Dengan pikiran yang sudah penuh akan pelajaran dan hal-hal berat di sekolah, Amar masih bisa menunjukkan keceriaannya. Dia berjalan semangat untuk menemui Annisa, dari kejauhan netranya sudah menangkap sosok Anak kecil perempuan yang sedang duduk-duduk di teras depan, tak ketinggalan juga boneka kitty yang sekarang tergeletak sembarang, padahal biasanya selalu didekap atau dipegang, Amar sudah bisa menebaknya, pasti Annisa. Semakin dekat, semakin terlihat jelas wajah Annisa yang tampaknya sudah tidak sabar untuk mengembalikan boneka itu pada asalnya.
Setelah memberikan kode untuk menunggu, Amar masuk ke dalam rumah, mengganti baju, meninggalkan barang-barang yang tak perlu dan menyiapkan barang yang perlu, seperti korek api contohnya untuk dibawa, mungkin pikirnya mereka membutuhkan korek api itu.
Hari semakin petang, sang Ayah belum juga pulang, Annisa dan Amar berniat untuk sembari mencari Ayahnya saat mengembalikan boneka kitty pada asalnya. Di sepanjang perjalanan tidak ada hal-hal yang aneh, tanpa halangan mereka sampai di tempat, tempat yang menurut Annisa semakin asing, rasa-rasanya baru kali ini dia menginjakkan kaki kembali setelah 5 tahun yang lalu saat itu.
Amar memberikan kode dengan satu tangan untuk segera meletakkan boneka itu di sana. Annisa masih merespons dengan ragu, tubuhnya mencoba menduduki tanah yang kering.
Annisa menatap dalam juga sendu raut boneka kitty yang saat ini terpegang erat. "Kumohon setelah ini jangan ganggu aku atau keluargaku kembali, ya. Semoga kamu cepat-cepat dipertemukan oleh orang yang seharusnya memilikimu, oleh Anakmu yang sudah menunggu 5 tahun kedatangan boneka ini. Maafkan Ayahku, maafkan keluargaku."
Pada kalimat terakhir, bibir Annisa bergetar hebat, menahan pedih mata yang seakan ingin menangis histeris. Betul saja, saat Annisa meletakkan bonekanya ke tanah, tangisan itu pecah, Annisa mencoba mendekap diri sendiri, memeluk kedua kaki mungilnya masih dalam posisi yang sama.
"Sudah, tidak perlu ditangisi. Apa yang kamu lakukan sekarang adalah keputusan terbaik." Amar mengelus pelan kepala Annisa. "Oh iya, kemarin memang kamu mimpi apa, sampai-sampai membuat kamu tersadar untuk mengembalikan boneka ini?" lanjutnya.
Annisa mulai membuka diri, dia menyeka air matanya yang masih tersisa di pelupuk mata, dibantu dengan jari-jari sang Kakak dengan tulus.
"Aku ... Memimpikan ... Ah, itu hal yang buruk. Nanti malam Kak Amar akan tahu, itu pun kalau Ayah sudah pulang." Annisa membangunkan tubuhnya susah payah, masih meratapi boneka kitty malang yang akan ditinggal sendirian.
Amar membalas dengan anggukan kepala, lalu meraih pundak Annisa untuk menuntunnya berjalan. Suasana sore itu sangat sepi, awannya terlihat mendung seakan sudah menunjukan pukul 19.00. Baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba terdengar suara erangan laki-laki bersamaan boneka kitty yang mendadak hinggap di pundak Annisa, sangat kuat sentuhannya, hingga membuat Annisa ingin terjungkal ke depan.
Dengan susah payah Annisa meraih boneka kitty di belakangnya, dibantu Amar yang masih sama-sama terkejut dengan apa yang dilakukan jiwa itu kembali.
"Dia maunya apa, sih? Kenapa tidak mau lepas dari kamu?" Amar berusaha sekuat mungkin menyingkirkan boneka itu dari pundak Annisa.
Sementara Annisa yang sudah sangat lelah hanya bisa merengek pada sang Kakak.
"Kak Amar, aku enggak mau diganggu terus." Annisa masih berusaha menggerakkan jari-jari mungilnya, meraba di belakang pundak.
Akhirnya usaha Amar tidak sia-sia, boneka itu terlepas juga, tetapi entah kenapa setelahnya angin mendadak lewat dengan kencang, menembus hingga ke tulang-tulang mereka, terasa merinding dan menegangkan. Tanpa berpikir panjang, Amar kembali berjalan menghampiri boneka yang tadi terlemparnya sembarang, kini dia mulai mengeluarkan korek kayu yang sedari tadi hinggap di saku celana. Annisa yang melihat tindakan sang Kakak buru-buru mencegahnya.
"Kak Amar, mau apa? Jangan bakar dia, Kak. Bagaimana pun itu, dia udah nemenin 5 tahun aku." Annisa meraih tangan Amar yang memegang korek kayu.
Amar masih berusaha dengan pelan melepaskan genggaman Annisa. "Nisa, ini cara terbaik. Iya, menemani 5 tahun yang terasa sakit bukan? Memang kebaikan apa yang sudah dia lakukan? Banyak jahatnya, dia racun!"
Annisa hanya bisa pasrah, menggelengkan kepalanya dengan air mata yang refleks terjatuh.
Amar terdiam sejenak, ketika korek kayu yang sudah dia siapkan mulai mengeluarkan api, tubuhnya dia turunkan, berusaha mendekatkan api itu ke boneka kitty. Dengan keyakinannya, api kecil kini yang telah hinggap pada kepala boneka, mulai menjalar lebih besar, entah kenapa sangat cepat, padahal tidak ada bahan bakar yang membantu.
"Kak!" Annisa berteriak histeris, sungguh pemandangan yang sangat sakit untuknya.
Jiwa Annisa seperti ikut merasa terbakar, hatinya hancur berkeping-keping, sangat tidak berdaya untuk menggerakkan tubuhnya kembali.
Di saat yang bersamaan, api kian padam, boneka kitty yang hampir terbakar habis tiba-tiba berubah menjadi sosok pria yang tidak asing bagi Annisa, ya dia sudah pernah melihatnya malam itu. Tubuh pria itu cukup besar, tinggi, masih terlihat jelas luka dalam di tengah perutnya, juga jari-jari seperti baju yang telah compang-camping, darah masih bercucuran, hingga mengenai lengan Amar yang kesulitan menghindar.
Amar benar-benar terkejut, perasaan takutnya membuat jantung Amar berdegup dengan kencang, dia tidak bisa berpikir baik, tubuhnya yang ingin menghindar terasa sulit untuk digerakkan.
"Kalian harus merasakan kepedihan yang putriku rasakan!" geram makhluk itu cukup keras.
Dengan gigi besarnya yang mulai ditampakkan, makhluk itu menyerang Amar, dia terlihat sangat emosi dan mulai mengamuk. Jari-jarinya yang besar mencoba meraih kerah baju Amar, lalu melemparnya ke sembarang arah, hingga menimbulkan suara benturan yang hebat, dahi Amar tepat mengenai ujung tembok yang lancip membuat luka parah dan darah yang tidak henti bercucuran.
Amar hanya bisa meringis kesakitan, jari-jarinya yang sudah lemas masih berusaha melindungi dahinya yang terluka parah.
Annisa yang mendengar dan melihat semua itu benar-benar hancur, air matanya seperti sudah habis untuk terjatuh kembali, dia benar-benar tidak tega melihat Kakaknya diperlakukan seperti itu. Dengan keberaniannya, Annisa bangkit, lalu melangkah menuju tepat di depan makhluk itu.
"Cukup! Hentikan! Jangan berani-berani lagi kamu nyakitin Kak Amar, kamu sebenarnya mau aku untuk ikut ke duniamu, bukan? Ya sudah, bawa aku saja! Bunuh aku sekarang, cepat bunuh aku! Jangan ganggu Kak Amar dan Ayah, aku saja sudah cukup!"
Saat itu juga Annisa ambruk, badannya benar-benar terasa lemas, dia seperti bersujud ke tanah, memasrahkan semua yang akan terjadi selanjutnya. Dan beberapa detik dia merasakan seseorang mendekap tubuhnya, siapa lagi kalau bukan sang Kakak. Bisa-bisanya Amar masih sekuat itu, melangkah getir untuk mendekap sang Adik.
Di tengah kesepian dan suasana yang kian gelap, mereka menangis dalam, tanpa suara, saling menguatkan, setelah makhluk jahat itu pergi dengan sendirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments