Kontrak Nikah Penebus Dosa
Malam Jum'at ini lantunan Ayat Suci Al-Qur'an menggema hampir di seluruh penjuru kota Bandung, di saat orang-orang berlomba untuk memperoleh keberkahan Surat Yasin justru tidak bagi Jejen, pangkalan angkot menjadi basecamp terbaik baginya untuk berjudi dan berpesta minuman keras.
"Jen!" teriak seorang pria paruh baya dengan perut yang terlihat buncit.
Jejen masih bisa menoleh pria itu meskipun kesadarannya sudah mulai memudar.
"Aduh alah, gawat duit setorannya kepake, bisa-bisa habis saya malam ini," ujarnya panik.
Jejen berlari sempoyongan menuju salah satu angkot hitam, kaki kanannya menancap gas dan melaju ugal-ugalan ke arah jalan raya.
Di persimpangan jalan terlihat seorang pria yang menenteng kantong plastik putih hendak menyebrangi jalan, namun secara tak terduga angkot hitam yang di Kendarai Jejen tiba-tiba muncul dari arah berlawanan.
Mata Jejen yang masih remang-remang membuat ia tak bisa melihat dengan jelas, bahkan sekalipun pria berpostur tinggi yang tepat di depannya itu seolah luput dari pandangan Jejen.
Menyadari angkot tersebut mengarah padanya badan pria itu seolah kaku, rasanya begitu cepat waktu berlalu sehingga ia tak bisa menghindar lagi, sampai insiden kecelakaan benar-benar terjadi.
Jebred
Body depan angkot Jejen menabrak pria itu hingga terpental jauh, plastik yang berisi minuman berhamburan di jalan beraspal. Bahkan saking kencangnya berbenturan dengan badan sang pria, seketika angkot hitam Jejen terhenti.
"Apaan tuh?" Jejen masih tak bergeming.
Tak lama setelah itu, seorang wanita yang memakai sepatu hak tinggi berlari dari depan minimarket ke arah korban.
Berkali-kali wanita itu mencubit pipinya sendiri berharap kejadian yang menimpa tunangannya hanyalah mimpi semata.
"Keenan ..." lirihnya.
Melihat tunangannya tak sadarkan diri, bahkan wajah tampan pria itu sudah bersimbah darah sang wanita lemas terkulai, badan mulusnya seolah terhentak ke dasar tanah.
"Keenan bangun ...." lirihnya lagi sambil terus menggoyang-goyangkan badan Keenan dengan harapan bisa sadar kembali.
Menyadari sang kekasih tak lekas sadar juga, ia berteriak meminta tolong.
"Tolong!"
"Tolong!"
"Tolong ..." ucap wanita itu yang justru semakin pelan.
Namun untungnya tak sulit menemukan banyak orang di tempat umum, seketika orang-orang mulai berdatangan.
"Innalilahi, cepat panggil ambulan dan Polisi Pak!" saut seseorang ibu-ibu berjilbab putih.
"Angkot itu pasti pelakunya!" teriak pemuda bercelana jeans model cutbray sambil menunjuk ke arah Jejen yang berjarak sekitar lima belas meter dari terkaparnya Keenan.
"Tangkap pelakunya!" teriak pemuda itu lagi.
"Tangkap!" teriakan warga yang kian kompak.
Beberapa orang berlari kencang hendak menghampiri Jejen.
Samar-samar mendengar kata polisi dan pelaku, Jejen mulai menyadari bahwa dirinya telah melakukan kesalahan. Tak mau dihakimi warga, Jejen bergegas memutar balik mobilnya lalu melaju pergi dengan kecepatan maksimal.
Warga berusaha mengejar namun sayang Jejen bisa lolos dengan mudah.
Sementara itu, Sheryl wanita yang merupakan tunangan Keenan tak henti-hentinya menangis hingga tersedu-sedu.
"Kalau nungguin ambulans sama polisi pasti lama, kita bantu bawa ke Rumah Sakit terdekat aja Mba." Salah satu warga menyarankan.
"Iya Pak, tolong bantu saya," ucap Sherly terisak.
Warga berbondong-bondong membantu Keenan hingga di larikan ke Rumah Sakit Cempaka Bandung, Rumah Sakit paling dekat dari tempat kejadian.
Sementara itu di lain tempat, merasa dirinya sudah mulai aman Jejen menarik napasnya dalam-dalam mencoba untuk tenang.
Tak kunjung tenang Jejen mengepalkan tangan dengan kencang hingga urat-uratnya meregang, ia melampiaskan kepanikannya dengan memukul-mukul stir yang tepat didepannya.
Dug dug dug
"Aish sial!" teriaknya.
"Lagi-lagi harus berurusan sama polisi."
Jejen adalah seorang mantan Narapidana kasus penganiyaan, ia hanya di penjara kurang lebih selama dua tahun. Satu-satunya yang menjadikan keringanan hukuman baginya saat itu adalah karena Jejen masih menjadi tulang punggung dari istri dan ketiga anaknya.
"Sial sial, saya gak mau jadi residivis atuh," ungkap Jejen yang panik tak karuan.
Jejen pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya berharap ia bisa sembunyi dari kejaran polisi, Jejen berpikir tempat paling berbahaya justru adalah tempat teraman.
...****************...
"Shodaqollahul'adzim."
Semarak suara anak-anak riuh menandakan pembacaan Surat Yasin telah usai.
Suara kompak anak-anak mengaji mulai berhenti saat terdengar suara mobil di samping Majlis Ta'lim.
"Alhamdulillah, ngajinya udah selesai. Sambil nunggu adzan Isya hafalin surat Al-Ikhlas ya!" seru Lilis yang merupakan guru ngaji majlis ta'lim dekat Rumahnya.
"Iya Bu," jawab anak-anak kompak.
Lilis menghampiri putrinya yang sedang sibuk mengajari anak-anak menghafal, menyadari ibunya mendekat gadis berusia dua puluh tahun yang bernama Fitri Permatasari itu menatap sang ibu dengan senyuman manisnya.
"Bu," sapa Fitri lembut.
"Neng, si bapak pulang tuh. Punten atuh siapin minum sama makanannya, tau mereun si bapak gimana. Sekalian liat si dede neng," seru Lilis.
Fitri tersenyum kembali dan menganggukkan kepalanya.
Selain wajahnya yang cantik alami khas gadis desa, Fitri adalah anak yang sangat ta'dzim pada orang tuanya.
Ketika berjalan menuju rumah, pintu sudah terbuka lebar kemungkinan Jejen sudah pulang.
"Assalamu'alaikum ... Bapak, udah pulang?" ucap Fitri lembut.
Tak kunjung mendengar jawaban dari Jejen, Fitri masuk ke dalam rumahnya yang terbilang sangat kecil itu.
Fitri terheran-heran melihat Jejen terus mondar mandir tak karuan di dapur.
"Kenapa Pak?" tanya Fitri mencoba memastikan.
"Neng siapin makan ya Pak."
Jejen tak merespons.
Hidung mancung Fitri mencium bau yang seperti tak asing baginya, ia sudah bisa menebak Jejen pasti sudah mabuk.
"Astaghfirullah, bapak mabuk lagi?" tanya Fitri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Jejen masih tak merespons, ia menutup rapat mulutnya sambil sesekali memukul kepalanya yang berambut panjang itu.
Melihat sang ayah mencoba melukai dirinya sendiri, Fitri mendekat.
"Astaghfirullah, tenang pak." Fitri refleks berusaha meraih tangan Jejen.
Jejen tak terima, ia menatap Fitri tajam lalu menarik mukena merah marun bermotif bunga yang dikenakan putrinya, Jejen menghempaskan Fitri hingga terjatuh tepat di depan meja kompor.
"Aww!" teriak Fitri kesakitan.
Mata Jejen menganga melihat objek pelampiasan baru, Fitri seolah mangsa empuk baginya.
"Istighfar Pak ..." lirih Fitri berusaha menyadarkan Jejen.
Jejen semakin kesal mendengar ocehan Fitri.
"Berisik atuh neng!" teriak Jejen.
"Neng dengerin Bapak! nanti kalau ada polisi nyariin, bilang we barusan teh si Bapak pulang sebentar terus pergi lagi gak tau kemana."
Fitri berpikir sejenak, ia menduga-duga Jejen membuat masalah lagi. Polisi yang di maksud Jejen pasti ada hubungannya dengan kepanikan dan ketegangan Jejen saat ini.
"Pak ... Bapak buat masalah lagi?" tanya Fitri panik.
"Pokoknya Neng mah jangan mau tau, turutin we kata bapak!" tegas Jejen.
"Astaghfirullah, ada apa lagi ini teh," gumam Fitri bertanya-tanya dalam hati.
"Pak, kasian ibu sama si dede kalau Bapak bikin masalah lagi," ujar Fitri pelan tak berani menatap Jejen.
"Eleuh eleuh, udah berani sekarang mah kamu teh Neng. Dengerin we apa kata bapak!" teriak Jejen lagi.
Seakan terbiasa, Fitri hanya terdiam menunduk.
Nafas Jejen terengah-engah, emosinya semakin memuncak. Ia melirik kesana kemari hingga matanya tertuju pada kayu di samping rak piring.
Jejen berjalan, ia mengambil kayu itu lalu di kibas-kibaskan ke sembarang arah.
"Sini neng!" teriak Jejen.
Fitri menatap kaki Jejen yang terus mendekat ke arahnya, melihat kebrutalan ayahnya yang semakin merajalela Fitri berusaha kabur. Ia merangkak maju ke arah yang berlawanan, merasa sudah lebih jauh dari Jejen seketika Fitri memaksakan pinggangnya yang sakit itu untuk berdiri.
Krek
"Aww!" teriak Fitri.
Tak menghiraukan sakit di badannya, Fitri berlari terbirit-birit menuju luar Rumah.
Menyadari Fitri jauh dari jangkauannya, Jejen berusaha mengejar namun badannya yang terus sempoyongan membuat ia kesulitan menangkan Fitri.
"Aish!" gerutu Jejen yang semakin kesal.
Gegrak
Kaca lemari pecah hingga pecahannya berserakan di lantai.
Mendengar suara itu langkah Fitri terhenti, ia menoleh ke arah dalam. Namun tiba-tiba, Jejen muncul dihadapannya dengan kayu yang masih melekat di tangan kanannya.
Dengan pikiran yang masih kalut dan efek minuman keras dalam tubuhnya, akal sehat Jejen seolah berhenti berfungsi. Bagaimana bisa Putrinya yang sholehah itu selalu menjadi ajang pelampiasan.
Jantung Fitri berdetak semakin kencang, tangan dan kakinya mendingin kala melihat Jejen mengangkat kayu dan berusaha memukul kepala Fitri. Namun, Kedua tangan Fitri refleks menutup kepalanya.
Dug
Pukulan Jejen mengenai jari-jari tangan Fitri.
"Aww" teriak Fitri lagi.
"Udah Pak ..." lirihnya yang meringis kesakitan.
Tubuh Fitri yang lemah tak kuasa melawan Jejen, apalagi dalam keadaan emosi yang terus membara.
"Makanya atuh Neng, jangan mau tau urusan Bapak!" bentak Jejen.
Teriakan Jejen terdengar kencang sampai ke Majlis Ta'lim, takut kekhawatiran di pikirannya terjadi Lilis memutuskan untuk keluar meninggalkan anak didiknya. Dan benar saja, ia melihat Fitri terduduk lesu di dekat pintu rumah.
"Astaghfirullah, Neng ..."
Lilis menghampiri Fitri, lalu merangkul tubuh lemah putrinya dan melangkah menjauhi Jejen.
Melihat tangan Fitri memerah, kesedihan dan kekesalannya tak terbendung lagi.
"Bapak, kenapa lagi Bapak teh? ingat dosa Pak jangan kasar gitu, apalagi si Neng teh perempuan." Dengan nada bicara yang lembut Lilis berusaha menasihati suaminya.
Jejen hanya tersenyum sinis seolah meremehkan ucapan Lilis. "Alah ... berisik!" teriak Jejen.
"Udah Bu udah, Neng juga gapapa." Fitri berusaha membuat Lilis tenang.
"Sini kalian! Ngerti coba Bapak teh pusing!"
Jejen berniat memukul dua wanita itu dengan kayu yang masih di pegangnya.
Tanpa Mereka sadari dua pria berseragam polisi menghampiri, seketika Jejen langsung mengurungkan niat buruknya itu.
"Permisi, apa benar ini rumahnya Bapak Jejen pemilik angkot itu?" sapa seorang polisi sambil menunjuk angkot hitam di pinggir Majlis Ta'lim.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments