BAB 19- Singgah Ke Firma Hukum

Yuda hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar permintaan Kakaknya. "Lo hebat Kak, kurang apa lagi bini Lo? udah cantik, baik, Sholehah lagi keliatannya. Kak Sherly gak pantes Lo cintai sedalam itu, nyatanya dia gak tulus sama lo. Udah hargai dia yang kini di samping Lo, lupain ka Sherly," ungkap Yuda menasihati Keenan.

Keenan tersenyum kecil, senyuman manis itu hanya ia tunjukan pada orang-orang tertentu yang ia rasa dekat dengannya termasuk Yuda.

"Udah lah, Yud. Lo gak akan ngerti, kalau Lo bukan adik kesayangannya udah gue tampol muka Lo yang tega jelekin Sherly di depan gue," keluh Keenan.

Yuda tertawa mendengar ucapan yang keluar dari mulut Keenan, ia tak menyangka seorang Keenan yang biasanya tegas bisa juga lesu karena cinta.

"Iya, iya. Terserah Lo, yu kita makan. Kita cicipi masakan bini Lo!" seru Yuda lalu mendorong Keenan ke ruang makan.

Keenan bergumam dalam hatinya, "Yud, gue sayang sama Lo karena Lo beda jauh sama Ibu Lo, meskipun kalian dekat. Gue tau Lo orang yang baik!"

Berjalan beberapa langkah, kini mereka tiba di ruang makan yang langsung berhadapan dengan dapur.

"Kakak Ipar!" teriak Yuda.

Fitri yang sedang menggoreng ayam refleks menoleh ke arah meja ia tersenyum sambil sedikit membungkukkan badannya pada Yuda, Yuda melepaskan pegangannya lalu menghampiri Fitri, sementara itu Juwita berjalan mendekat ke arah Keenan.

"Keenan, mau mamah papah kamu ke meja makan?" tanya Juwita ramah.

"Gak usah," jawabnya singkat.

Jika melihat hubungan Keenan dan Juwita terkadang hati Erik sesak, wanita yang kini sangat di cintainya begitu di benci anak kebanggaannya.

"Keenan, kalau tau kamu sebenci ini sama istri Papah ... harusnya dulu Papah gak cerita siapa Juwita sebenarnya," lirih Erik dalam hati.

Sementara itu, Yuda yang beberapa menit lalu berdiri di dekat Fitri tertarik dengan panci transparan di atas kompor, ia membuka tutup panci dan tangan kanannya lalu mengibas-ngibaskan asap hingga hidungnya mencium aroma sayur lodeh yang khas.

"Waw, Indonesian Food! udah lama gak makan sayur ini, euh ... sayur apa ini namanya?" tanya Yuda sedang berpikir keras mengingat namanya.

"Sayur lodeh, Mas!" jawab Fitri ramah.

Yuda menyernyitkan dahinya. "Mas? panggil saya adik ipar aja!" seru Yuda.

Fitri hanya tersenyum, bagaimanapun juga panggilan itu terasa canggung baginya.

Yuda mencoba mengambil spatula dan saringan besi yang di pegang Fitri. "Sini, aku bantu!"

"Sayang, jangan! sini duduk samping Mamah!" teriak Juwita khawatir anaknya kecipratan minyak panas.

Yuda mendesah pelan, terkadang ia kesal Juwita terlalu protektif padanya. Namun, ia hanya bisa patuh dan menghampiri Juwita.

Masakan terakhirnya telah selesai di buat, kini Fitri menyajikan semuanya dalam beberapa piring porselen yang satu persatu ia simpan di atas meja makan.

Juwita memperhatikan Fitri dengan tatapan sinis, "Fitri, saya aja gerah liatnya. Kamu gak gerah pake jilbab setebal itu?" tanya Juwita dengan nada meremehkan.

Lagi-lagi senyuman Fitri terukir indah di wajahnya ia menjawab dengan lembut, " Enggak, Bu! saya sudah terbiasa."

Juwita hanya membalas dengan senyuman paksa.

Mereka semua makan seolah tak ada beban apapun, masakan Fitri tak kalah enaknya dengan selera mereka yang tinggi meski hanya masakan rumahan sederhana namun ia bisa mengolahnya dengan tepat.

Kewajibannya tak ia tinggalkan dimanapun ia berada, dengan penuh kesabaran ia menyuapi Keenan.

"Bener, Fitri memang berbeda dari Jejen si tua Bangka brengsek itu! ayahnya seorang pemabuk, bisa-bisanya anaknya selembut itu. Apa benar dia anak kandungnya?" tanya Erik dalam hati.

"Masakan Fitri lumayan lah, saya percayakan deh semua makanan kita kedepannya sama kamu ya!" seru Juwita.

Itulah salah satu keahlian Juwita, bicaranya lembut gemulai namun mengandung penekanan yang mau tidak mau Fitri harus melakukan itu.

"Yaa Allah, hamba tidak tau Ibu mertua hamba ini seperti apa. Namun kenapa rasanya dia lebih menakutkan dari pada Pak Erik," gumam Fitri dalam hati.

"Tenang ada saya!" bisik Yuda.

Fitri hanya membalas dengan senyuman.

"Saya gak peduli dia memperlakukan kamu seperti itu, sudah sewajarnya kamu menerima itu! saya gak akan rela jika Sherly yang dia tindas," gumam Keenan dalam hati juga.

Di saat seperti ini, masih saja Keenan mengingat Sherly yang entah memikirkannya atau tidak di luar sana.

"Fitri, kamu tidur di lantai bawah sama Keenan. Saya takut dia butuh apa-apa malem, pastikan dia gak kenapa-napa!" tegas Erik.

Fitri hanya mengangguk, Ketegasan Erik seakan luluh dengan ketulusan Fitri, ia menaruh sedikit kepercayaan pada anak si pria brengsek menurutnya.

"Apa? Pah, jangan macem-macem. biarin dia tidur di kamar pembantu!" seru Keenan yang kekejamannya muncul kembali.

"Ini demi kebaikan kamu, jangan bantah Papah!" tegas Erik lagi.

Keenan terdiam dan hanya bisa pasrah.

Malam semakin hari, Keenan dan Fitri tidur di ruangan yang sama, sayangnya Keenan masih tak bersedia berbagi tempat tidur. Fitri hanya bisa mengalah dan tidur beralaskan tikar di lantai keramik yang dingin, bahkan meminta selimut pun ia tak berani.

...****************...

Keesokan harinya sekitar pukul 13.00, lewat sambungan telpon Erik yang sudah berada di kantor meminta Fitri untuk menemani Keenan bertemu Dokter saraf yang kehebatannya dapat di andalkan di salah satu rumah sakit terkenal Jakarta.

Di antar supir pribadi Erik, mereka akhirnya tiba. Mereka di arahkan satpam ke ruangan khusus Dokter Firhan.

"Ini anak Pak Erik yang mengalami kecelakaan?" tanya Dokter berwajah blasteran bule itu.

Keenan mengangguk.

"Ini istrinya?" tanya Dokter itu iseng.

Keenan enggan menjawab, menyadari hal itu Fitri berkata, "Iya, Dok. Mohon bantuannya, mudah-mudah Dokter bisa menjadi wasilah kesembuhan Mas Keenan."

"Tentu saya akan usahakan, Mba. Kondisi Pak Keenan kurang lebih saya sudah pahami setelah membaca berkas laporan pemeriksaannya dari rumah sakit terdahulu, tapi saya tetep perlu memeriksa kembali secara menyeluruh," ungkap Dokter itu.

Di bantu beberapa perawatan, Fitri mendorong Keenan yang kini sudah berbaring di hospital bed menuju laboratorium khusus.

Sekitar dua jam berada di ruangan itu, Keenan keluar dan sudah duduk di atas kursi roda miliknya.

Kini mereka bersiap menunggu hasil pemeriksaannya.

"Mas, semoga ikhtiar Pak Erik dan juga kamu gak sia-sia. Semoga kamu bisa sehat seperti semula, Mas!" ungkap Fitri.

"Saya tau, kamu mengharapkan itu karena ingin terlepas dari jerat pernikahan ini, kan? juga agar dosa bejad laki-laki pemabuk itu seolah sirna, kan? " tanyanya menduga-duga.

"Astaghfirullah, Mas. Kamu su'udzan, aku tulus mendo'akan kamu ..." lirih Fitri.

Fitri memilih mengakhiri perdebatan itu, kini ia menanti kedatangan dokter Firhan.

Beberapa saat menunggu, Dokter itu datang menghampiri. Ia memberikan berkas hasil pemeriksaan, sekaligus menjelaskan kondisi dan peluang kesembuhan Keenan.

"Pak Keenan, Mba. Kondisi badan Pak Keenan sudah jauh lebih membaik hanya mata dan kakinya masih sama seperti kemarin, bisa saya katakan bahwa kaki kanan Pak Keenan tidak lumpuh permanen bisa saja sembuh lagi asalkan rutin terapi di sini karena ini bukan patah hanya saja ada pergeseran sendi yang mengakibatkan beberapa saraf motoriknya terganggu," jelas Dokter Firhan.

Mendengar penjelasan itu Fitri dan Keenan merasa lega, bahkan Keenan mengira kakinya yang kini tak bisa ia gerakan seolah mati rasa tak bisa berfungsi kembali.

"Alhamdulillah, lalu bagaimana dengan matanya, Dok?" tanya Fitri antusias.

"Oh iya satu lagi untuk mata Pak Keenan saya tidak bisa menjamin kesembuhannya sebenarnya bisa kita melakukan transfalansi mata, namun cukup sulit, Mba!" seru dokter itu.

"Kenapa, Dok?" tanya Keenan dengan nada mulai kesal.

"Ada dua faktor Pak, pertama sulit sekali mendapatkan pendonor mata yang cocok. Dan yang keduanya kita tidak bisa melakukan operasi secepat mungkin, karena kepala Pak Keenan dalam waktu dekat tak boleh terkena benturan atau sayatan hal ini di sebabkan mungkin saja kepala Pak Keenan terbentur saat kecelakaan terjadi. Kita tak bisa mengambil resiko jika harus mempertaruhkan kondisi kepala Pak Keenan saat ini, butuh waktu untuk memulihkan cedera di kepala,"

"Berapa lama, Dok?" tanya Keenan penasaran.

"Paling cepat, pemulihan itu membutuhkan waktu enam bulan."

Keenan menghela nafas panjang, kenyataan itu begitu pahit banginya. Ia tak mau menunda waktu, namun dokter tetap tak bisa mengambil tindakan karena mempertimbangkan cedera di area kepalanya juga.

Dokter Firhan pamit, meninggalkan mereka di ruang tunggu. Fitri berusaha menghibur Keenan, menenangkan kekhawatiran suaminya. "Mas, kamu yang sabar ya! aku yakin Allah pasti menyembuhkan kamu."

"Diam kamu!" bentak Keenan.

"Maafin aku, Mas. Yaudah kita pulang ya, biar kamu bisa istirahat lagi," seru Fitri.

Keenan terdiam sejenak. "Tunggu! anter saya kesuatu tempat untuk memastikan satu hal!" serunya.

"Kemana, Mas?" tanya Fitri penasaran.

"Gak usah banyak tanya, dorong saya sampai mobil!" serunya lagi.

Dengan pikirannya yang masih penasaran Fitri mendorong Keenan hingga sampai di dekat mobil Erik.

"Pak supir, antar saya ke jalan melati!"

"Baik, Pak," jawab supir itu lalu menyalakan mesin dan mereka pun berangkat ke alamat yang di tuju Keenan.

Fitri bertanya-tanya dalam hatinya, ia mau di ajak Keenan kemana.

Beberapa saat kemudian mereka tiba. "Pak, kita sudah tiba di jalan yang bapak maksud tadi," ucap supir itu memberi tahu.

"Parkir di depan Firma Hukum, Pak!" perintahnya lagi.

Supir berseragam hitam itu menuruti Keenan.

Cittzz

Suara mobil terparkir di depan kantor bernama Firma Hukum S.A Permana, supir itu membantu Keenan turun dan duduk di kursi roda ia menunggu Keenan menyelesaikan urusannya di dalam mobil itu lagi.

Seperti biasa Fitri memegang erat kursi roda Keenan, dalam hatinya ia mengeja baliho besar di depan kantor itu. "Firma Hukum S.A Permana? tempat apa ini?" tanyanya dalam hati.

"Antar saya ke resepsionis!" seru Keenan pada Fitri.

Perlahan Fitri mendorong kursi roda yang di duduki suaminya dan tiba lah mereka di resepsionis.

Fitri terheran-heran saat melihat karyawan kantor itu menyapa dan menunduk ke arah Keenan seolah memberikan penghormatan.

"Apa mungkin ini kantor Mas Keenan?" tanya Fitri dalam hati.

Tiba-tiba seorang resepsionis menghasilkan mereka. "Pak, Keenan!" sapanya.

"Saya mau ketemu Sherly, dia ada kan disini?" tanya Keenan tegas.

Seketika Fitri seolah terhentak, ia pun baru menyadari bahwa kantor ini adalah kantor milik Sherly tempatnya bekerja.

Istri mana yang tak sakit hati ketika memboyong suaminya menuju tempat kerja mantan kekasihnya, meskipun sejujurnya Fitri belum juga mencintai Keenan tapi rasa sakit tak di hargai sebagai istri sudah sangat membuatnya menderita.

"Ada, Pak. Baru saja rapat dengan klain penting, kalau gitu bapak tunggu saja di ruangannya!" seru resepsionis cantik itu.

Bersambung....

Episodes
1 BAB 1- Pelampiasan Kepanikan
2 Bab 2- Putri Bahan Negosiasi
3 BAB 3- Goresan Tinta Pembawa Takdir
4 BAB 4- Teriakan Kekecewaan
5 BAB 5- Pandangan Negatif Mereka
6 BAB 6- Terikat Nyata
7 BAB 7- Tradisi Yang Menegangkan Bagi Mereka
8 BAB 8- Senyuman untuk bayangan Mantan
9 BAB 9- Kamar Pengantin
10 BAB 10-Kejutan Memilukan Di Malam Pertama
11 BAB 11- Ternyata Hanya Menutup Mata
12 BAB 12- Hati Yang Tulus Dan Dendam Yang Masih Membara
13 BAB 13- Memilih Ridho Suami
14 BAB 14- Foto Prewedding
15 BAB 15- Paket Misterius
16 BAB 16- Emoticon Love
17 BAB 17- Satu Pergi Tiga lainnya Datang
18 BAB 18- Sambutan Sang Mertua
19 BAB 19- Singgah Ke Firma Hukum
20 BAB 20- Berangsur-angsur menyadari Ketulusan
21 BAB 21- Niat Yang Masih Keliru
22 BAB 22- Pelukan Hangat Keenan
23 BAB 23- Diantara Dua Do'a
24 BAB 24- Tak Bisa Tidur
25 BAB 25- Mengorek Kehidupan Dan Isi Hati Fitri
26 BAB 26- Mulai Menunjukan Taring
27 BAB 27- Kekhawatiran yang terus menghantui
28 BAB 28- Cara Memastikan Sebuah Rasa
29 BAB 29- Seolah Tak Terjadi Apa-apa
30 BAB 30- Kepanikan Keenan
31 BAB 31- Gara-gara Nasi Goreng
32 BAB 32- Salah Sasaran
33 BAB 33- Ucapan Yang Tak Selesai
34 BAB 34- Perhatian Keenan Yang Coba Di Tutupi
35 Bab 35- Mulai Memudar
36 BAB 36- Senyum Itu Ibadah
37 BAB 37- Kenangan Nasi Liwet
38 BAB 38- Bukan Lagi Ke Firma Hukum
39 BAB 39- Kebetulan Yang Tidak Terduga
40 BAB 40- Sulitnya Berbicara
41 BAB 41- Mencoba Untuk Pulang
42 BAB 42- Suara Hati Keenan
Episodes

Updated 42 Episodes

1
BAB 1- Pelampiasan Kepanikan
2
Bab 2- Putri Bahan Negosiasi
3
BAB 3- Goresan Tinta Pembawa Takdir
4
BAB 4- Teriakan Kekecewaan
5
BAB 5- Pandangan Negatif Mereka
6
BAB 6- Terikat Nyata
7
BAB 7- Tradisi Yang Menegangkan Bagi Mereka
8
BAB 8- Senyuman untuk bayangan Mantan
9
BAB 9- Kamar Pengantin
10
BAB 10-Kejutan Memilukan Di Malam Pertama
11
BAB 11- Ternyata Hanya Menutup Mata
12
BAB 12- Hati Yang Tulus Dan Dendam Yang Masih Membara
13
BAB 13- Memilih Ridho Suami
14
BAB 14- Foto Prewedding
15
BAB 15- Paket Misterius
16
BAB 16- Emoticon Love
17
BAB 17- Satu Pergi Tiga lainnya Datang
18
BAB 18- Sambutan Sang Mertua
19
BAB 19- Singgah Ke Firma Hukum
20
BAB 20- Berangsur-angsur menyadari Ketulusan
21
BAB 21- Niat Yang Masih Keliru
22
BAB 22- Pelukan Hangat Keenan
23
BAB 23- Diantara Dua Do'a
24
BAB 24- Tak Bisa Tidur
25
BAB 25- Mengorek Kehidupan Dan Isi Hati Fitri
26
BAB 26- Mulai Menunjukan Taring
27
BAB 27- Kekhawatiran yang terus menghantui
28
BAB 28- Cara Memastikan Sebuah Rasa
29
BAB 29- Seolah Tak Terjadi Apa-apa
30
BAB 30- Kepanikan Keenan
31
BAB 31- Gara-gara Nasi Goreng
32
BAB 32- Salah Sasaran
33
BAB 33- Ucapan Yang Tak Selesai
34
BAB 34- Perhatian Keenan Yang Coba Di Tutupi
35
Bab 35- Mulai Memudar
36
BAB 36- Senyum Itu Ibadah
37
BAB 37- Kenangan Nasi Liwet
38
BAB 38- Bukan Lagi Ke Firma Hukum
39
BAB 39- Kebetulan Yang Tidak Terduga
40
BAB 40- Sulitnya Berbicara
41
BAB 41- Mencoba Untuk Pulang
42
BAB 42- Suara Hati Keenan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!