Father's Love And Revenge
Seorang pria tinggi berjalan dengan sedikit sempoyongan seraya senyum yang selalu terukir manis, netranya tidak jarang berkedip akan tabrakan angin malam yang kian membuat tubuhnya merinding. Dia sangat tidak sabar untuk memberikan putrinya sebuah boneka kitty.
Sepanjang jalan David lebih fokuskan pandangannya pada boneka yang hanya terbalut plastik bening, entah kenapa kedua mata terasa sangat pedih, bukan hanya penyebab angin saja, tetapi sesuatu telah merasuk dalam pikiran dan hatinya. Saat sang putri, Camelia selalu berkeluh kesah, karena teman-teman sekolah dasarnya yang selalu membully, dia bilang teman-teman di sekolah selalu memamerkan apa yang mereka punya, apa yang mereka dapatkan dari orang tua, sementara Camelia seperti seorang bocah yang harus dipaksa tidak manja dan hanya sebatas menjadi penonton kesenangan teman-temannya.
Dengan tangan kanan yang sedikit gemetar, David mengusap pelan boneka yang seperti ikut merasakan kesedihannya malam itu. Tidak sengaja, dengan cepat air mata terjatuh, membuat genangan kecil di latar plastik bening tak beraturan yang membalut.
"Lia, Ayah rela menjual satu organ tubuh Ayah untuk kamu. Ayah sebenarnya selalu menangis, sayang tiap kali mendengar cerita sedihmu, Ayah ikut sakit melihat kamu sakit. Semoga dengan boneka ini, kamu bisa punya teman yang benar-benar menjadi pendukung, punya teman yang selalu setia, teman yang selalu menyayangi kamu, sayang." David menghentikan langkahnya sejenak, tubuhnya memaksa untuk turun.
Di sela-sela diamnya itu, tangisan dalam yang tak terdengar tercurah hebat dalam batin David. Sekeras dan setegas apa pun watak seorang Ayah, akan luluh juga ketika putrinya sedang tidak baik-baik saja, akan menangis juga ketika batin putrinya teriris, apalagi sekarang David harus menghidupkan Camelia sendiri, semenjak kepergian Istrinya satu tahun yang lalu. Hanya beberapa menit saja David menundukkan pandangan, dan saat mulai membuka mata ke depan, seorang Anak kecil perempuan muncul di hadapannya, wajah Anak itu sangat mengenaskan, rambut pendek serta poni yang tidak beraturan itu terlihat kusut, matanya sangat merah, dan beberapa memar yang bahkan mengeluarkan darah di area dahinya.
David buru-buru memundurkan tubuh, hampir ingin terjungkal ke belakang, untung saja tumpuan kakinya kuat.
"Halo, Om, aku ingin boneka yang om pegang." Anak kecil itu secara berani meraih lengan David dengan sembilan jari mungilnya seraya senyum memohon yang membuat siapa saja luluh.
David yang masih tercengang, hanya terdiam kaku, detak jantungnya yang tadi berdegup kencang, perlahan dia coba menormalkan kembali.
"Nama kamu siapa, mana orang tua kamu?" Netra David tidak berhenti melirik ke samping dan belakang, berharap orang tua dari Anak di depannya ini segera datang.
Anak itu terdiam sejenak, garis wajahnya terlihat mulai menampakkan ketakutan. "Aku Annisa. Om, jangan bilang-bilang, ya, aku kabur dari mereka, karena mereka jahat, padahal aku hanya ingin dibelikan boneka saja."
Helaan napas panjang David curahkan, lalu berakhir gelengan kepala mencoba meyakinkan Anak kecil di depannya.
"Kamu diapain sama mereka? Kamu nakal, ya?" David mulai meraih pundak Annisa dengan satu tangan seraya tatapan dalam.
Tiba-tiba saja Annisa malah merespons sangat kasar, dia menyeka tangan David dan melempar kuat-kuat, tatapan manisnya mendadak pun berubah amarah, tubuh kecil yang sedari tadi lunglai mulai ditampakkan dengan tegas.
"Aku bilang aku hanya ingin boneka! Mengapa om tidak mengerti juga?!" Annisa menghentakkan kaki kanannya ke tanah dengan kedua tangan yang hinggap di pinggul.
Baru saja David mencoba untuk meraih lengan Annisa, berniat untuk membuatnya tenang, tetapi suara tegas sedikit teriak terdengar sakit di telinga David dari arah belakang.
"Annisa, pulang! Ngapain kamu di sini?!"
Annisa yang menyadari Ayahnya datang, buru-buru meluncurkan tatapan kesal kepada David, lalu berlari menuju Ayahnya dan menerobos tanpa menunggu terlebih dahulu. Sementara Ayah Annisa, Aldi namanya hanya bisa menatap kepergian Annisa, lalu fokusnya beralih pada David yang kini mulai membangunkan tubuh seraya membersihkan celana yang terkena pasir.
Baru saja David bisa bernapas dengan lega kembali, karena Annisa sudah bertemu dengan sang Ayah, tetapi tebakannya salah besar, kesengsaraan belum benar-benar berakhir, kini pundaknya terasa berat akan tumpuan tangan seseorang.
Dengan cepat David menyekanya dan membalikan tubuh menghadap seseorang pemilik tangan itu. "Kenapa? Ada yang bisa saya bantu lagi?"
"Ini wilayah saya, ngapain Anda jalan di sini?" seru Aldi dengan tekanan di setiap kata.
David mengaburkan pandangan dengan malas ke arah samping, lalu kembali fokus menatap pria di depan.
"Ini wilayah umum, Pak. Sejak kapan wilayah ini jadi milik Anda?" jawab David dengan malas.
"Kamu berani, ya bicara seperti ini?!" Aldi menarik kerah baju David secara kasar, tatapannya penuh amarah yang sudah meledak-ledak.
Tidak ingin terlihat lemah, David dengan kuat menyingkirkan tubuh Aldi, lalu merapikan kerah bajunya, masih memegang sebuah bingkisan boneka itu.
"Serahkan uang kamu sekarang! Cepat!"
Aldi masih tidak ingin kalah, dia terus membusungkan dadanya, netra licik itu sedetik pun tidak berubah menjadi tenang.
"Saya tidak punya apa-apa, boneka ini pun saya beli mati-matian untuk putri saya," jawab David dengan tenang, rasanya tidak ingin berlama-lama berdebat dengan orang gila di depannya.
Entah apa yang sudah David perbuat kemarin-kemarin, hingga akhirnya malam itu menjadi malam terakhir untuknya, malam berdarah yang menciptakan aura negatif besar. Aldi yang sudah penuh amarah, karena terbiasa juga dengan kegiatan sehari-harinya memalak orang, malam itu emosinya benar-benar tidak bisa diatur, dia menancapkan sebuah pisau kecil tajam yang selalu hinggap di celananya tepat di bagian perut David, darah segar yang tertahan pisau untuk ke luar, pada akhirnya mulai meneteskan juga dalam tanah yang menjadi saksi bisu kepedihan David.
Tubuhnya dipaksa ambruk oleh segala perih yang menjalar seluruh tubuh, bahkan boneka yang sedari tadi dia pertahankan di tangan, kini harus terjatuh bersamaan dengan darah.
"Mengapa ... An---da te---ga dengan sa---ya, Pak? Saya be---lum sempat membe---ri---kan bo---ne---ka ini untuk Camelia, put---ri sa---ya." David masih berusaha memegangi boneka itu, mulutnya sangat gemetar untuk mengeluarkan sepatah kata saja, rasanya benar-benar pedih, sangat dalam.
Aldi yang memiliki hati batu tidak akan luluh dengan tangisan atau cerita sedih sekali pun, tidak ada sesal dalam benaknya, karena telah membunuh David, bahkan lebih parahnya kini Aldi menginjak kuat tangan kanan David yang sedang berusaha meraih boneka agar bisa meninggal total.
Teriakan yang sangat mencekik sekali lagi terdengar malam itu, teriakan paling histeris dan teriakan terakhir dari David, air matanya pun menjadi saksi betapa pedih jiwanya, satu sisi dia harus merasakan sakit yang sangat dalam dan satu lagi pesannya untuk memberikan boneka kepada sang putri belum tersampaikan. Dalam hitungan detik saja, David memejamkan mata untuk selamanya.
Aldi yang hanya menjadi penonton saja, kini mulai bertindak, dia membawa tubuh David yang semakin kaku terseret ke tanah, membiarkan baju dan celananya kotor, untung saja malam itu sangat sepi, tidak ada kendaraan atau pun orang yang berlalu-lalang. Jadi, Aldi dapat dengan mudah melakukan misinya untuk membuang jenazah David ke sungai terdekat.
Tidak lupa, saat hendak melemparkan tubuh David, Aldi dengan gesit menarik pisau kecil yang masih menancap dalam perut David itu untuk dia taruh kembali. Namun, tubuh Aldi mendadak bergidik ngeri ketika luka yang pisau torehkan tidak lagi memunculkan darah, justru terlihat seperti normal dan baik-baik saja. Tidak ingin menambah pikiran negatif, Aldi buru-buru meninggalkan sungai itu ketika dirasa jenazah David semakin hanyut terbawa arus sungai yang cukup deras.
Saat tiba, di jalan di mana David dibunuh, Aldi masih menemukan boneka malang yang tak lagi mempunyai pemilik itu, sisa darah tadi pun masih membekas di jalanan, tetapi Aldi akalkan dengan mengaburkan darah menggunakan pasir yang dia toreh bersama sepatunya, tidak menggunakan tangan langsung.
Dengan senyuman licik, Aldi mengambil boneka kitty yang masih terbalut plastik bening, berniat untuk memberikannya kepada Annisa, putri satu-satunya. Namun, baru saja Aldi ingin mengangkatnya menggunakan satu tangan, tetapi aneh sekali Aldi malah merasa tertarik hingga terjatuh, karena beban bonekanya mendadak sangat berat.
"Sial, ini boneka maunya apa, sih!" Aldi kembali berusaha meraih boneka itu dan akhirnya sampai di dekapannya.
Buru-buru Aldi pergi, berusaha secerdik mungkin untuk menghilangkan jejak pembunuhan, tanpa dia sadari, boneka yang berada dalam dekapannya kini menunjukan mata merah yang menyala, hanya persekian detik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Sherly Azzallea
waoowww....ngeri ini ngeri
2023-07-18
2