Wajah Fitri memucat dan ia lemas seketika, ia bersandar pada belakang kursi yang di kini di dudukinya. Untuk menenangkan pikirannya Fitri terus beristighfar, ibu jarinya menyusuri setiap ruas jari jemari tangannya ia berdzikir tiada henti.
Pesan itu terkesan begitu misterius, Fitri tak menyangka ada orang yang membenci Keenan separah itu. Ia bertanya-tanya siapa sosok orang yang mengirim paket berisi surat itu. "Yaa Allah, siapa dia?"
Berulang kali Fitri memutar balikan surat itu namun tak kunjung mendapat informasi identitas pengirimnya, ia semakin panik tak karuan
"Yaa Allah, hamba mohon lindungilah Mas Keenan!" gumamnya pelan.
Kekejaman Keenan pada Fitri tak membuatnya menaruh kebencian, masih ada rasa tak menerima namun justru kini ia terdorong untuk melindungi Keenan. "Mas Keenan, kasian sekali kamu," lirihnya dalam hati.
Saat kemelut kepanikan melanda jiwanya, ia di kagetkan oleh Euis yang tiba-tiba datang. "Non!" panggilnya.
"Astaghfirullah, Bi. Saya kira siapa."
Tak ingin Euis ikut panik, tangan Fitri dengan lihai menaruh kertas itu dalam saku gamisnya.
"Kenapa, Bi?" tanya Fitri.
"Non, Bibi izin mau kepasar belanja bahan dapur udah pada abis. Harusnya tadi pagi cuman Bibi di kabarin Indra, tuan Keenan mau pulang yaudah masak dulu seadanya takutnya gak keburu," jelas Euis.
Fitri tiba-tiba teringat Keenan menyuruhnya membeli baju. "Kebetulan kalau gitu kita bareng, Bi!"
"Loh Non kenapa? engga ah Bibi gak enak, nanti merepotkan Non," sangkal Euis.
Fitri tersenyum melihat ekspresi Euis yang kegeeran. "Maksud saya Bi, sekalian saya juga mau beli baju."
Euis tersipu malu. "Hehe, Bibi jadi malu kan. Kalau gitu Kita berangkat sekarang Non bareng Indra."
Fitri mengangguk dan mereka pergi, tak lupa ia menunaikan sholat Dzuhur terlebih dahulu lalu meminta izin pada Keenan.
Fitri tertegun di depan pintu kamar melihat Keenan sedang melamun, ia teringat surat misterius yang di terimanya barusan. Hatinya semakin menaruh simpati yang sangat besar pada Keenan, namun Fitri memilih untuk tidak menceritakan surat itu ia takut Keenan panik di tengah kondisi tubuhnya saat ini.
"Mas Keenan ..."lirih Fitri lalu berjalan menghampiri Keenan.
Keenan yang tengah melamun, begitu kesal saat Fitri datang kembali membuatnya kaget. "Ngapain sih kamu balik lagi, gak tau malu banget udah di usir juga!" bentaknya.
Meskipun baru satu hari menikah, Kini ocehan-ocehan Keenan menjadi hal yang biasa bagi Fitri. Fitri sudah bisa berdamai dengan keadaan, dia berusaha beradaptasi dengan karakter Keenan yang sangat spesial itu.
Fitri mengungkapkan tujuannya "Mas, aku cuma mau izin ke pasar beli baju sama bi Euis."
"Terserah!" ungkap Keenan jutek.
"Eh tunggu, panggil karyawan laki-laki ke sini saya mau mandi!" seru Keenan.
Perintah itu membuatnya merasa tak di hargai, tapi jika ia Fitri yang melakukan itu sepertinya ia pun masih ragu dan tak berani.
"Iya Mas, nanti aku bilang. Kalau gitu aku pamit ya, Assalamu'alaikum."
Keenan bungkam tak menjawab salam dari Fitri pikirannya kembali melayang entah kemana.
"Yaa Allah, lindungilah Mas Keenan selama hamba pergi!" ungkap Fitri dalam hati.
...****************...
Berbeda dengan keberangkatannya dari Bandung ke Jakarta yang menggunakan mobil Lamborghini gray, kini Fitri dan Euis di antar Indra menggunakan mobil Lexus ES berwarna silver khusus transportasi para karyawannya.
"Yaa Allah, hamba mohon tolong jaga Mas Keenan jauhkan ia dari marabahaya dan jauhkan lah ia dari orang-orang yang mau mendzoliminya," gumam Fitri lagi dalam hati yang kini sudah duduk di dalam mobil yang di kemudikan Indra.
Jarak Rumah Keenan dengan pusat kota terbilang lumayan jauh, mereka bertiga berbincang santai di dalam mobil.
"Non, Non kan pasti udah tau nama Bibi. Bibi sampe lupa nanyain nama Non siapa?" celoteh Euis tiba-tiba.
"Kemana aja atuh Bi ... Bi ..." sahut Indra meledek.
Bola mata Euis yang bulat berputar dari atas ke samping, ia menatap Indra sinis. "Kamu maen nyaut aja, udah Fokus nyetir!"
Indra tak menjawab ia menggerak-gerakan bibirnya kebawah berulang kali, menandakan ia meledak ucapan Euis.
Fitri tersenyum melihat tingkah dua bawahan Keenan itu. "Panggil aja Fitri, Bi," ucap Fitri begitu ramah.
"Fitri? Non asli Sunda? mojang Priangan Bandung ini mah ya?" tanya Euis penasaran.
Fitri mengangguk.
"Eleuh ... eleuh ... sama atuh kita teh Non saya mah dari Cianjur, sok atuh keluarkeun bahasa sundana," seru Euis tiba-tiba berbicara dengan logat Sunda.
Fitri hanya tertawa kecil saat mendengar Euis tiba-tiba mengubah nada bicaranya.
Bukannya tak mau menuruti Euis, ia hanya nyaman berbicara logat sunda hanya dengan keluarga. Terlebih lagi, dari SMP sampai SMA hidup di pesantren modern membuatnya terbiasa berbicara datar.
Perbincangan itu terus berlanjut sepanjang jalan, belum genap dua hari mereka bertemu tapi seakan tak ada jarak antara mereka. Celotehan-celotehan Euis dan Indra begitu mengundang tawa Fitri yang telah lama hilang kini seakan mekar kembali, ia begitu bahagia saat bersama mereka. "Yaa Allah, ternyata lingkungan hidup Mas Keenan tak seseram yang hamba bayangkan, terimakasih Yaa Allah telah menghadirkan orang-orang ini," gumam Fitri dalam hati.
...****************...
Singkat cerita mereka tiba, satu persatu toko mereka singgahi untuk membeli barang yang di perlukan. Meskipun jumlah saldo Black Card Keenan lebih dari tiga digit, Fitri hanya memakai seperlunya. Fitri membeli lima set gamis dan kerudung, dua daster rumahan dan beberapa kebutuhan lainnya.
Karena di pusat kota jalanan begitu macet dan mereka sempat berhenti beberapa kali untuk sholat, tepat sesudah Isya mereka baru sampai di rumah.
Euis sengaja membeli makanan dari luar untuk makan malam semua penghuni rumah, ia sudah menduga tak akan sempat memasak.
Setiap masuk rumah itu, mata Fitri selalu tertuju pada Foto yang terpajang di ruang tamu. Tak mau banyak pikiran, Fitri langsung menuju lantai tiga membawa semua barang belanjaan juga makan malam untuk Keenan. Ia melewati tangga dan membuka pintu dengan kode yang sudah Keenan beritahu.
Bukan hanya di lantai satu, Foto Sherly ada dimana-mana hingga ia ingat betul bagaimana bentuk wajah dan gaya rambut Sherly. Bukan iri dengki yang Fitri rasakan, tapi rasa bersalah yang mendalam atas dosa ayahnya.
Tok tok tok
Fitri mengetuk pintu kamar Keenan yang terbuka setengah.
"Masuk!" teriak Keenan dari dalam.
Langkah kaki Fitri yang pelan sudah Keenan kenali, namun bedanya kini suara gesekan-gesekan tas belanja juga terdengar jelas.
Melihat Keenan tampak lebih santai dengan piyama berwarna navy, membuat Fitri kagum seperti melihat sisi lain dari seorang Keenan hingga ucapannya terbata-bata. "As ... Assalamu'alaikum, Ma ... Mas."
"Mas ... Makasih, ini aku kembaliin kartu kamu, aku cuma beli beberapa beberapa setel ga--" ucapan Fitri terpotong kala Keenan tiba-tiba menyelanya. "Terserah saya gak peduli! kebetulan kamu datang saya mau minta tolong," sautnya dengan wajah datar.
"Kenapa Mas?" tanya Fitri.
"Handphone yang biasanya saya pake ikut ketabrak sama pria brengsek itu, tolong ambilin handphone lama saya di lemari kaca. Hati-hati banyak barang Sherly jangan sampai rusak di tangan kamu!" ungkap Keenan.
Fitri berdiri mematung seakan tubuhnya tertahan lama, ia membuang nafas pelan. "Iya, Mas."
Lemari kaca dengan tiga pintu itu Fitri geser salah satu pintunya, ia melihat laci yang di dalamnya banyak perhiasan juga beberapa handphone model lama tapi masih layak pakai.
"Mas, yang mana handphone nya?" tanya Fitri memastikan.
"Dark gold!" jawab Keenan singkat.
Mendengar itu mata Fitri tentu langsung tertuju pada benda yang di carinya hingga akhirnya ketemu.
Fitri menghampiri Keenan kembali dan berdiri di dekat suaminya itu. "Udah aku temuin, Mas."
"Nyalain!" Keenan memerintahkan Fitri tak ada jeda.
"Udah, Mas."
"Cari nama calon istri, telpon dia!" perintahnya lagi.
"Calon istri? apa mungkin ini Mba Sherly?" tanya Fitri dalam hatinya.
Ibu jari Fitri mengetik satu persatu abjad nama itu, hingga di temukan. Ternyata bukan hanya nama itu yang terpampang namun juga di sertai emoticon love berwarna merah.
Fitri menekan nomor itu lalu menelpon.
Tut tut tut
Nomor yang ada tuju sedang sibuk.
Suara sambungan telpon yang menandakan nomor itu masih aktif namun sengaja di rijekt.
Fitri memberitahu Keenan bahkan sampai ia loudspeaker, Namun Keenan tetap bersikeras hingga belasan kali Fitri menelpon namun tetap nihil Sherly tak menjawab satu kali pun.
Keenan tertunduk lesu, ia sampai tak berselera makan.
"Mas, kamu makan ya. Biar cepat sembuh kamu harus rutin minum obat dan harus makan dulu!" saut Fitri.
"Saya bilang gak mau ya gak mau!" Keenan bersikeras.
Fitri merasa Keenan perlu sendiri, kehadirannya hanya akan membuat Keenan semakin marah. "Mas, aku tidur di ruang sofa depan ya, pintunya aku tutup setengah kalau ada apa-apa kamu panggil aja!" seru Fitri.
Lagi-lagi Keenan tak menjawab, ia hanya memasang wajah sinis.
Fitri keluar kamar itu, ia tak langsung tidur. Rumah Keenan yang sebagian besar terbuat dari kaca membuat pemandangan malam terlihat begitu indah.
Fitri keluar ruangan itu, dan duduk di balkon seorang diri. Ia menatap ke langit mengangumi bintang ciptaan Tuhan yang berkilauan di atas sana.
Di saat keheningan malam itu, Fitri teringat keluarga kecilnya. Teringat suka duka mereka menjalani kehidupan yang tak mudah, terlebih yang membuatnya semakin sedih adalah tak adanya sosok Lilis di sisinya saat ini.
Kali ini Fitri benar-benar menangis tersedu-sedu namun tak kencang ia sengaja menahannya hingga cegukan.
"Ibu ... Neng kengen ibu ..." lirihnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments