Ucapan tulus yang keluar dari hati akan sampai ke hati pula, begitulah yang di rasakan Keenan saat ini. Kata-kata itu menyentuh ke dasar hati Keenan yang dingin.
Namun tak bisa dilupakan pula hati Keenan masih terselimuti dendam, Keenan terhanyut dalam ucapan Fitri tapi hanya sekejap saja kebenciannya muncul kembali. Belum lagi, Keenan tiba-tiba teringat Sherly yang membuat ucapan Fitri barusan seolah tiada artinya lagi.
"Ngapain juga tadi saya berpikir ucapan kamu itu ada benarnya, sudah seharusnya kamu saya benci!" gumam Keenan dalam hatinya.
"Ya Allah ... sepertinya do'a hamba tadi sudah menemukan jawabannya, biarlah hamba menjalankan kehidupan rumah tangga ini karena Engkau agar hamba tak merasa terbebani. Biarlah kekecewaan akan garisan takdir-Mu ini terkikis oleh waktu ... maafkan hamba-Mu yang belum bisa sepenuhnya menerima ketetapan-Mu ... tapi hamba akan berusaha kedepannya Ya Allah. Tuntun hamba-Mu ini menjadi istri Sholehah terlepas dari bagaimanapun Mas Keenan memperlakukan Hamba," gumam Fitri pula dalam hati.
Fitri menarik selimut tebal ke atas tubuh Keenan sampai menutupi suaminya dengan hangat.
"Selamat tidur Mas!" ucap Fitri pelan lalu melangkah perlahan.
"Jangan-jangan ni cewek mau tidur di samping saya lagi, awas aja ya kalau berani!" gumam Keenan dalam hatinya.
Beberapa menit berselang kasur dan selimut Keenan tak kunjung bergerak itu menandakan Fitri memang tak tidur bersama Keenan, ia memilih berbaring di sofa panjang karena Fitri pun tau suaminya akan keberatan jika Fitri berinisiatif tidur di sampingnya.
Fitri tertidur pulas meskipun masih memakai gaun pernikahan berat yang membuatnya tak nyaman.
"Dia gak ada? kemana dia? apa mungkin tidur di sofa? baguslah berarti kali ini dia gak lancang," gumam Keenan dalam hatinya.
Kelopak mata Keenan tertutup sejak tadi ia memang sudah ngantuk berat tapi karena Fitri tiba-tiba berbicara kantuknya hilang seketika, tanpa Keenan sadari pikirannya kini sedang berusaha menimbang-nimbang antara pernyataan tulus Fitri dan juga kebenciannya pada keluarga Fitri.
Malam ini begitu hening bagi Keenan, hanya suara jarum jam yang seliweran di telinganya.
Beberapa jam tak bisa tidur, sudah akan menjelang dini hari Keenan baru bisa terlelap dalam kasur yang nyaman juga hangatnya selimut yang menutupi tubuhnya.
Allahuakbar Allahuakbar
Suara adzan subuh berkumandang, terdengar jelas di telinga Fitri yang sedang tidur pulas.
"Astaghfirullah, aku kesiangan!"
Tak heran Fitri merasa kesiangan bangun saat adzan tiba, karena hampir setiap malam ia bangun jam tiga pagi rutin menghidupkan malam dengan bermunajat di waktu mustajab kepada Allah, Tuhan seluruh alam.
Amalan sunnah berasa wajib ketika seseorang sudah terbiasa melaksanakannya, ketinggalan sehari saja membuat Fitri merasa berdosa.
Tak mau membuang waktu lagi Fitri menuju kamar mandi ia berwudhu lalu sholat, beruntung memang sudah ada mukena yang di sediakan pihak hotel. Hanya saja tidak ada baju ganti karena semua baju mereka ada di kamar pengantin yang hampir terbakar habis malam tadi.
Lama sekali Fitri sholat, selesai berdo'a ia berdiri menghampiri Keenan dan menepuk-nepuk pelan lengan suaminya. "Mas ... bangun Mas, sudah subuh!"
Keenan tak mendengar, masih saja tertidur pulas.
Fitri masih tetap berusaha. "Mas ... Mas Keenan bangun!"
"Hua ..." Keenan menguap pelan.
"Bangun Mas!"
"Apaan? jangan ganggu saya! saya baru aja tidur nyenyak, rese banget sih ..." lirih Keenan dengan mata yang masih tertutup.
"Sholat Mas, udah adzan subuh!" Fitri berusaha mengingatkan sang suami.
"Engga ... du ... lu ...." balas Keenan yang masih setengah sadar.
Takut Keenan marah besar seperti malam tadi, Fitri menghentikan usahanya. Ia kembali duduk di sofa panjang sambil menatap Keenan.
"Ya Allah, gimana ini ... apa selama ini Mas Keenan selalu melalaikan sholat? kenapa Mas Keenan bisa seperti ini begitu jauh dari agama," gumam Fitri dalam hati.
Menyadari dirinya su'udzan kepada suaminya sendiri, ia pun merasa bersalah dalam hati. "Astaghfirullah, Fitri! Fitri! Kamu gak boleh menghakimi seseorang seperti itu mungkin saja dia belum mendapat hidayah."
"Ya Allah ... berilah Mas Keenan hidayah dan jadikanlah dia sebaik-baiknya imam," harap Fitri dalam hati.
Beberapa Jam berselang
"Uhuk ... uhuk ...." Keenan terbangun dari tidurnya.
Asap dalam tubuhnya semalam ternyata belum hilang sepenuhnya dan masih berefek, wajar sama jika Keenan terus-terusan batuk.
Fitri yang sedang termenung berinisiatif mengambil segelas air hangat lalu menghampiri suaminya. "Mas, kamu bangun? aku bawain kamu minum."
Tak mau di maki-mami lagi Fitri bertanya. "Mas mau aku bantu kamu bangun?" tanya Fitri memastikan.
"Terserah, uhuk ...."
Gelas berisi air putih Fitri simpan di atas meja, kedua tangannya membantu Keenan untuk bangun bersandar di atas kasur, dengan hati-hati Fitri memberi minum Keenan.
"Udah!" ucap Keenan jutek.
"Mana Indra?" tanya Keenan lagi.
"Gak tau Mas, mungkin masih d luar," jawab Fitri apa adanya.
"Bilang ke Indra saya mau pulang ke Jakarta, hari ini juga!" ucap Keenan tiba-tiba.
Fitri lama sekali tak menjawab.
"Kamu denger saya ngomong gak sih?" tanya Keenan heran.
"I ... iya Mas aku denger," jawab Fitri terbata.
"Yaudah cepet!" desaknya.
"Aku gimana Mas?" tanya Fitri memastikan.
"Ya terserah!" jawab Keenan singkat.
"Yaudah, aku ke depan dulu Mas sekalian mau ambil baju di tempat rias malam tadi."
Seperti biasa Keenan hanya mengucapkan kata ,"Terserah!"
Tak mau berdebat panjang, Fitri mematuhi ucapan Keenan ia menemui Indra yang ternyata sedang ngopi di depan kamarnya.
"Pak Indra," panggil Fitri.
Indra yang sedang menyeruput kopi hitam dalam secangkir gelas itu menoleh ke arah Fitri yang berada di depan pintu.
"Eh Mba Fit? kenapa?" tanya Indra dengan nada bicara akrabnya.
"Mas Keenan mau pulang ke Jakarta hari ini Pak," jelas Fitri.
Indra hanya mengangguk lalu berlanjut menikmati secangkir kopinya itu. Fitri beranjak pergi ke ruang rias dan mengganti bajunya, kini badannya terasa sangat ringan memakai gamis yang longgar dan kerudung pashmina yang nyaman.
Sebelum kembali ke kamar, Fitri mengambil tiga porsi breakfast di cafetaria hotel.
Tak ingin berlama-lama Fitri berniat dan ternyata di depan pintu Indra masih santai ngopi namun kini di temani dua petugas hotel yang mukanya begitu Familiar bagi Fitri.
Fitri tersenyum ramah pada mereka lalu menghampiri mereka.
"Pagi Mba Fitri," sapa mereka.
"Pagi Pak, sudah sarapan?" tanya Fitri penuh perhatian.
"Kami sudah, gak tau Mas Indra tuh," ungkap salah satu karyawan yang menoleh ke arah Indra.
"Alhamdulillah ... syukurlah kalau sudah. Pak Indra ini saya sengaja bawa sarapan takutnya Pak Indra belum sarapan." Fitri menyodorkan satu bungkus sarapan itu dengan tangan kanannya.
Mata bulat Indra melirik Fitri, ia di buat senang oleh perhatian kecil istri majikannya. "Aduh, thanks Mba Fit"
"Sama-sama Pak, kalau gitu saya kedalam ya." Fitri pamit pada ketiga pria dengan posisi jongkok di depan kamarnya itu
Saat Fitri masuk, ketiga pria itu bergosip.
"Istrinya Pak Keenan udah mah baik, ramah terus di liat-liat cantik juga ya!" celoteh salah satu pegawai hotel.
"Menurut aku sih lebih cantik Mba Sherly, dia super seksi," saut petugas yang berbadan tinggi besar.
"Menurut kamu gimana Mas? kamu kan ajudan keluarganya, pastinya lebih tau dari kita," tanya petugas itu pada Indra.
Indra tak menjawab karena dari tadi tak mendengar obrolan mereka.
Menyadari dua orang itu terus melihat ke arahnya Indra keheranan. "Apa?" tanyanya.
Dua pria tadi tertawa.
"Udah lah lupain aja Mas, lagian saya mau kerja lagi!" seru pertugas itu.
Sementara itu dalam kamar, Fitri melihat Keenan yang masih tetap dengan posisi tadi.
"Mas," sapa Fitri.
"Lama banget sih!" keluh Keenan.
"Cepet! Bantu saya siap-siap!" ujar Keenan.
"Mas," panggil Fitri lagi.
Keenan kesal Fitri terus memanggilnya tapi tak kunjung berbicara. "Apaan sih!" bentak Keenan.
"Mas, aku ... aku punya satu permintaan ..." lirih Fitri lalu menunduk.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments