Melihat Fitri berderai air mata namun tak bersuara. Jejen menggelengkan kepalanya lalu ngedumel sambil pergi. "Aish lebay si Neng mah."
"Ibu ..." lirih Fitri yang masih berada di pelukan Lilis.
Bertanya berkali-kali Lilis tak kunjung mendapatkan jawaban, ia hanya bisa menerka-nerka, sekali lagi ia berusaha memastikan "Neng, ada apa? Ibu teh makin gak ngerti."
Fitri melepaskan pelukannya lalu mengandeng sang Ibu dan duduk di kursi yang hampir rusak itu.
Fitri menjelaskan tujuan kedatangan tamu tadi juga kontrak nikah yang mereka maksud.
Mendengar penjelasan Fitri, Lilis teramat kesal. "Astaghfirullah Neng, tega sekali bapak mu Neng ... dia pikir kamu teh apa? biar Ibu bicara untuk membatalkan kontrak itu," ucap Lilis lalu berdiri berniat pergi.
Fitri memegang telapak tangan Ibunya. "Jangan Bu, Neng takut Bapak emosi lagi, udah Ibu duduk lagi aja."
"Neng, yang mau sama kamu teh banyak bahkan ustadz Reyhan aja nungguin kamu. Kenapa Neng mau nikah sama laki-laki yang Neng gak kenal? Ibu teh khawatir Neng apalagi pria itu pasti benci atuh sama bapak kamu, gimana kalau Neng teh di perlakukan dengan buruk," ungkap Lilis khawatir.
"Udah Bu, Neng akan berusaha tabah menghadapi semua ini. Mungkin ini jalan hidup yang ditetapkan Allah untuk Neng Bu," jawab Fitri berkaca-kaca.
Lilis semakin tak mengerti mengapa suaminya setega itu pada Fitri, perlakuan kasar Jejen sudah makanan empuk Fitri sehari-hari kini puncak kepedihan harus anaknya alami lagi kala harus menikah dengan orang yang tak dikenalnya sama sekali.
Fitri ingin terlihat tegar di hadapan Lilis, tapi kesedihan dihatinya tak bisa di pendam lagi. Meski tidak sampai tersedu-sedu air matanya terus mengalir membahasi jilbab yang ia kenakannya.
"Sabar ya Neng ... " lirih Lilis lalu mengusap pipi Fitri yang basah.
Fitri tersenyum meskipun berderai air mata. "Iya Bu."
Sebagai manusia biasa wajar Fitri putus asa dan marah tapi beruntung kesabaran dan keimanannya seolah menjadi benteng terkuat dihatinya, Fitri tak akan membiarkan rasa putus asa dan kemarahan menyelimuti jiwanya.
Ia berusaha tenang dan menyerahkan semuanya pada kehendak sang Maha Kuasa.
...****************...
Efek samping obat-obatan di tubuh Keenan sudah beraksi sejak tadi, kini ia masih terlelap tidur.
Krek
Suara pintu kamar rawat VIP Keenan terbuka, sudah dapat di pastikan itu adalah Erik dan Juwita.
"Keenan masih tidur Mah, Papah bingung gimana bicara sama dia," ujar Erik sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tak gatal.
"Kita liat aja nanti Pah, udah jangan banyak pikiran!" tegas Juwita.
Menunggu sekitar dua puluh menit, Keenan pun terbangun dari tidurnya. Namun baginya kini tidur dan bangun sama saja, ia tak bisa melihat lagi terangnya cahaya.
Keenan tak mendengar suara apapun, ia meraba-raba tempat tidurnya berharap mereka masih di sampingnya. Ia berusaha memposisikan badannya untuk duduk, tapi kakinya seolah mati rasa tak bisa di gerakan. Keenan yang biasanya tegas dan pemberani kini mulai ketakutan, takut dugaannya memang benar.
"Sherly ... Pah ..." panggil Keenan dengan suara yang masih letih.
Mendengar Keenan bangun, sontak Erik dan Juwita menghampiri.
"Keenan, kamu udah bangun?" tanya Erik.
Keenan menggerak-gerakan mata nya, berulang kali ia menutup dan membuka namun tetap saja sama, hanya kegelapan yang ia lihat.
"Syukurlah kamu bangun Keenan, gimana perasaan kamu?" tanya Juwita.
Keenan tak merespons pertanyaan dari Juwita, justru ia malah bertanya pada ayahnya. "Pah, Kenapa mata saya ini? apa saya buta Pah?"
"Kaki saya juga kenapa Pah?" tanyanya lagi.
Erik bingung harus menjawab apa, ia terdiam membisu. Otaknya berputar merangkai kata-kata yang tepat untuk ia kemukakan pada Keenan.
"Pah!" panggil Keenan lebih keras.
"Kenapa Papah gak ngomong? mana Sherly Pah? dia pasti mau beritahu apa yang menimpa mata dan kaki saya!"
Hendak menjawab dua pertanyaan tadi saja sudah membuat Erik kebingungan apalagi pertanyaan barusan yang keluar dari mulut Keenan.
"Biar Mamah aja yang jelasin kalau papah gak kuat," saut Juwita pelan.
"Biar Papah aja mah! kamu tau kan Keenan gak akan dengerin kamu," tegas Erik.
Mata Keenan yang tak bisa melihat membuatnya kesulitan untuk memperhatikan ekspresi mereka, kini ia bahkan tak bisa menebak apa yang mereka khawatirkan.
"Pah ..." panggil Keenan lagi.
"Keenan, Papah harap kamu bisa menerima ini semua. Dokter mendiagnosa mata kamu benar-benar buta dan ... kaki kanan kamu lumpuh. Papah janji Keenan, setelah semua masalah disini selesai kita pulang ke Jakarta berobat di rumah sakit terbaik kalau perlu kita ke luar negri," jelas Erik di akhiri kata-kata untuk menenangkan Keenan.
Deg
Jantung Keenan seolah berhenti berdetak.
"Dan satu lagi ... Sherly pergi meninggalkan kamu setelah dia tau kondisi kamu seperti ini."
"Apa?" tanya Keenan kaget.
"Papah jangan bohongin saya!" teriak Keenan dengan suara yang mulai seram.
Nafas Keenan mengencang, emosinya meluap-luap.
"Iya Keenan, Papah kamu benar," saut Juwita.
Wajah Keenan menunjukan ekspresi kekecewaan, ia membuang nafas kencang. Emosinya meluap semakin parah, di tambah raut kesedihan tampak di wajahnya.
"Sherly gak mungkin ninggalin saya!" teriak Keenan lagi.
Keenan memaksakan tubuhnya yang lemah untuk bangun, ia menarik paksa infus yang terpasang di tangan kiri nya hingga percikan darah mulai keluar.
Keenan merasa sangat putus asa, hidupnya seakan tak ada artinya lagi. Kedudukan tingginya sebagai seorang CEO penerus perusahaan ayahnya mungkin saja akan tergeser, kisah asmaranya kandas dan berakhir dengan tragis.
Erik dan Juwita memegang tangan Keenan yang bergerak ke sembarang arah hingga tabung infus pun terjatuh beruraian ke lantai.
"Argh!" teriak Keenan sembari menjambak rambutnya sendiri.
"Udah Keenan, tenang kamu pasti sembuh lagi," ungkap Erik.
"Iya Keenan tenang, kamu pasti baik-baik aja," saut Juwita.
Ucapan mereka sama sekali tak terdengar Keenan karena pikirannya yang semakin semrawut, ia sudah membayangkan sisa hidupnya hanya akan dihabiskan di balik kamar yang hening dan gelap, sangat berbanding terbalik dengan keseharian Keenan dulu yang super sibuk dinas kesana kemari.
Kemarahan Keenan yang memuncak membuat tubuhnya yang belum pulih itu mudah lelah, Keenan bersandar kembali ke tempat tidurnya.
"Gimana nasib perusahan kita Pah? kalau saya tak berguna seperti ini ..." lirih Keenan.
"Gimana pernikahan saya Pah? bukannya undangan sudah di sebar? betapa memalukannya saya kalau orang-orang tau calon istri saya pergi karena saya buta dan lumpuh," keluhnya lagi.
Meskipun Erik seorang ayah yang tegas tapi ketika melihat anaknya seperti itu, ia sungguh merasa tak tega. Tak mampu berkata-kata lagi Erik hanya bisa menepuk pundak anaknya seolah memberikan semangat.
Juwita yang sedari tadi diam bersebrangan dengan Erik, ia pun menghampiri suaminya dan berbisik. "Pah, gimana soal kontrak pernikahan tadi? Papah gak akan ngomong ke Keenan?" tanya Juwita seolah mendesak.
Merasa di ingatkan Erik pun mulai memberanikan diri untuk berbicara.
"Keenan, mungkin kamu akan lebih marah sama Papah. Papah bertindak sendiri, tapi ini juga demi kebaikan kamu, kita dan perusahaan juga."
"Papah udah dapat pengganti Sherly ... Papah buat kesempatan dengan orang yang menabrak kamu, kita membebaskan dia tapi dengan syarat anak perempuan--" ucapan Erik terpotong saat tiba-tiba Keenan Menyelanya.
"Apa? Papah bebasin dia? dan jangan bilang anak orang itu yang Papah maksud pengganti Sherly!" teriak Keenan.
"Iya Keenan, lagian kamu gak usah Khawatir kontrak pernikahan ini lebih menguntungkan kamu. Biarin dia menjaga kamu sampai benar-benar sembuh, nanti kamu mau tinggalin dia mau ceraikan dia ya sudah itu tergantung kamu," ungkap Erik berusaha membujuk Keenan.
Keenan seolah tak mengerti mengapa Erik bisa berpikir sedangkal itu, yang terlintas di pikiran Keenan saat itu lebih baik pernikahannya benar-benar batal dari pada harus menjalin ikatan pernikahan dengan anak penabraknya meskipun di bawah kontrak.
"Engga Pah, saya gak mau. Gak akan ada yang bisa mengantikan Sherly di hati saya, apalagi seorang anak dari orang yang menghancurkan hidup saya!" sangkal Keenan tegas.
"Pah bujuk lagi!" bisik Juwita kembali.
Erik tak menyerah membujuk Keenan, hingga adu argumen antara mereka tak terelakan lagi.
Lama sekali Erik dan Keenan saling sangkal, namun tak di sangka-sangka dengan tatapan yang semakin kosong dan jiwa Keenan yang seolah telah melayang ia akhirnya menyetujui permintaan Erik meskipun amat sangat terpaksa.
...****************...
Beberapa hari telah berlalu, kondisi Keenan sudah semakin membaik namun belum pulih total belum lagi mata dan kakinya tetap sama seperti kemarin, beberapa hari lalu Keenan di perbolehkan untuk meninggalkan Rumah Sakit mereka tinggal sementara di salah satu hotel ternama Kota Bandung, hotel tempat akan di gelarnya pesta pernikahan.
Sementara itu di tempat terpisah, mobil mewah berwarna putih parkir di depan rumah Fitri. Tiga pria dengan setelan jas rapi dan berkacamata hitam berjalan ke arah pintu.
Tok tok tok
Pintu kayu yang nampak telah usang bersuara sangat kencang, namun tak ada respons dari dalam.
Fitri yang baru saja pulang dari Madrasah Diniyah heran melihat tiga pria berjejer di depan pintu rumahnya, ia khawatir Jejen membuat masalah lagi.
"Siapa mereka?" gumam Fitri pelan.
"Assalamu'alaikum ... Akang-akang ini cari siapa ya?" tanya Fitri yang begitu penasaran.
"Wa'alaikumsallam, kami mau bertemu Mba Fitri dan keluarga," ungkap pria berambut kelimis.
"Saya Fitri, ada apa ya?" tanya Fitri panik.
"Oh syukurlah Mba, Kami anak buah pak Erik mau menjemput Mba Fitri, pak Jejen dan istrinya untuk melangsungkan pernikahan mas Keenan hari ini sesudah pukul 19.00," ungkap salah satu pria itu.
"Apa? malam ini?" tanya Fitri kaget.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments