Menurut informasi bahwa tetanggaku adalah tukang yang handal di daerah ini, kebetulan satu marga denganku dan sekaligus tetangga yang punya lahan kosong tepat di samping rumah kami ini.
"Kak Rina...
Ito pak Bima dimana?"
"Lagi makan di dapur, kenapa emangnya?"
"Sere mau mintak tolong sama ito."
"Tunggulah bentar ya, sekalian aja yuk kita makan siang."
Akhirnya makan siang bersama, pantang nolak rejeki, kebetulan juga belum makan siang dan ini sangat cocok.
(ito adalah panggilan kepada saudara laki-laki atau saudara semarga dalam Batak Toba dan istrinya di panggil eda.)
Selesai makan dan kami berpindah ke ruang tengah atau ruang tamu, dan aku langsung menunjukkan buku catatan yang aku miliki.
"Begini ito, Sere mau memelihara babi di belakang rumah. jadi seperti inilah perencanaan bangunan kandangnya, agar tidak menimbulkan bau yang tidak sedap yang bisa menggangu warga sekitar."
Terlihat pak Bima, namanya aslinya adalah Brendi, beliau di panggil pak Bima karena anak pertamanya bernama Bima.
Tradisi batak toba, yang memanggil seseorang dengan nama anak pertamanya.
Istrinya adalah seorang guru SMP dah sudah berstatus pegawai negeri sipil.
Pak Bima terlihat mengagumi rancangan model peternakan babi yang aku inginkan dan memujinya.
"Luar biasa dan berstruktur, ito ini dah kyak arsitektur aja. mulai dari kandang, irigasi sampai pengolahan limbahnya.
Jadi nantinya ito bisa membagi gas kepada kami kami? supaya eda mu ini jauh lebih hemat."
Ujar pak Bima, sebenarnya itu bercanda tapi aku menyetujui untuk membagi gas alami tersebut ke mak Bima kelak nanti.
"Mintak tolong buatkan sesuai dengan yang Sere inginkan ito."
Pak Bima menyetujui dan kemudian menghitung biaya yang diperlukan dan ternyata hanya membutuhkan biaya sekitar lima puluh jutaan dan perlu menyediakan sekita sepuluh juta lagi untuk persediaan dana darurat.
Biayanya sudah sekaligus untuk biaya tukang dan juga bahan material bangunannya.
"Ito...
Tanah kosong milik ito itu, yang bersebelahan dengan tanah kosong milik kami, bisa ngak aku menyewa nya?
Bukan untuk tempat kandangnya, tapi menanam sayur-sayuran serta tanaman untuk kebutuhan ternak."
"Ngapain sewa, pakai aja dulu. ntar kalau dah berhasil baru kami mintak, iya kan bang? toh juga nanti kami dapat gas gratis."
"Iya....
kayak orang asing deh, tapi jangan pelit ya kalau eda mu memetik sayuran mu kelak nanti nya."
"Siap....."
Tanpa menyewa lahan dan tentunya mengurangi pengeluaran kelak nantinya, bahkan dapat rekomendasi untuk membeli anak babi dari mertuanya, sekaligus bibit sayuran dan juga bibit tanaman bumbu dapur lainnya.**
Tiopan tidak mempermasalahkan kalau aku akan berternak babi dan apapun yang kulakukan di rumah ini.
Berhubung Tiopan hanya sesekali ke rumah dan hanya datang sekedar meminta jatah tidur denganku dan aku leluasa untuk bekerja di belakang rumah ini.
Pak Bima dan anggota nya sudah mulai bekerja untuk membuat kandang ternak babi, dan aku mulai menggarap lahan tanah kosong milik pak Bima dan istrinya.
Sumur air kami sangat melimpah, dan hanya perlu membeli mesin pompa air yang terbaru, agar bisa menarik air ke kebun dan kandang ternak.
Untuk pertanian aku tetap menerapkan sistem yang aku pelajari di Taiwan dan itu benar-benar menghemat air dan tenaga dengan sistem tetes irigasi, dimana pekerjaannya di bantu oleh pak Bima dan tim.
Rencananya semua tanaman kelak nanti, hanya menggunakan pupuk alami dan pestisida alami yang aku pelajari di Taiwan.
Sistem tetes irigasi, yang mengairi setiap tanaman yang terbungkus plastik mulsa dan menghemat anggaran.
Sudah sebulan sejak penggarapan lahan tersebut, progres kandang ternak sudah mencapai tiga puluh persen dan beberapa sayuran sudah mulai bisa dipetik.
Seperti bayam, pak coy, daun ubi, dan kangkung.
"Ya Tuhanku...
kebun sayur mu ini sungguh memukau, dan ingin rasanya memetik bayam merah itu."
"Silahkan kakak ku, tiap hari juga ngak apa-apa kok, toh juga itu untuk keperluan sehari-hari aja."
Pujian itu langsung ku sahut, aku memang sengaja memanggil istri pak Bima untuk memetik sayur di kebun ini.
"Kalau hanya konsumsi, ini sudah berlebih loh. di depan rumah itu ada kedai, titip aja coba di sana.
Penduduk disini rata-rata pekerja di pemerintahan dan juga sektor swasta, jadi pasti butuh sayur."
"Iyaa.....
Titip aja, pasti kakak mu menerimanya. ngak pake modal dan juga segar setiap harinya.
Kasian aku melihatnya, setiap hari harus ke pasar pusat untuk mengambil sayur untuk dijual kembali."
Pak Sinta menyambung pembicaraan mak Bima, karena istrinya punya warung yang menjual kebutuhan dapur dan tepat di depan rumah ini.
Ngak ada salahnya mencoba, dan langsung aku petik masing-masing lima ikat dari sayur-sayuran yang ada dan membawanya ke warung mak Sinta.
Ternyata saran itu adalah saran yang bagus dan langsung di terima mak Sinta dan jika ada sayuran yang lain atau bumbu yang lain, silahkan di masukkan aja.
Begitu juga dengan telur ayam kampung berikut dengan dagingnya, kalau sudah panen babi, potong satu ekor setiap minggunya dan jual di kedai mak Sinta.
Begitulah kata mak Sinta, nantinya tinggal hitungan dan baru saja aku letakkan disana langsung terjual laku.
Satu ikat nya tiga ribu, seribu untuk mak Sinta dan sisanya untuk ku.*
Butuh waktu tiga bulan untuk membuat kandang sedemikian sesuai yang aku inginkan, enam ekor babi betina dan dua jantan sudah ada di dalam kandang.
Lalu ayam enam ekor, sementara tanaman sayuran yang lain sudah menghasilkan pundi-pundi keuangan.
Seiring perkembangan kebun dan juga ternak, kabar bahagia juga menyertai keluarga kecil ini, kini aku sedang hamil anak pertama dan bang Tiopan sudah semakin sering dirumah.
Perubahan yang cukup baik, tapi ada minusnya juga.
Mamanya serta kakak perempuan Tiopan semakin sering ke rumah, dan selalu memintak gratis sayuran yang ku tanam.
Usia kehamilan sudah mencapai tujuh bulanan, dan aku semakin susah bergerak.
Hamil tujuh bulanan dan bang Tiopan membawa ku ke rumah sakit, untuk mengecek jenis kelamin anak yang ku kandung.
Bang Tiopan langsung kecewa, ketika dokter itu berkata kemungkinan besar anak kami ini perempuan.
Sejak saat itu bang Tiopan balik ke rumah orangtuanya.
Setidaknya mamak dan kakak perempuan tidak sering datang kemari dan itu bisa membuat ku lebih tenang.
Aku tidak perduli kalau anak yang ku kandung ini adalah perempuan atau laki-laki, karena ini anugerah dan rejeki bagiku.
Saat duduk di ruang tengah ini, sembari menonton televisi, terdengar suara pintu di ketuk dan aku segera membukanya.
"Mamak...
Kenapa mamak menangis? apa yang terjadi Mak?"
Mamak yang tiba-tiba muncul di depan pintu rumah seraya menangis dan langsung memelukku.
Aku langsung membawa mamak untuk masuk ke rumah, karena ngak enak di lihat orang-orang yang lalu lalang.
"Bapak mu main judi lagi, sawah, kebun, rumah serta ternak. sudah terjual untuk membayar hutang judi bapak mu."
Hanya bisa tarik napas dalam-dalam dan kemudian berusaha tenang, kata lagi dari mamak dan itu artinya bahwa bapak sudah lama berjudi.
"Ternyata Renhat selama ini tidak kuliah lagi, adik mu itu bersenang-senang menikmati uang dari tabungan itu.
Renhat sekarang berada di pondok lahan yang mamak sewa, dan kami terancam tidak makan."
"capek aku dengarnya mak, mamak kerja aja sama Sere.
memelihara babi, ayam dan juga bertani. lumayan lah untuk biaya hidup dari menjual telur ayam serta hasil kebun itu.
bang Tiopan jarang ke rumah ini, karena anak yang ku kandung ini perempuan."
Akhirnya mamak diam dan mengganguk setuju tinggal bersama ku disini.
Mamak sudah muak melihat tingkah bapak dan juga kebohongan dari Renhat, anak yang pernah di banggakannya karena akan menjadi dokter.
Merampok sekalipun mamak tidak perduli lagi karena sudah terlalu kecewa, bahkan jika mereka berdua mati sekalipun mamak tetap tidak perduli.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments