BAB 17- Satu Pergi Tiga lainnya Datang

Tujuh hari berlalu Fitri menjalani tugasnya sebagai seorang istri, mengurus Keenan dengan sepenuh hati. Hanya saja Keenan masih bersikap buruk padanya, tapi kesabaran Fitri luar biasa entah karena ia telah terbiasa sebelumnya dengan perlakuan yang sama dari Jejen atau memang dia benar-benar berpasrah pada takdir Ilahi.

Ruang keluarga lantai tiga kini bak kamar bagi Fitri, beberapa setel gamis ia tata rapi di lemari tv, sofa panjang berbahan Polyester sudah seperti ranjangnya sehari-hari.

Tak ada kegiatan lain lagi, selain turun naik tangga untuk menyiapkan makanan Keenan dan tak jarang Fitri membantu Euis, beruntungnya ada Euis yang begitu baik padanya.

Dini hari tiba, air keran terdengar mengalir di lantai tiga, menandakan Fitri akan melaksanan sholat malam.

"Yaa Allah ... tiada kata yang patut hamba ucapkan selain puji syukur pada-Mu Tuhan yang maha pengasih. Naungilah kami semua dalam Rahmat-Mu, berakhirlah kehidupan keluarga hamba di Bandung sana, sehatkanlah Mas Keenan dan berilah ia kesabaran dalam menghadapi ujian dari-Mu. Hamba serahkan sepenuhnya hidup hamba pada ketetapan-Mu, hamba yakin akan ada hikmah di balik semua ini."

Tak ada do'a lain yang ia dawamkan setiap waktu selain memohon kebaikan untuk keluarga dan suaminya.

Selesai Sholat subuh Fitri turun ke bawah membantu Euis menyiapkan makanan Keenan.

Melihat Fitri turun dari tangga Euis menyapanya, "Pagi, Non."

"Pagi juga, Bi." senyuman Khas nya terpancar.

"Bi, menu makanan kita hari ini apa? biar saya bantu Bibi!" seru Fitri.

"Kita masak nasi goreng ayam tanpa kecap, kesukaan tuan Keenan," jawabnya.

Semenjak mengenal Euis lebih lama, Fitri banyak belajar tentang Keenan dari mulai selera makannya, kebiasaannya hingga karakter khasnya.

Selesai masak tak terasa matahari menampakan sinarnya, berbeda dengan di kampungnya setiap pagi suara ayam berkokok namun kini di rumah Keenan begitu hening terkadang terdengar kendaraan yang bergemuruh memenuhi jalanan yang sangat jauh di sebrang sana.

Hal yang Keenan takuti sejak awal memang benar adanya, kini hari-harinya ia lalui di balik kamar. Pikirannya sangat mengkhawatirkan segala hal termasuk perusahaan yang di pimpinnya saat ini belum lagi sosok Sherly yang selalu menjadi bayang-bayangnya setiap saat.

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum, Mas." Fitri menghampiri Keenan membawa sepiring nasi goreng kesukaannya.

Keenan tak menjawab.

"Mas, aku bawa sarapan, kamu makan dulu ya!" seru Fitri lembut.

Seperti biasa Fitri duduk di sisi kasur Keenan, ia menyuapi Keenan perlahan.

Baru beberapa sendok menyuapi Keenan, tak sengaja nasi menempel di sudut bibir Keenan. "Mas, maaf!" Fitri refleks mengambil seremeh nasi itu hingga Keenan merasakan betapa lembutnya jari jemari Fitri.

Keenan tak merespons ia hanya kaku membisu.

Beberapa lama setelah itu, Keenan merasa tak nyaman pada mata kirinya, ia membuka tutup kelopak mata itu hingga membuat Fitri heran. "Mas, kamu kenapa?" tanya Fitri. "Kamu kelilipan?" tanyanya lagi memastikan.

"Pake nanya lagi, iya lah! cepet tiup mata saya!" seru Keenan yang terus menggesek-gesek matanya.

"Ti ... tiup?" tanya Fitri lagi terbata.

Perintah Keenan itu membuat Fitri sangat canggung namun Keenan tiba-tiba membentaknya. "Banyak tanya banget sih, cepet!"

Fitri menaruh piring di atas meja, ia mulai mendekat ke arah Keenan tanpa ia sadari ia begitu gugup jantungnya seakan mau copot saking berdetak dengan kencang. Wajah Fitri memerah ketika berhadapan begitu dekat dengan wajah Keenan, bisa di bilang mungkin saja jaraknya hanya satu jengkal, jari tangannya membuka lebar mata kiri Keenan dan perlahan ia meniup berulang kali.

Keenan mengedip-ngedipkan kedua matanya. "Gak becus kamu, masih ada debunya!" bentaknya.

Fitri meniupnya lagi, hingga hembusan nafasnya begitu terasa lembut dan halus. Tak bisa di sangkal situasi itu tanpa Keenan sadari membuatnya gugup seperti Fitri, mereka saling diam dalam waktu yang lama dengan posisi tangan Fitri yang masih berada di dekat pipi Keenan. Fitri seolah terpana dengan ketampanan suaminya, entah situasi apa yang kini mereka hadapi.

Sebenarnya, momen itu bisa saja menjadi awal dari percikan cinta di antara keduanya namun sayang ketika mereka terbawa perasaan tiba-tiba saja Euis menekan bel.

Tet tet tet

Suara itu memekakan telinga mereka hingga merusak momen yang jarang terjadi itu, mereka tersadar kembali dari buaian suasana. "Astaghfirullah ..." lirih Fitri. Fitri duduk kembali di posisinya semula.

"Bu ... buka sana." ucap Keenan gugup.

Fitri sepertinya kesulitan berjalan, kakinya gemetar hebat dengan jantung yang masih berpacu kencang. "Yaa Allah, perasaan apa ini?" gumam Fitri dalam hati.

"Gila! bisa-bisanya saya terbawa perasaan, sadar Keenan!" Keenan mengumpat pelan.

Krek

Pintu terbuka

"Bi," sapa Fitri yang kini berada di depan pintu.

Euis yang sedang menyimpan kepanikan tiba-tiba tersenyum melihat wajah Fitri memerah. "Aduh, Non. Jangan-jangan Bibi ganggu lagi," celotehnya.

"Engga kok, ada apa, Bi? Bibi kenapa?" tanya Fitri khawatir.

"Bibi mau ketemu tuan Keenan, Non," ucap Euis lalu tiba-tiba menunduk.

Melihat gelagat Euis yang tampak panik dan lesu Fitri bertanya dalam hatinya, "Bi Euis kenapa ya?"

Fitri mendampingi Euis menemui Keenan yang masih bersandar di atas kasur.

"Tuan," lirih Euis.

"Kenapa, Bi? lemes gitu!" jawabnya dingin.

Euis terdiam sejenak, mencari celah tenang untuk mengatakan maksudnya. "Bibi ... Mau berhenti kerja tuan." ungkap Euis.

Mendengar hal itu bukan saja Keenan, Fitri pun kaget. "Kenapa, Bi?" tanya Fitri.

"Ada apa, Bi? kenapa tiba-tiba? kalau Bibi ngerasa saya kurang ngasih gaji saya naikin," seru Keenan.

Meskipun karakternya yang dingin, jutek dan bahkan sering emosian tapi Keenan tak pernah menganggap enteng tenaga orang, ia terbilang sosok yang sangat dermawan bagi siapapun yang mengenalnya termasuk para pegawainya.

"Bukan itu Tuan, gaji dari Tuan lebih dari cukup buat Bibi. Cuman, anak Bibi sakit parah, Bibi harus pulang kampung, kayanya Bibi gak bisa lama lagi kerja sama Tuan," jelas Euis perlahan.

Alasan tersebut memang benar adanya, beberapa menit lalu adiknya dari kampung menelepon dan memberitahukan kabar anak Euis yang selama ini di titipkan sedang sakit parah.

"Innalilahi ... sakit apa, Bi? semoga anaknya cepat sembuh ya," ujar Fitri.

Euis menatap Fitri, ia mengangguk sambil menaikan bibirnya yang terasa berat.

"Kalau itu yang Bibi mau saya gak bisa larang, minta anterin Indra sampe kampung halaman Bibi!" jawab Keenan dingin.

"Maafin Bibi Tuan ..." lirih Euis.

Euis tertunduk lesu, karakter Keenan memang menyebalkan baginya namun ada sisi baik seorang Keenan yang tak bisa ia lupakan. Begitupun dengan sosok Fitri yang baru di kenalnya beberapa hati, sosok yang begitu lemah lembut dan pembawaan tenangnya sangat membuat hari-harinya berkesan bekerja di Rumah Keenan. Berat bagi Euis meninggalkan mereka, namun tak ada pilihan lain baginya kini selain pergi.

Bukan hanya Euis Fitri merasa kehilangan bagaimana pun kehidupan di Rumah Keenan terasa benar-benar hidup kala ada Euis, Fitri menghampiri Euis ia merangkulnya dari samping.

"Hey, kamu!" sapa Keenan pada Fitri.

Selama tujuh hari menjalani pernikahannya, itulah ucapan Keenan sehari-hari jika memanggil Fitri.

"Ambilin uang cash di lemari saya, tiga puluh juta kasih ke Bi Euis!" serunya.

Fitri melepaskan pelukannya, tanpa bertanya lagi ia menuruti perintah Keenan, lalu memberikan uang cash senilai tiga puluh juta dengan pecahan seratus ribuan pada Euis.

"Kalau Bibi butuh apapun nanti kabarin saya!"

Rasanya kedermawanan Keenan itu terasa berlebihan bagi Euis. "Tuan ini kelebihan, saya gak berani ngambil," sangkal Euis.

"Ambil bi jangan banyak ngomong!" seru Keenan lagi.

"Maa Syaa Allah, Maha kuasa Engkau Ya Allah ... di balik sikap Mas Keenan yang begitu menakutkan ternyata ada sisi lembut di hatinya." gumam Fitri mengagumi suaminya.

"Non gimana ini?" tanya Euis yang lagi-lagi membuyarkan lamunan Fitri.

"A ... apa, Bi?" Ambil aja, Bi. Syukuri itu rezeki dari Allah lewat Mas Keenan," seru Fitri.

Singkat cerita, Euis berterimakasih Pada Keenan ia berpamitan lalu berjalan menapaki anak tangga di ikuti Fitri dari belakang.

Fitri membantu Euis membereskan barang bawaannya yang hampir dua koper besar itu, Indra yang selalu standby di rumah Keenan di panggil Fitri untuk mengantar Euis ke Cianjur.

Hingga mobil tak keliatan ujungnya saja Fitri masih menatap jalan, hatinya tak nyaman saat Euis pergi.

Beberapa jam berlalu, kini sore hari tiba. Cuacanya begitu cerah dan hangat tak sepanas hari-hari biasa.

Fitri yang tengah menyetrika baju di lantai tiga tiba-tiba di panggil Keenan. "Hey, kamu!" seru Keenan kencang.

Fitri mematikan menyabut kabel setrikanya dan berjalan menghampiri Keenan. "Iya, Mas?"

"Saya bosen berbaring terus, kamu gak peka banget! tolong bawa saya keluar saya mau cari udara segar," ungkap Keenan.

"I ... iya, Mas. ayo!" seru Fitri.

Seolah terbiasa dengan bobot badan Keenan, ia tak keberatan seperti pertama kali. Fitri memapah Keenan hingga kursi roda dan mendorongnya hingga memasuki lift, Fitri menakan tombol angka satu persatu hingga mereka tiba di lantai bawah.

Fitri membawa Keenan ke taman yang masih dalam area rumahnya.

Suasana hati Keenan berubah drastis, sumpek-sumpek yang ia rasakan selama berada di dalam kamar tak ia rasa kembali suasana tenang dan damai perlahan menghampiri jiwanya.

"Kamu tau? saya sengaja membangun rumah disini, bertahun-tahun saya mencari suasana seperti ini di Jakarta susah sekali, inilah wujud nyata dari impian seseorang yang saya penuhi tapi dia pergi dan hilang entah kemana," ungkap Keenan tiba-tiba

Fitri heran tak biasanya Keenan tiba-tiba bicara bahkan sampai bercerita padanya, ia sudah menduga seseorang yang di maksud nya pasti Sherly, namun yang membuat Fitri lebih lega hari ini Keenan memang mengeluh tapi tak sampai membentak dan menyalahkannya.

"Mas, terkadang kenyataan memang lebih pahit dari harapan kita. Walaupun orangnya telah pergi, biarlah tempat ini menjadi kenangan indah untuk selamanya jangan kamu campur adukan dengan luka dan duka," seru Fitri.

Keenan terdiam, ia menyadari betul ucapan Fitri itu memang benar, tanpa Fitri sadari Keenan tersenyum kecil entah karena mengingat momen indah bersama Sherly atau terpukau dengan kata-kata Fitri.

Citttzz

Suara mobil Alfard hitam ngerem mendadak di depan parkiran.

Dari kejauhan terlihat seorang pria dan wanita turun dari mobil, semakin mereka berjalan ke arah Fitri dan Keenan. Fitri menebak itu adalah Erik dan Juwita, namun Fitri tak familiar dengan satu pria muda yang juga ikut bersama mereka.

"Ma ... Mas, Papah Mamah kamu datang," ungkap Fitri.

"Mereka datang?" tanya Keenan kaget.

"Sama satu pria aku gak tau itu siapa," saut Fitri lagi.

Keenan menyernyitkan dahinya, ia tak tau siapa yang di maksud Fitri.

"Pria?" tanya Keenan heran.

Bersambung....

Episodes
1 BAB 1- Pelampiasan Kepanikan
2 Bab 2- Putri Bahan Negosiasi
3 BAB 3- Goresan Tinta Pembawa Takdir
4 BAB 4- Teriakan Kekecewaan
5 BAB 5- Pandangan Negatif Mereka
6 BAB 6- Terikat Nyata
7 BAB 7- Tradisi Yang Menegangkan Bagi Mereka
8 BAB 8- Senyuman untuk bayangan Mantan
9 BAB 9- Kamar Pengantin
10 BAB 10-Kejutan Memilukan Di Malam Pertama
11 BAB 11- Ternyata Hanya Menutup Mata
12 BAB 12- Hati Yang Tulus Dan Dendam Yang Masih Membara
13 BAB 13- Memilih Ridho Suami
14 BAB 14- Foto Prewedding
15 BAB 15- Paket Misterius
16 BAB 16- Emoticon Love
17 BAB 17- Satu Pergi Tiga lainnya Datang
18 BAB 18- Sambutan Sang Mertua
19 BAB 19- Singgah Ke Firma Hukum
20 BAB 20- Berangsur-angsur menyadari Ketulusan
21 BAB 21- Niat Yang Masih Keliru
22 BAB 22- Pelukan Hangat Keenan
23 BAB 23- Diantara Dua Do'a
24 BAB 24- Tak Bisa Tidur
25 BAB 25- Mengorek Kehidupan Dan Isi Hati Fitri
26 BAB 26- Mulai Menunjukan Taring
27 BAB 27- Kekhawatiran yang terus menghantui
28 BAB 28- Cara Memastikan Sebuah Rasa
29 BAB 29- Seolah Tak Terjadi Apa-apa
30 BAB 30- Kepanikan Keenan
31 BAB 31- Gara-gara Nasi Goreng
32 BAB 32- Salah Sasaran
33 BAB 33- Ucapan Yang Tak Selesai
34 BAB 34- Perhatian Keenan Yang Coba Di Tutupi
35 Bab 35- Mulai Memudar
36 BAB 36- Senyum Itu Ibadah
37 BAB 37- Kenangan Nasi Liwet
38 BAB 38- Bukan Lagi Ke Firma Hukum
39 BAB 39- Kebetulan Yang Tidak Terduga
40 BAB 40- Sulitnya Berbicara
41 BAB 41- Mencoba Untuk Pulang
42 BAB 42- Suara Hati Keenan
Episodes

Updated 42 Episodes

1
BAB 1- Pelampiasan Kepanikan
2
Bab 2- Putri Bahan Negosiasi
3
BAB 3- Goresan Tinta Pembawa Takdir
4
BAB 4- Teriakan Kekecewaan
5
BAB 5- Pandangan Negatif Mereka
6
BAB 6- Terikat Nyata
7
BAB 7- Tradisi Yang Menegangkan Bagi Mereka
8
BAB 8- Senyuman untuk bayangan Mantan
9
BAB 9- Kamar Pengantin
10
BAB 10-Kejutan Memilukan Di Malam Pertama
11
BAB 11- Ternyata Hanya Menutup Mata
12
BAB 12- Hati Yang Tulus Dan Dendam Yang Masih Membara
13
BAB 13- Memilih Ridho Suami
14
BAB 14- Foto Prewedding
15
BAB 15- Paket Misterius
16
BAB 16- Emoticon Love
17
BAB 17- Satu Pergi Tiga lainnya Datang
18
BAB 18- Sambutan Sang Mertua
19
BAB 19- Singgah Ke Firma Hukum
20
BAB 20- Berangsur-angsur menyadari Ketulusan
21
BAB 21- Niat Yang Masih Keliru
22
BAB 22- Pelukan Hangat Keenan
23
BAB 23- Diantara Dua Do'a
24
BAB 24- Tak Bisa Tidur
25
BAB 25- Mengorek Kehidupan Dan Isi Hati Fitri
26
BAB 26- Mulai Menunjukan Taring
27
BAB 27- Kekhawatiran yang terus menghantui
28
BAB 28- Cara Memastikan Sebuah Rasa
29
BAB 29- Seolah Tak Terjadi Apa-apa
30
BAB 30- Kepanikan Keenan
31
BAB 31- Gara-gara Nasi Goreng
32
BAB 32- Salah Sasaran
33
BAB 33- Ucapan Yang Tak Selesai
34
BAB 34- Perhatian Keenan Yang Coba Di Tutupi
35
Bab 35- Mulai Memudar
36
BAB 36- Senyum Itu Ibadah
37
BAB 37- Kenangan Nasi Liwet
38
BAB 38- Bukan Lagi Ke Firma Hukum
39
BAB 39- Kebetulan Yang Tidak Terduga
40
BAB 40- Sulitnya Berbicara
41
BAB 41- Mencoba Untuk Pulang
42
BAB 42- Suara Hati Keenan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!