makan di rumah, iya, Mas Gian hampir tidak pernah makan malam di rumah.
Akan banyak alasan untuknya bisa menghindar dari ajakanku makan bersama, dia selalu beralibi dengan banyak alasan yang membuatku akhirnya mengalah dan membiarkannya keluar untuk makan malam, entah lah dengan siapa aku tidak tahu.
"Jas putihku diamana Bi?" teriak Mas Gian dari dalam kamar.
Bi, itu namaku, Binar. selama satu tahun kita menikah, dia masih saja menyebut aku dengan namaku sendiri. Tidak pernah memanggilku dengan sebutan manis, tidak pernah juga memujiku atau sekedar mengucapkan selamat pagi. Dia tidak pernah melakukan hal manis sedikitpun.
"Ada di lemari Mas, udah aku setrika ko," seru ku dari dapur.
Aku heran, kenapa dia menanyakan jas putih di jam lima sore? Tidak ada jadwal apapun untuknya setahuku. Aku menunda acara memasaknya dan menghampiri Mas Gian ke dalam kamar.
"Mas," ucapku begitu masuk ke dalam kamar.
"Kamu mau kemana?" tanyaku.
"Makan malem sama temen," jawabnya singkat tanpa menoleh ke arahku. Mas Gian sibuk dengan pakaiannya, dia beberapa kali merapihkan jas itu di depan cermin.
"Udah rapih belum Bi?"
Aku mengangguk. "Udah Mas, emang kalo aku boleh tau kamu mau makan malam sama temen yang mana?"
"Kamu nuduh aku nih ceritanya?"
Mas Gian mengalihkan padangannya padaku, wajahnya terlihat tidak suka saat aku bertanya seperti itu. Padahal, apa salahnya seorang istri ingin tahu apa yang di lakukanlah suaminya di luar sana, kan?
"Engga Mas, aku heran aja tumben kamu rapih gini," jelasku.
"Gak suka liat suami rapih?"
"Bukan gitu Mas."
"Aku berangkat dulu," ucapnya berlalu dari hadapanku. Sepertinya suasana hati Mas Gian sedang sangat baik, dia tidak marah, biasanya dia akan kembali marah jika dia tidak suka atas apa yang aku katakan.
"Mas," ucapku membuatnya menghentikan langkah kakinya.
"Apa?"
"Aku masak sayur lodeh sama ikan goreng loh, kamu engga mau makan di rumah aja sama aku?"
"Berapa kali aku bilang sih? jangan pernah ngajak, nyuruh, ataupun ngatur kehidupanku!"
Mas Gian kembali berjalan keluar dari kamar. "Satu lagi, kunci pintu karena aku gak bakal pulang malam ini."
"Mas, kenapa enggak pulang? Mas mau nginep di mana?"
"BINAR! berapa kali harus ku bilang kalau kamu engga perlu tahu apa yang aku lakukan di luar!" kini telunjuk Mas Gian sudah berada di depan keningku.
Aku takut setengah mati, ku anggukkan kepalaku mengiyakan apa yang dia katakan.
"Hati - hati Mas, jangan lakuin hal yang merugikan diri Mas sendiri!"
Mas Gian sudah berlalu dengan Mobilnya, aku tidak pernah di beri izin untuk sekedar beli sayur. Tapi dirinya bebas untuk kemanapun, tanpa aku tahu.
Kadang aku berfikir untuk apa sebuah hubungan kalau seperti ini, kata almarhum Ibu dulu, kalau memiliki pasangan berarti bahagia kita harus dua kali lipat dari sebelum kita menikah. Tapi, setelah menikah dengan Mas Gian aku tidak pernah merasa senang bahkan sedikitpun.
Aku selalu menuruti apa yang dia perintahkan, aku selalu menerima apa yang dia katakan, aku juga selalu sabar saat dia menumpahkan masakan yang sudah aku masak hanya karena dia tidak suka dengan menunya.
Mas Gian, dia adalah lelaki pilihan almarhum Ayahku. Aku menerimanya karena aku sangat percaya pada Ayah kalau beliau tidak akan pernah menjerumuskan anak semata wayangnya ke jalan yang salah. Entah, entah Ayah juga tertipu atas sikap baiknya atau Ayah sudah mengetahuinya. Aku tidak tahu itu, tapi yang jelas jika memang ini terbaik menurut Ayah aku yakin ada hikmah dibalik ini semua.
Aku kembali pada bahan masakanku yang aku tinggal barusan, ku lanjutkan apa yang sudah aku tunda.
Tak terasa, air mata lolos begitu saja dari mataku. Aku buru - buru menyekanya, aku tidak boleh menangis, karena nanti akan menjadi dosa bagi suamiku. Meski sakit, akan aku tahan sampai kapanpun itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
S
Berarti orang tuamu adalah orang tua yg ceroboh.
2023-07-08
1